Tokoh

Meneladani Keulamaan Imam Malik

26 Sep 2020 06:50 WIB
1950
.
Meneladani Keulamaan Imam Malik

Imam Dar Al-Hijrah (pemimpin kota hijrah: Madinah) demikian julukan masyhur Imam Malik. Nama lengkap beliau Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir Al-Ashbahi Al-Himyari Al-Madani (93-179 H); seorang mujtahid yang mazhabnya diikuti oleh kaum muslimin, bersandingan dengan mazhab Hanafi, Syafi’i dan Hanbali.

Karyanya, Al-Muwattha’, yang berupa kumpulan hadits Nabi Saw., abadi dan dikaji hingga saat ini. Imam As-Syafi’i memuji karya gurunya, Imam Malik dengan berkata, “Di bawah kolong langit tak ada kitab yang lebih shahih setelah Al-Qur’an melebihi Al-Muwattha’”. Tentu, ungkapan ini keluar sebelum munculnya “Al-Jami’ As-Shahih” karya Imam Al-Bukhari.

Pengagungan Imam Malik pada Ilmu Hadits

Semenjak kecil Imam Malik sudah disiapkan oleh orang tuanya, terutama sang bunda, untuk menjadi ulama. Sebelum Malik kecil berangkat ke majlis-majlis ilmu, sang bunda terlihat memandikan anak tersayangnya, memakaikan baju terbaik dan tak lupa wewangian.

Perlakuan semacam ini membekas hingga kelak beliau menjadi ulama. Pengagungannya pada ilmu dan ulama terpancar kuat dari perilakunya, terutama pada hadits-hadits Nabi Saw. Beliau berdalih, “Kami tak melihat ulama negeri kecuali memakai baju yang bagus. Semua ini demi mengagungkan ilmu”.

Pernah dalam satu momen di majlis ilmu hadits, Imam Malik sedang asyik membaca dan menjelaskan hadits-hadits Nabi Saw. Tiba-tiba wajahnya memerah seperti menahan sakit yang tak terkira. Namun beliau bertahan hingga majlis usai. Beberapa muridnya yang merasa penasaran bertanya, “Apa sebab wajah tuan memerah di tengah majlis?”

Beliau menjawab, “Saya disengat kalajengking. Tapi saya menahan sakitnya demi menghormati hadits-hadits Nabi Saw.”

Saat seorang khalifah, Harun Ar-Rasyid (w. 194 H), datang memintanya agar memberi pelajaran privat bagi putra-putranya. Imam Malik menolak keras dengan mengatakan, “Ilmu harus didatangi. Bukan mendatangi!”

Baca juga: Meneladani Keulamaan Imam Al-Bukhari

Padahal bisa saja beliau bermanis wajah dan menerima penawaran menggiurkan semacam ini. Toh, kenyataannya ekonomi keluarga beliau masuk ekonomi bawah. Sampai akhir hayatnya, beliau tinggal di sebuah rumah kontrakan. Kenyataan yang mungkin tak terbayangkan bagi pengagumnya.

Khalifah Al-Mahdi (w. 169 H), ayah Ar-Rasyid, kabarnya pernah menawarinya rumah. Tapi Imam Malik menolak dengan halus. Di pintu rumahnya bertuliskan “ماشاء الله”. Ketika ditanya alasannya, beliau menjawab dengan membacakan ayat ولولا إذ دخلت جنتك قلت ما شاء الله (Dan mengapa kamu tidak mengatakan waktu kamu memasuki kebunmu, "Masya`allah, sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud”). Rumah ini konon milik sahabat Abdullah bin Mas’ud sebelum pindah dan bermukim di Kufah-Irak.

Imam Malik dan Merpati

Di masa mudanya, Imam Malik sangat menyukai merpati. Hingga suatu waktu, dia dan saudara kandungnya, An-Nadlar, dipanggil oleh sang ayah. Keduanya dites hafalan dan pertanyaan seputar ilmu. Beliau mengaku, “Saudaraku bisa menjawab dan saya salah menjawab. Ayah kemudian menyindirku: ini pasti karena kamu sibuk dengan merpati!”

“Akhirnya saya malu dan memutuskan untuk belajar dan melayani seorang ulama Madinah, Ibn Hurmuz,” tuturnya. Dia menuruti nasehat ibunya, “Belajarlah pada Ibn Hurmuz: adab dan etikanya sebelum ilmunya.”

“Saya berangkat pagi dan tidak pulang kecuali malam hari,” kenang beliau, “bahkan anak-anaknya, saya yang menyuapi”. Sebuah contoh khidmah (pelayanan) murid pada gurunya.

Ibn Hurmuz (148 H) adalah seorang muhaddits yang terkenal menjauhi popularitas. Selain kepada beliau, Imam Malik juga berguru pada Rabiatur Ray (142 H), seorang faqih kota Madinah, dan Nafi’ (seorang tabi’in, murid terbaik Abdullah bin Umar). 

Baca juga: Obituari: Syekh Nuruddin Itr, Pakar Hadits Suriah Yang Sangat Mencintai Al-Azhar

Muwattha’ Imam Malik

Syeikh Zakariya Al-Anshari menulis dalam Syarah Al-Alfiyah fi Ilmi Hadits-nya Imam Al-Iraqi: Orang pertama yang menulis karya hadits adalah Ibn Juraij di Makkah, Malik dan Ibn Abi Dzi’b di Madinah, Al-Awza’i di Syam, As-Tsauri di Kufah, Said bin Abi Arubah dan Rabi’ bin Subaih dan Hammad di Bashrah....”

Dalam Al-Muwattha’, Imam Malik mendokumentasikan hadits-hadits yang dianggapnya kuat secara transmisi (sanad) dengan dibubuhi ucapan para sahabat dan tabi’in.

Al-Muwattha’ mendapat sambutan hangat di kalangan umat Islam masa itu. Menurut pengakuan Imam Malik sendiri, “Saya sudah meminta pendapat 70 ulama Madinah tentang bukuku. Semuanya sepakat, maka saya memberi judul ‘Muwattha’”. Sampai-sampai khalifah masa itu, Harun Ar-Rasyid, memaksa beliau untuk menyebarkan Al-Muwattha’ ke seluruh penjuru negeri Islam supaya dijadikan standar keilmuan.

Tapi Imam Malik menolak keras karena memandang setiap negeri Islam sudah ada imam dan ulamanya. Tak boleh memaksakan mazhab yang dianutnya menjadi mazhab resmi negara. Selain itu, bisa saja ada hadits kuat namun belum diketahui oleh dirinya. Bagaimanapun para sahabat Nabi Saw. sebagai penyambung lidah Rasul menyebar di setiap penjuru negeri islam.

Baca juga: Syekh Ibrahim dari Alexandria Dan Tafsir Lain Hadits Jenggot

Ini mengajarkan kita bahwa memaksakan pendapat sendiri pada orang lain bukan sikap terhormat. Dan bahwa mazhab yang dijadikan mazhab resmi sebuah negara akan berbahaya bagi eksistensi mazhab tersebut; begitu negara runtuh mazhab akan ikut runtuh. Cukuplah berkaca pada kasus Muktazilah yang memaksakan mazhabnya pada orang lain dan menjadi standar resmi beberapa khalifah Abbasiyah; akhirnya ikut runtuh dan tenggelam seiring wafatnya para khalifah pendukung.  

Imam Malik dan Imam Al-Laist

Imam Malik memang tidak pergi ke mana-mana layaknya ulama lain. Tapi kota Madinah di masa itu menyimpan warisan keilmuan para tabi’in (seperti Nafi’ dan Az-Zuhri) yang bersambung ke para sahabat.

Namun bukan berarti tak ada interaksi antara Malik dengan ulama di masanya. Sebab saat bulan haji, semua ulama dari seluruh penjuru negeri berkumpul di sana: Imam Abu Hanifah, Al-Awza’i, Abu Yusuf, Al-Laits bin Sa’d (ulama Mesir).

Dengan nama terakhir, Imam Malik menjalin hubungan erat dan kerap berkorespondensi saling adu argumen terkait konsep mazhab Maliki yang menetapkan perilaku dan tradisi penduduk kota Madinah sebagai sumber hukum. Uniknya, tatkala beliau mengalami kesulitan ekonomi, maka Al-Laits orang pertama yang akan membantunya.

Imam Al-Laits (w. 175 H) hidup semasa dengan Imam Malik (w. 179 H). Dia memiliki mazhab tersendiri dan diikuti oleh mayoritas penduduk Mesir saat itu, tapi karena kecerobohan pengikutnya yang tidak mau mengabadikan dalam tulisan, akhirnya mazhab Imam Al-Laits punah. Padahal seperti kesaksian Imam As-Syafi’i, “Imam Al-Laits lebih ahli fikih dari Imam Malik”. Rahimahumullah al-jamī.

Abdul Munim Cholil
Abdul Munim Cholil / 44 Artikel

Kiai muda asal Madura. Mengkaji sejumlah karya Mbah Kholil Bangkalan. Lulusan Al-Azhar, Mesir. Katib Mahad Aly Nurul Cholil Bangkalan dan dosen tasawuf STAI Al Fithrah Surabaya

Baca Juga

Pilihan Editor

Saksikan Video Menarik Berikut: