Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Dikit-dikit Dalil, Dalil Kok Sedikit

Avatar photo
50
×

Dikit-dikit Dalil, Dalil Kok Sedikit

Share this article

Ketika Rasulullah wafat, beliau tak hanya mewariskan kepada para sahabat Al-Quran dan Hadist. Tapi juga mewariskan metode bagaimana memahami dan mengambil hukum (istimbath Ahkam) dari dua wahyu mulia tersebut.

Ketika turun surah al-An’am ayat 82:

اَلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَلَمْ يَلْبِسُوْٓا اِيْمَانَهُمْ بِظُلْمٍ اُولٰۤىِٕكَ لَهُمُ الْاَمْنُ وَهُمْ مُّهْتَدُوْنَ

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan zalim, mereka itulah orang-orang yang mendapat rasa aman dan mereka mendapat petunjuk”

Makna ayat ini samar dan tak jelas bagi para sahabat. Kalau syarat merasakan aman adalah tak berbuat zalim, maka siapa yang tak pernah berbuat zalim, bahkan zalim pada diri sendiri dan kurang dalam ibadah.

Manusia adalah tempat salah dan khilaf. Kalau begitu siapa yang mampu mendapatkan rasa aman? Tentu, hanya para Nabi dan Rasul saja.

Para sahabat mengira kata (الظلم) dalam ayat ini bermakna dosa dan maksiat.

Para sahabat bertanya: “Ya Rasulallah, Siapa yang tak pernah menzalimi dirinya?”

Lalu Rasulullah menjelaskan bahwa zalim dalam ayat tersebut adalah syirik bukan maksiat. Sebagaimana dijabarkan dalam Surah Luqman ayat 13:

… لَا تُشْرِكْ بِاللّٰهِ ۗاِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيْمٌ

”…Janganlah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kedhaliman yang besar.”

Rasulullah sedang mengajari para sahabat bagaimana memahami Al-Quran dan Sunnah, Bagaimana menggabung ayat yang ‘Am dan Khas, Muthlaq dan Muqayyad, bagaimana memahami yang muhkam-mutasyabih.

Lihatlah, para sabahat saja yang orang Arab asli, hidup ketika Al-Quran diturunkan, memerlukan bimbingan dan tuntunan dari Nabi untuk memahami Al-Quran.

Kita, sebagai umatnya yang jauh berbeda abad serta tak mendalam dalam bahasa Arab, tak tahu asbab Nuzul, tak belajar dengan Ulama kompeten, tapi bertanya mana dalilnya? Mengajak langsung kembali pada Al-Quran dan Hadist. Adakah kealiman kita setara dengan para Sahabat?

Dalam kitab Shahih Bukhari dapat ditemukan puluhan kejadian yang menggambarkan bahwa Rasulullah mengajari para sahabat cara memahami Al-Quran dan menyimpulkan hukum.

Dari metode Rasulullah tersebut, para ulama melahirkan ilmu usul fikih: Mana mutlaq mana muqayad, Am-Khas, nasikh-mansukh, muhkam mutasyabih, bagaimana memahami dilalah ayat, memahami isyarat dan maksudnya.

Siapapun yang masih bingung membedakan ‘Am dan Mutlaq, Khas dan Muqayyad, lebih baik sadar untuk giat belajar. Tak perlu ribet bertanya dalil.

Orang yang berhak bertanya dalil hanyalah mereka yang mengambil ilmu melalui jalur talaqqi dari gurunya-gurunya, yang berkelindan sanad keilmuan kepada para tabiin, sahabat hingga Rasulullah. Sebab hanya melalui jalur talaqqi lah pemahaman dan cara mengambil kesimpulan diwariskan. Sebagaimana Rasulullah mengajari para sahabat.

Untuk mencapai derajat ini setidaknya perlu belajar 4 pokok ilmu kepada para ulama: Pertama, Ilmu-ilmu alat untuk memahami teks (Nahwu Sharf, Balaghah, Ulum Arabiyah) Kedua, Ilmu validasi teks (Sejarah, Sirah, Ulum Hadist) Ketiga, Ilmu analisa dalil (Ushul Fiqh, Ilmu Tafsir, Mantik, Kalam) dan Ilmu Pembinaan hidup manusia (Fikih agar amalan diterima, tasawuf agar amalan khusuk dan tawadhu).

Pokok keilmuan ini bagaikan “empat mata” yang melihat untuk memahami Al-Quran, makin berkurang ilmu yang dimiliki, makin sedikit pula pemahamannya terhadap Al-Quran. Bahkan bisa jadi keliru dan menyimpang.

Dalil Al-Quran dan Hadist tak punya fungsi apa-apa di tangan orang yang bukan ahlinya. Al-Quran dan hadist akan ada sampai hari kiamat. Tapi yang hilang adalah orang yang mampu memahaminya dengan baik. Sebab mereka meninggalkan cara belajar memahami dan mengambil hukum ala para ulama.

Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu sekaligus dari hamba-hambanya. Akan tetapi mencabut ilmu dengan dicabutnya nyawa para ulama, hingga ketika tak ada seorang alimpun, manusia menjadikan orang-orang bodoh sebagai pemimpin, maka ketika mereka ditanya, mereka berfatwa tanpa ilmu, sesat lagi menyesatkan.”

Semoga Allah selalu membimbing kita. Wallahu Musta’an

Kontributor

  • Fahmi Ain Fathah

    Alumni Al-Azhar Kairo Mesir, Fakultas Bahasa Arab. Asal dari Tanjung, Kalimantan Selatan. Kini tengah melanjutkan studi jenjang S2 Al-Azhar. Meminati kajian Manthiq dan Balaghah