Buku

Gus Mus dan Kharisma Ulama-ulama Pantura

29 Nov 2021 04:31 WIB
1703
.
Gus Mus dan Kharisma Ulama-ulama Pantura Sampul antologi puisi Gus, Bicaralah!

Bicaralah, Gus
Siapa lagi di zaman sekarang
Yang ucapanya menjernihkan pikiran
Relung renungnya menebar pencerahan
Selain sampeyan

Demikian kutipan salah satu bait dalam puisi ”Gus, Bicaralah!”, karya Sosiawan Leak. Puisi ini secara perdana pernah dibacakan di acara  perhelatan milad ke-74 KH. Mustofa Bisri atau Gus Mus bertajuk “Mata Air Gus Mus.” Digelar di Beranda Suara Merdeka, Jalan Pandanaran II Nomor 10, Mugassari, Kota Semarang, pada tanggal 11 agustus 2018.

Sebagai puisi yang dipilih untuk judul buku kumpulan puisi ini, secara tertentu, kita dapat melihatnya sebagai penghormatan terhadap sosok Gus Mus ini. Selain agamawan, beliau juga adalah seorang budayawan, pelukis, dan juga penulis.

Puisi ini secara khusus memang dituliskan untuk Gus Mus, yang oleh penulisnya menggunakan majas repetisi. Sebagai penegasan, kata “Gus” diulang-ulang seolah sosok Gus Mus ini adalah orang paling penting dan satu-satunya yang berpengaruh di zaman mutakhir ini.

Gus Mus Kiai Nyentrik Berwibawa

Kiai asal Rembang ini  telah melahirkan ratusan sajak yang telah diasah sejak saat masa belajarnya  di kairo, Mesir. Kemasyhuran Gus Mus ini tidak terlepas dari didikan orang tuanya yang juga seorang ulama kharismatik di masanya.

Ayahnya, Kiai Bisri Mustofa adalah ulama kenamaan yang bertalenta di bidang retorika dakwah maupun kiai pengasuh pesantren yang juga pengarang produktif. Terbukti karya-karya tulisnya menjadi acuan masyarakat pesisir untuk memahami agama Islam. Bahkan masyarakat luar pesisisr pun banyak menjadikannya sebagai pegangan belajar-mengajar (taklim).

Puluhan karya tulisnya dituangkan dalam berbagai bahasa: Arab, Indonesia, dan Jawa Pegon. Karya-karya tersebut sangat bermanfaat bagi kajian keilmuan khususnya bagi masyarakat luas yang tidak secara leluasa menguasai kitab kuning dalam bahasa Arab langsung. Dengan menggunakan bahasa terjemahan, kitab-kita beliau dapat dipahami dengan mudah.

Kiai Bisri Mustofa terkenal sebagai tokoh yang hidup dalam tiga zaman. Kecerdasannya dalam merespon isu-isu sosial, budaya, agama, dan politik menjadikannnya sosok yang berpengaruh dalam perkembangan Islam di pulau Jawa, khususnya daerah Rembang dan sekitarnya.

Pembentukan karakter ayahnyalah yang membuat Gus Mus dikenal sebagai sosok yang nyentrik namun berwibawa. Gus Mus dengan intelektualnya mempunyai keistimewaan-keistimewaan yang jarang dimiliki ulama lain. Di samping ilmu pengetahuan yang mendalam, kecintaannya terhadap budaya dan Indonesia tak dapat diragukan lagi.

Kekharismatikan Ulama Pantura Lainnya  

Selain menyoroti kekharismatikan Kiai Mustofa Bisri, pada buku kumpulan puisi ini terceritakan juga tokoh-tokoh penting lainnnya yang menjadi corong penyiaran Islam di wilayah pantai utara (pantura) Pulau Jawa.

Di antaranya adalah Sunan Kudus dari Kabupaten Kudus; Saridin dari Pati; Ratu Kalinyamat dari Jepara; Mbah Maimun dari Rembang; Sunan Giri dari Gresik. Bahkan, tergambarkan juga keheroikan para kiai dan santri-santri berani mati melawan penjajah dari Surabaya.

Pada puisi Gusjigang, Banyu Panguripan dan Salam Damai dari Kudus, penyair asal Solo itu menceritakan perjalanan Sunan Kudus menyebarkan ajaran Islam di daerah Kudus dan sekitarnya.

Di sana dipaparkan bahwa Ja’far Shadiq (nama asli Sunan Kudus) telah berhasil menyebarkan agama Islam di wilayah Kudus. Ia menancapkan kalimat tauhid (Islam) dengan baik tanpa adanya perseteruan masyarakat lokal yang sudah terlebih dahulu menganut ajaran nenek moyang secara turun temurun.

Penulis menyebutkan bahwa Sunan Kudus mampu menjaga kerukunan antara umat Islam, Budha, dan Hindu. Mentransformasikan bedug sebagai media berdakwah, alat yang ditabuh menjelang waktu shalat sebelum muazin mengumandangkan asma Tuhan yang Agung. Bahkan bedug dipergunakan sebagai media dhandhangan, yaitu ritual masyarakat Kudus menyambut bulan Ramadhan.

Tanpa mengurangi citra dakwahnya, Sunan Kudus juga mendirikan masjid sebagai upaya untuk menyebarkan syiar-syiar Islam dengan cara-cara yang bisa diterima oleh masyarakat lokal. Masjid itu dibangun dengan mengakulturasikan beberapa budaya. Kubahnya didesain mengikuti arsitektur gaya timur tengah, disandingkan dengan gapura Jawa dan juga menara yang ditempeli 32 porselin China. Hingga kini, masjid itu masih kokoh berdiri di zaman yang modern dan bersanding dengan masyarakat sekitar. Keagungan masjid itu terkenal sampai seluruh penjuru nageri ini dengan sebutan “Masjid Menara Kudus.”

Pada puisi yang lain, Sosiawan Leak menuliskan ulama lain di daerah Pati. Sosoknya kontroversial dengan lakunya yang sering nyeleneh, bahkan dianggap sebagai waliyullah (kekasih Allah) oleh orang setempat. Dia adalah Saridin murid Sunan Kudus, yang juga masih keturuna dari Sunan Kalijaga.

Saridin dalam Babad Tanah Jawi  disebutkan hidup pada medio abad ke-16. Kisah hidupnya yang sering di luar nalar dan menentang arus membuatnya terkenal. Bahkan  ketika Saridin masih berada di tempat Sunan kudus, ia pernah diusir lantaran memperlihatkan karomahnya di depan santri-santri yang lain.

Dikisakan Sunan Kudus bertanya kepada Saridin, ”Saridin, apakah setiap air itu ada ikan yang hidup di dalamnya?”

Saridin menjawab, “iya, ada guru.”

Atas jawaban itu, Sunan Kudus mengutus santri lain untuk mengambil kelapa untuk membuktikan jawaban Saridin.

Maka ketika kelapa itu dipecah, terjadilah sebuah keajaiban: muncul ikan sungguhan di dalam batok kelapa itu.

Kejadian lainnya adalah ketika Saridin diutus oleh gurunya, Sunan Kudus untuk mengisi bak tempat air wudhu. Namun, Saridin tak menemukan ember untuk mengumpulkan air. Akhirnya, ia menggunakan keranjang untuk mengumpulkan air dan mengisi bak air wudhu sampai penuh. Kejadian itu pun membuat bengong para santri-santri lainnya yang menyaksikan.

Pengusiran Saridin dari Kudus bukan karena kebencian Sunan kudus kepadanya. Namun hal itu adalah isyarat bahwa Saridin harus mencari tempat lain untuk berdakwah menyebarkan Islam. Setelah diusir dari kudus, Saridin bertemu dengan Sunan Kalijaga  dan diperintahkan untuk bertapa di laut Jawa untuk menebus kejumawaan atas ilmu yang dimilikinya. Sardin menurut dan dia bertapa dengan hanya bermodalkan dua buah kelapa sebagai medianya untuk tetap bisa terapung di atas air.

Setelah selesai masa pertapaannya, Saridin melanjutkan perjalanannya sampai pada akhirnya dia memutuskan untuk berdakwah di desa Landoh, kecamatan Kayen, Pati. Bersama anaknya, Sigit Momok, dia mulai mendirikan pesantren dan mengajarkan agama Islam di daerah tersebut. Hingga akhir hayat, Saridin hidup sederhana menjadi petani dan juga mengasuh para santri dan masyarakat sekitar.

Kumpulan puisi Gus, Bicaralah! merangkum 24 puisi yang bertema perjuangan dan kekharismatikan ulama dalam menyebarkan ajaran Islam dalam rentang penulisan antara tahun 2016-2020. Beberapa puisi terbaiknya dalam kumpulan ini terkesan sederhana, namun kesederhaan tersebut justru berhasil memperkaya imajinasi pembaca. Penulis mempunyai citraan-citraan yang akrab dan dikenalnya dengan baik seperti Sunan, Gus, Kiai, Santri dan juga Bhinneka Tunggal Ika.

Identitas Buku:

Judul            : Gus, Bicaralah!

Penulis          : Sosiawan Leak

Tebal            : vi+86 hlm.

Tahun           : Cetakan Pertama, Agustus 2021

Penerbit        : Buana Grafika

ISBN            : 978-623-7358-71-8

Achmad Dhani
Achmad Dhani / 22 Artikel

Asal Grobogan, Jawa Tengah. Alumnus pesantren Al-Isti'anah Plangitan Pati. Sekarang menjadi mahasantri Mahad Aly Sa'iidus Shiddiqiyah Jakarta. 

Baca Juga

Pilihan Editor

Saksikan Video Menarik Berikut: