Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Daging Segar Shalahuddin Al-Ayyubi

Avatar photo
52
×

Daging Segar Shalahuddin Al-Ayyubi

Share this article

Adakah kisah dari masa Perang Salib yang lebih heroik dan populer ketimbang panglima Shalahuddin al-Ayyubi (1137-1193 M)? Dialah Elang Padang Pasir yang ketangguhannya menginspirasi karya-karya literatur, dari zaman klasik hingga modern, dari panggung teater di pelosok kampung hingga epik kolosal buatan Hollywood.

Lantaran prestasi militer dan politik Shalahuddin al-Ayyubi sudah teramat familiar dikaji dan dikisahkan, agaknya perlu menyorot Shalahuddin dari sisi lain. Sisi yang acap kali tertutup oleh semangat kepahlawanan dan pertempuran Sang Panglima Perang, misalnya seperti kehidupan rumah tangganya, kegemarannya, makanan favorit, warna kesukaan, binatang peliharaan, atau hal-hal kecil tentangnya yang banyak tertera dalam kitab-kitab tarikh masa lampau.

Shalahuddin al-Ayyubi dalam sketsa Andre Thevet tahun 1584 (British Museum)

Satu misal lain seperti benteng (qal’ah/citadel) yang ia bangun di bukit Muqattam: adakah alasan khusus kenapa musti di atas bukit dalam membangun residensi, barak militer, maupun kantor pemerintahan pusat? Bukankah sejak zaman Mesir Kuno, para penguasanya memilih membangun peradaban di dataran rendah sepanjang tepi sungai Nil?

Area terjal tersebut, seperti yang dikisahkan dalam legenda, dipilih Shalahuddin berdasarkan alasan-alasan higienis. Dikisahkan, pada suatu malam, tanpa sepenglihatan bala tentaranya, Shalahuddin pergi berkuda sembari membawa beberapa potongan daging domba yang masih segar, ia membagi beberapa potong daging tersebut kemudian menggantungkannya masing-masing di sejumlah tempat yang berjauhan satu sama lain.

Baca juga: Tiga Serangkai Arsitektur Muslim Awal Futuhat Islamiyah

Tiga malam berikutnya, tanpa seorang pengawal Shalahuddin kembali menunggangi kuda kesayangannya ke tempat-tempat ia menaruh daging tersebut, dan terbukti yang paling awet dan tidak kunjung membusuk adalah yang ia gantung di sebatang pohon di bukit Muqatam. Sisanya membusuk dengan bau yang amat menyengat, tidak terkecuali yang ia gantung di beberapa sudut tepi sungai Nil.

Keesokan paginya, ia mengumumkan bahwa pusat pemerintahan, pusat militer, dan pusat peradaban di bawah nama Dinasti Ayubiyyah akan dibangun di bukit Muqattam. Sampai hari ini situs tersebut kita kenal dengan sebutan Qal’ah atau Citadel Kairo. Selain alasan higienis dan suasana sejuk, Shalahuddin memilihnya karena menawarkan pemandangan yang menakjubkan mata.

Sejak era Shalahuddin al-Ayyubi, Qal’ah menjadi pusat pemerintahan selama hampir 700 tahun, yakni dari abad dua belas hingga abad sembilan belas. Sekarang area ini menjadi wisata budaya yang menyajikan beberapa masjid dan benda-benda bersejarah.

Pada kurun-kurun awal (1176-1183), benteng tersebut hanya terdiri dari dua selungkup, sebelah utara dan selatan. Di sebelah utara adalah pangkalan militer yang dindingnya membentang sampai Menara Debu (Burj al-Ramlah) dan Menara Besi (Burj al-Hadad). Adapun area sebelah selatan dikhususkan untuk residensi kerajaan. Adapun apabila saat ini situs tersebut tampak dipenuhi bermacam bangunan dengan corak yang berbeda-beda, tidak lain adalah arsitektur yang diprakarsai para penguasa setelah era Shalahuddin, dari penerusnya dalam Dinasti Ayyubiah sendiri, kemudian berlanjut zaman kesultanan Mamalik, hingga imperium Turki Utsmani.

Selain benteng pusat pemerintahan, Shalahuddin juga merancang pembangunan dinding pertahanan yang mengelilingi Kairo dan Fusthat yang diperkirakan sepanjang 20.000 meter. Tertulis oleh sekretaris negara yang merangkap sebagai sejarawan, Imaduddin al-Ishfahani, tentang proyek ini Shalahuddin al-Ayyubi tegas berucap:

Citadel Cairo, pusat pemerintahan Mesir selama ratusan tahun (tampak di tengah-tengah Masjid Muhammad ‘Ali dari pertengahan abad 19)

“Dengan dinding ini, nanti akan kujadikan dua kota (Fusthat dan Kairo) menjadi satu kesatuan yang unik, dengan demikian bala tentara mampu melindungi wilayahnya dalam sekali waktu. Oleh karena itu aku yakin bahwa yang terbaik adalah melingkari dua kota ini dengan tembok dari satu tepi sungai Nil ke tepi yang lain.”

Meskipun dinding panjang tersebut tidak terealisasi hingga wafatnya Shalahuddin, tidak sedikit pun mengurangi aura kharismatik pemimpin yang adil dan toleran terhadap rakyatnya itu.

Sepenggal kisah di atas terjadi hanya beberapa musim setelah Shalahuddin al-Ayyubi merebut Mesir dari tangan Dinasti Syiah Fathimiyah, sebuah kisah penting yang juga selalu kalah populer dengan upaya Shalahuddin merebut Jerusalem dari tangan pasukan salib.

Singkat kisah, kematian khalifah terakhir Dinasti Fatimiyah pada tahun 1170 Masehi di Kairo menjadikan Al-Azhar pensiun dalam perannya menyebarkan doktrin-doktrin Syiah. Berawal ketika Shalahuddin al-Ayyubi memproklamirkan penggunaan fikih madzhab Syafi’i yang diserukan lewat khutbah Jum’at yang diseragamkan di seluruh masjid di Mesir.

Baca juga: Pandemi di Balik Megahnya Masjid Sultan Hasan

Sejarah banyak mencatat bahwasannya panglima besar yang sering dikaitkan dengan Perang Salib ini paling getol dalam menumpas doktrin-doktrin Syiah, strategi yang diupayakan adalah dengan mengganti pusat-pusat pendidikan Syiah dengan sekolah-sekolah yang serba Sunni.

Sebagai pusat propaganda Syiah, begitu Dinasti Fatimiyah tergeser oleh Dinasti Ayubiyah, Al-Azhar sempat dinonaktifkan selama hampir satu abad. Faktor lain adalah hak istimewanya dikalahkan oleh Masjid al-Hakim bi Amrillah yang mampu memuat jamaah lebih banyak. Baru kemudian pada tahun 1260-an, Al-Azhar kembali aktif menjadi mercusuar ilmu yang secara murni berideologikan Sunni.

Bila film besutan Ridley Scott, Kingdom of Heaven (2005), dengan apik dan epik menggambarkan bagaimana Shalahuddin al-Ayyubi merebut Jerusalem dari pasukan salib, bisa jadi suatu hari kelak sineas kaliber dunia secara serius memfilmkan Panglima Shalahuddin mengambil alih Mesir dari paham dan pemerintahan Syiah, dan kisah daging segar di atas bukit Muqattam bisa dijadikan alternatif ending. Karena daging tersebutlah titik penting dalam babak baru laju perjalanan Mesir selama ratusan tahun berikutnya.

Tidak ada salahnya kita nantikan.

Kontributor

  • Walang Gustiyala

    Penulis pernah nyantri di Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan, Al-Hikmah Purwoasri, Walisongo Sragen, Al-Ishlah Bandar Kidul, Al-Azhar Kairo, dan PTIQ Jakarta. Saat ini mengabdi di Pesantren Tahfizh Al-Quran Daarul ‘Uluum Lido, Bogor.