Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Mendudukkan Perempuan dalam Islam dengan Adil

Avatar photo
44
×

Mendudukkan Perempuan dalam Islam dengan Adil

Share this article

Salah satu risalah kenabian Muhammad sallallahu alaihi wa sallam adalah memuliakan perempuan. Sebelum Islam, perempuan dianggap sebagai makhluk yang hina dan tidak berguna, juga dianggap sebagai bukan manusia melainkan barang dan harta.

Di Arab pra-Islam misalnya, bayi perempuan dikubur hidup-hidup karena orang tuanya menanggung malu, sebab perempuan tidak mampu mengangkat senjata dan menjaga benteng pertahanan. Di Persia, perempuan haid diharuskan menjauh dari lingkungannya, karena dianggap menjijikkan.  Demikian juga di India, perempuan tidak mendapatkan warisan, karena dianggap sebagai sumber kerusakan akhlak dan agama.  

Kemudian Islam datang membawa persamaan derajat antara laki-laki dan perempuan. Allah  subhanahu wa ta’ala telah berfirman dalam surat An-Nisa ayat 1:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱتَّقُوا۟ رَبَّكُمُ ٱلَّذِى خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَٰحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَآءً ۚ

”Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak…”

Dalam ayat tersebut terdapat kata ”an-naas” yang berarti manusia, bisa laki-laki bisa juga perempuan. Maksudnya, derajat manusia di hadapan Allah adalah sama tanpa memandang jenis kelaminnya.

Seperti halnya laki-laki, Islam memberikan kebebasan kepada perempuan dalam urusan  harta dan pernikahan. Mereka bebas untuk menggunakan hartanya sesuai keinginannya. Mereka juga bebas memilih pasangan untuk dijadikan suaminya.

Rasul sallallahu alaihi wa sallam pernah didatangi oleh seorang perempuan yang dipaksa oleh ayahnya untuk menikah demi kepentingan ayahnya. Beliau memberikan pilihan kepada perempuan tersebut untuk menerima atau menolaknya.

Beda Aliran Beda Penghormatan

Umat Islam sepakat untuk menghormati perempuan, meski dengan cara yang berbeda sesuai dalilnya masing-masing. Secara  umum, umat Islam dalam hal ini terbagi menjadi dua kelompok.

Kelompok yang pertama, umat Islam yang menghormati perempuan dengan cara menempatkannya di rumah. Mereka tidak mengizinkan perempuan berpendidikan terlalu tinggi, tidak mengizinkannya bekerja, dan tidak juga mengizinkannya bepergian jauh sendirian. Menurut kelompok ini, perempuan cukup di rumah mengurus rumah tangga.

Pandangan kelompok ini berlandaskan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, bahwasanya Sahabiyah Asma’ binti Yazid al-Anshariyah mendatangi Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam. Asma’ menyampaikan kegalauan kaum perempuan yang tidak mendapatkan kesempatan beribadah seperti laki-laki.

Menurutnya, laki-laki dilebihkan pahalanya dengan mendatangi shalat Jumat, menjenguk orang sakit, menghadiri pemakaman, haji berkali-kali, dan berjihad fi sabilillah. Sementara perempuan hanya berada di dalam rumah, mengandung dan mengurus keluarga.

Kemudian Rasulullah menjawab kegalauan Asma’:

افهمي أيتها المرأة، وأعلمي من خلفك من النساء، أن حسن تبعل المرأة لزوجها وطلبها مرضاته، واتباعها موافقته، يعدل ذلك كله

“Pahamilah wahai perempuan, dan beritahukanlah kepada para perempuan di belakangmu bahwa ketaatan istri kepada suaminya, usahanya untuk memperoleh ridhanya, dan kepatuhannya terhadap keinginannya menyamai semua itu..”

Dari hadis di atas sudah jelas, menurut kelompok ini, bahwa perempuan tugasnya di rumah mengurus rumah tangga. Mendapatkan ridha suami adalah pahala besar yang menyamai amalan-amalan laki-laki. Jadi, perempuan tidak perlu repot keluar rumah dan bekerja.

Barangkali Iran adalah salah satu negara yang mengikuti pendapat di atas. Mahmoud Ahmadinejad, mantan Presiden Iran pernah ditanya oleh Presiden SBY terkait perempuan di Iran yang tidak dibebaskan untuk bekerja. Dia menjawab: “Perempuan bagi kami adalah makhluk yang mulia, dan cara kami memuliakannya adalah dengan tidak menyuruh mereka bekerja.”

Sebagian orang tua terdahulu bisa jadi juga berpegang pada hadis di atas. Mereka menganggap istri sebagai kanca wingking (teman di belakang) yang urusannya adalah dapur, sumur dan kasur. Bahkan nasib istri di akhirat juga ditentukan oleh suami. Dalam istilah orang tua, ”Bojo wadon kuwi swargo nunut neroko katut”. Artinya, istri kalau masuk sorga numpang ke suami, kalau neraka berarti dia juga ngikut suami.

Kelompok yang kedua, umat Islam yang menghormati perempuan dengan memberikan ruang gerak yang cukup kepadanya, tidak membatasinya di rumah saja. Perempuan boleh berpendidikan tinggi, boleh bekerja, dan boleh juga bepergian jauh dalam keadaan aman.

Pandangan kelompok ini berdasarkan dalil, bahwa Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam, seperti yang diceritakan oleh Sayyidah Aisyah, adalah suami yang membantu pekerjaan istrinya di rumah. Maksudnya, suami-istri dapat saling membantu dalam menyelesaikan tugas rumah tangga. Urusan rumah tangga bukan tugas istri saja.

Dalil lainnya, Sayyidah Khadijah istri Rasulullah adalah seorang pedagang, beberapa istri Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam membantu kaum muslimin dalam berperang untuk menyediakan air minum dan mengobati prajurit yang terluka. Artinya, aktifitas kaum perempuan tidak terbatas di rumah saja, melainkan di luar rumah jika dibutuhkan.

Para ulama banyak yang sepakat dengan pendapat di atas. Misalnya Syekh Yusuf al-Qardawy, ulama besar lulusan Al-Azhar yang mengatakan dalam salah satu fatwanya, bahwa dunia pada hari ini seperti desa yang kecil, sehingga perempuan tidak ada larangan bepergian sendirian selama keadaan aman.

Demikian juga dengan Syekh Ramadhan Al-Bouthi rahimahullah, ulama Al-Azhar asal Suriah. Istri beliau diizinkan untuk bekerja sebagai seorang guru.

Pun demikian dengan mantan Rektor Al-Azhar, Prof. Dr. Abdul Hay Azb Abdul ‘Aal. Ketika beliau menjabat rektor Al-Azhar, istri beliau adalah Dekan Kulliyyah Banat Al Azhar.

Mengkompromikan dalil-dalil yang berbeda

Memahami dalil-dalil tentang perempuan haruslah seimbang. Ketika kita melihat dalil yang mengatakan bahwa amal ibadah perempuan yang terbesar adalah taat kepada suami dan mengurus rumah tangga, kita juga harus melihat dalil lain yang memperbolehkan perempuan beraktifitas di luar rumah.

Seperti yang disampaikan oleh Hasan Abdullah Alu Syaikh, mantan menteri Pendidikan Saudi Arabia, bahwa tugas utama bagi perempuan dalam Islam adalah membina keluarga dan mengurus rumah tangga.  Tapi jika dibutuhkan atau tertarik untuk bekerja, maka Islam memperbolehkannya, selama pekerjaan itu pantas dan tidak merendahkan martabat perempuan.

Kontributor

  • Ahmad Hujaj Nurrohim

    Asal Cilacap, pernah nyantri di Pesantren Leler dan Al Azhar Kairo. Sekarang tinggal di Yogyakarta dan mengajar di Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Yogyakarta. Punya hobi nonton film action.