Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Kisah

Surat Umar untuk Sungai Nil

Avatar photo
40
×

Surat Umar untuk Sungai Nil

Share this article

Kepercayaan pada penumbalan jiwa untuk sungai, jembatan, laut dan sebagainya supaya alam berjalan sebagaimana semestinya dipercaya oleh banyak bangsa di persada bumi. Khurafat ini umurnya sudah sangat panjang. Termasuk di Mesir.

Sebelum punya bendungan raksasa (as-sad al-ali) 1970 M di Aswan, wilayah selatan Mesir, Sungai Nil punya dua musim. Musim pasang hingga banjir dan musim surut. Kondisi pertanian dan kehidupan orang Mesir tergantung musim ini. Oleh karenanya diperlukan adanya alat untuk melihat debit air. Kapan banjir dan kapang surut. Perangkat buatan era Umawi di pulau Raudah Kairo itu disebut Nilometer (miqyasin nil), dan meski tak lagi dipakai fisiknya masih terlihat masih muda sampai sekarang.

Waktu meluap, Nil tak kunjung memberi tanda-tanda. Untuk mengalirkan airnya, orang Mesir percaya harus ditumbalkan seorang gadis. Ia dirias, mengenakan pakaian mewah, gemerlap perhiasan, lalu… dilemparkan ke sungai sambil disaksikan kedua orang tuanya!

Baca juga: Muhammad Abduh, Ulama Pembaharu Pendidikan Asal Mesir

Tapi itu dulu, kini era sudah berbeda. Setelah Islam masuk Mesir, orang-orang mulai berpikir bahwa jiwa manusia tak berdosa tak seharusnya dikorbankan untuk hal yang di luar akal. Mereka bergegas mendatangi Amr bin Ash, penakluk Mesir yang kini menjadi Gubernur, melaporkan kondisi nil terkini. Mereka bercerita tradisi lama mereka jika Nil rewel.

“Jelas ini tidak benar. Islam menghapus tradisi buruk,” tegas Amr bin Ash.

Gubernur hanya bisa menolak, tapi tak bisa memberi solusi. Waktu berjalan. Sudah tiga bulan lamanya tapi kondisi air kian memprihatinkan. Mereka nyaris putus asa dan bertekad hendak mengungsi. Lalu Amr bin Ash melaporkan ke khalifah. Setelah surat sampai dan dibaca oleh Amirul Mukminin Umar bin Khatab, beliau menulis surat:

“Dari Amirul Mukminin kepada Nil Mesir. Amabakdu: Jika kamu mengalir atas kehendakmu sendiri, maka jangan lagi mengalir. Jika Allah Yang Esa dan Mahakuasa adalah yang membuatmu mengalir, maka aku memohon pada Allah untuk mengalirkanmu!”

Baca juga: Kewalian Imam Asy-Syatibi, Pembaharu Penulisan Ilmu Qira’at

Jelas sekali surat itu ditujukan untuk Nil, bukan untuk gubernur atau penduduk Mesir. Amr bin Ash lalu melemparkan surat itu ke Nil ketika orang-orang telah siap untuk mengungsi. Tak disangka, malam itu debit nil tambah belasan meter!

Banyak orang menyangsikan kejadian karamah yang bersumber dari Ibnu Lahi’ah dan dikisahkan ulang oleh Ibnu Abdil Hakam dalam Futuh Misr, Ibnu Katsir dalam al-Bidayah, as-Sakhawi dalam at-Tibru al-Masbuk, at-Taj as-Subki dalam ath-Thabaqat al-Kubra, Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq, dan sejumlah ulama dan sejarawan lain ini. Atau sekurang-kurangnya, menganggap sikap Umar tidak dibenarkan sebab memperlakukan benda layaknya manusia. Juga tidak berdasar dalil.

Imam at-Taj as-Subki menyatakan dengan tegas, “Al-Faruq harus berdasar dalil? Jangankan satu dalil, dalam hal ini ada dalil tak terhitung! Bukankah mimbar dari pelepah kurma menangis sesenggukan ketika ia tak lagi diinjak oleh Rasulullah dan baru diam tatkala dirangkulnya? Bukankah ada unta yang mengadu pada Rasulullah? Dan seterusnya dan seterusnya.”

Kontributor

  • Alfan Khumaidi

    Alumni Blokagung yang kini berdomisili di Mesir. Meminati kajian keislaman dan aktif di PCI NU Mesir.