Artikel

Laqab, Syekh Hatim dan Menutup Aib

27 Jun 2020 02:34 WIB
2040
.
Laqab, Syekh Hatim dan Menutup Aib

Termaktub dalam Syarah Alfiah Ibnu Malik, bahwa nama seseorang (‘Alam Syakhsh) itu ada 3 (tiga);1) ‘alam ism (nama sebenarnya), 2) kunyah (penisbatan nama kepada bapak dan ibu) semisal Abu Bakar (bapaknya Bakar) dan Ummu Habibah (Ibunya Habibah), dan 3) laqab (nama julukan atau nick name), semisal seorang yang tinggi badannya dijuluki tower, seorang pendek dijuluki krucil. Dulu Rendra pernah dijuluki Si Burung Merak, karena saat baca puisi sangat memukau. Mike Tyson dijuluki Si leher beton karena lehernya yang kokoh.

Allah Swt., tidak boleh punya kunyah karena Allah itu Esa, lam yalid walam yulad (Allah bukan anak dari siapa, bukan juga bapak dari siapa). Nama Allah tidak boleh punya laqab, karena julukan ada kalanya mengagungkan ada kalanya berpotensi merendahkan. Sedangkan Allah Maha Sempurna dan Maha Agung, suci dari kekurangan. Allah hanya punya ‘alam ism, nama sebenarnya Allah adalah al-Asma’ al-Husna yang jumlah 99 itu. Karena semua al-Asma’ al-Husna adalah mengagungkan Allah.

Jadi, yang mempunyai kunyah dan laqab hanya makhluk, hanya manusia yang mempunyai sifat kurang, meski terkadang diagungkan orang lain. Pada umumnya, julukan yang baik untuk mengangungkan orang, julukan buruk untuk merendahkan orang. Namun tidak selamanya seperti itu. Ada seorang ulama besar dari Khurasan dijuluki al-Asham (si tuli), karena pernah menutupi aib seorang perempuan. Kisahnya (termaktub dlm Qomi' al-Thugyan dan Nashaih al-Ibad) seperti berikut ini:

Syekh Hatim (w. 237 H.) merupakan ulama tersohor yang sering disowani masyarakatnya. Masyarakat yang sowan, terkadang ingin menanyakan sebuah hukum terhadap sebuah permasalahan, terkadang curhat masalah kehidupan, terkadang hanya ini meminta restu dan doa untuk sebuah harapan. Suatu hari ada seorang perempuan sowan kepada beliau, sebelumnya sudah ada beberapa orang yang sudah berada di majelis beliau.

Saat giliran perempuan itu hendak bertanya atau curhat kepada sang ulama dan memulai pembicaraannya, tiba-tiba perempuan itu kentut dengan suara yang kencang. Dduuuuut… Sontak saja, seluruh ruangan menahan tawa. Dan perempuan itu sangat malu bermuram rupa. Lebih-lebih tambah malu lagi apabila Syekh Hatim mendengar kentutnya yang menggelegar itu.

Tiba-tiba Syekh Hatim berbicara, wahai perempuan apa yang kamu katakan tadi, keraskan suaramu karena aku tidak mendengar ucapanmu itu. Ucapan Syekh Hatim ini mempunyai maksud menutupi aib perempuan itu agar tidak malu, dengan seakan-akan beliau tidak mendengar (pura-pura tuli) terhadap apapun yang diucapkan perempuan itu, termasuk kentutnya. Padahal beliau mendengar semua.

Berkat pura-pura tuli tersebut, perempuan itu lega, sangat senang dan bahagia, ternyata sang Syekh tidak mendengar kentutnya. Sejak saat itu, syekh Hatim dijuluki masyarakat “Syekh Hatim al-Asham (yang tuli)”. Julukan tersebut meskipun seolah merendahkan tp justru mengagungkan. Hal ini karena beliau rela berpura-pura tuli hanya untuk mentutup aib seseorang. Pertanyaannya: Apakah kita termasuk yang senang menutup aib kita sendiri dan aib orang lain? Ataukah sebaliknya, senang mengumbar aib diri bahkan aib orang lain? Allahu ‘Alam.

Baca Juga

Pilihan Editor

Saksikan Video Menarik Berikut: