Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Salah Kaprah Bulan Safar, Larangan Menikah dan Rebo Wekasan

Avatar photo
25
×

Salah Kaprah Bulan Safar, Larangan Menikah dan Rebo Wekasan

Share this article

Bulan Safar merupakan bulan kedua dalam kalender Islam. Ketika menyebut Bulan Safar, kebanyakan masyarakat masih berpikiran negatif. Secara bahasa safar berarti kosong. Hal itu berdasarkan kebiasaan masyarakat Arab Jahiliyah, yang sering mengosongkan rumahnya untuk bepergian atau berperang.

Ada pula yang mengatakan bahwa Safar diambil dari nama penyakit yang ada di perut. Hal ini diyakini orang Arab jahiliyah di masa lampau. Ada juga yang mengartikan safar sebagai jenis angin berhawa panas di perut.

Masyarakat Arab Jahiliyah beranggapan bahwa bulan Safar adalah bulan sial. Bulan turunnya kemurkaan dan hukuman ke dunia. Anggapan ini terus berlanjut menjadi doktrin dari generasi ke generasi, bahkan bertahan hingga kini.

Di dalam Al-Qur’an surah At-Taubah ayat 36 Allah berfirman:

اِنَّ عِدَّةَ الشُّهُوْرِ عِنْدَ اللّٰهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِيْ كِتٰبِ اللّٰهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ مِنْهَآ اَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۗذٰلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُ ەۙ فَلَا تَظْلِمُوْا فِيْهِنَّ اَنْفُسَكُمْ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِيْنَ كَاۤفَّةً كَمَا يُقَاتِلُوْنَكُمْ كَاۤفَّةً ۗوَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ مَعَ الْمُتَّقِيْنَ

“Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzalimi dirimu dalam (bulan yang empat) itu, dan perangilah kaum musyrikin semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya. Dan ketahuilah bahwa Allah beserta orang-orang yang takwa.”

Ayat di atas menjelaskan bahwa dalam setiap tahunnya terdapat 12 bulan, dari 12 bulan tersebut, ada 4 bulan yang dimuliakan Allah, artinya pada empat bulan tersebut Allah melarang berperang. Adapun 4 bulan yang dimuliakan Allah yaitu Dzul Qo’idah, Dzul Hijjah, Muharram, dan Rajab. Selain bulan empat tersebut, tentunya mempunyai derajat yang sama.

Baca juga: Hukum Baca Al-Quran Lewat Gawai saat Haid

Dalam hadist riwayat Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda:

لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ وَلَا هَامَةَ وَلَا صَفَرَ

“Tidak ada penularan penyakit (dengan sendirinya), tidak ada thiyarah, tidak ada kesialan karena burung hantu, dan tidak ada kesialan pada bulan safar.”

‘Adwa artinya keyakinan akan adanya penularan penyakit (dengan sendirinya). Thiyarah artinya keyakinan akan adanya nasib sial disebabkan melihat burung atau hewan lainnya. Hammah artinya keyakinan akan adanya kematian berdasarkan adanya burung hantu yang hinggap di atas rumah. Safarartinya keyakinan bahwa bulan safar adalah bulan kesialan.

Selain itu, dalam Al-Qur’an surat At Taubah ayat 51, Allahu berfirman:

قُلْ لَّنْ يُّصِيْبَنَآ اِلَّا مَا كَتَبَ اللّٰهُ لَنَاۚ هُوَ مَوْلٰىنَا وَعَلَى اللّٰهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُوْن

“Katakanlah (Muhammad), ‘Tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah bagi kami. Dialah pelindung kami, dan hanya kepada Allah bertawakallah orang-orang yang beriman.’”

Larangan Nikah Bulan Safar                                    

Sebagian masyarakat Jawa masih menganggap bahwa menggelar acara pernikahan di bulan Safar akan membawa sial. Misal rumah tangganya kacau atau banyak gangguan dalam rumah tangga. Hal ini berdasarkan anggapan bahwa Bulan Safar, hampir sama dengan Bulan Muharram (suro).

Pada hakikatnya semua kejadian atau musibah yang menimpa kita, disebabkan oleh perbuatan kita sendiri. Seperti firman Allah dalam Al Qur’an surat As Syuro ayat 30:

وَمَآ اَصَابَكُمْ مِّنْ مُّصِيْبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ اَيْدِيْكُمْ وَيَعْفُوْا عَنْ كَثِيْرٍ

“Dan musibah apa pun yang menimpa kamu adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahanmu).”

Oleh Karena itu anggapan bahwa menggelar acara pernikahan di bulan Safar akan membawa sial adalah keliru dan terbantahkan dengan ayat-ayat Al Qur’an tersebut di atas. Apalagi bila kita membaca sejarah, diriwayatkan bahwa pernikahan junjungan kita Nabi Agung Muhammad SAW dengan Sayyidah Khodijah terjadi di bulan safar. Begitu juga pernikahan Sayyidah Fatimah Putri Rosulullah dengan Sayyidina Ali terjadi di bulan Safar, seperti yang diterangkan dalam kitab Nihayatul Muhtaj.

Baca juga: Kisah Cinta Zahid dan Zulfah: Gagal Menikah Demi Taat Rasulullah

Rabu Wekasan

Rabu Wekasan secara etimologi berarti hari Rabu terakhir yang jatuh pada bulan Safar. Konon, Tradisi Rabu Wekasan berdasarkan sebuah kisah bahwa ada seorang waliyullah Mukasyafah yang mengatakan bahwa pada setiap tahunnya akan turun 320.000 macam bala atau bencana.

Untuk menghindari bencana tersebut, beliau menyarankan kepada umat Islam untuk melakukan ritus ibadah. Seperti mengadakan selamatan dengan membuat bubur harisah. Bubur tersebut disedekahkan karena diyakini bahwa sedekah dapat menolak bencana, seperti sabda Nabi :

عن علي بن أبي طالب قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: باكروا بالصدقة، فإن البلاء  لا يتخطاها

Dari Ali bin Abi Thalib beliau berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Bersegeralah untuk bersedekah, karena musibah dan bencana tidak bisa mendahului sedekah.”

Sebagian masyarakat ada yang melakukan shalat lidaf’il bala’ (agar terhindar dari bencana) sebanyak empat rakaat.  Setiap rakaat membaca Al-Fatihah dan Surat Al-Kautsar 17 kali, Al-Ikhlas 5 kali, Al-falaq dan An-Nas satu kali, setelah salam dilanjutkan dengan membaca doa khusus. Disebutkan dalam hadits shahih Imam Al-Bukhari bahwa Rasulullah SAW, ketika terjadi paceklik, beliau melakukan shalat Istisqa’.

عن عبد الله بن زيد، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ إِلَى الْمُصَلَّى فَاسْتَسْقَى فَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ وَقَلَبَ رِدَاءَهُ وَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ

“Dari Abdullah bin Zaid sesungguhnya Nabi SAW keluar menuju tempat shalat kemudian beliau memohon hujan dan menghadap kiblat serta membalik selendangnya dan shalat dua rakaat.”

Sebagian masyarakat ada juga yang membuat “air jimat” yang telah didoakan lidaf’il bala’, yang pada intinya ritual ibadah tersebut dilakukan dengan tujuan agar mereka terhindar dari bencana yang akan turun pada hari Rabu Wekasan dari akhir bulan Safar. Pro-kontra terhadap ritual-ritual tersebut menjadi niscaya. Tetapi yang paling penting adalah ritual tersebut tidak bertentangan dengan ketauhidan, dan kita perlu memahami dan menghormati.

Bukankah dalam kitab Fathul Qarib disebutkan sebelum melaksanakan shalat Istisqa’, dianjurkan untuk puasa tiga hari, bersedekah dan tobat dari kedzoliman terlebih dahulu? Wallahu ‘Alam.

Kontributor

  • Ibnu Zen@

    Pernah nyantri di Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang Rembang di bawah asuhan KH. Maemun Zubair, Allahu Yarhamuh. Sekarang mengajar di di Pondok Pesantren An-Nasihun Kedungwuni Pekalongan.