Memiliki anak dan keturunan yang baik merupakan impian ideal semua orang tua. Tak ada satu pun orang tua di bumi yang menghendaki anaknya lebih buruk nasibnya daripada mereka. Semuanya berharap anaknya kelak bisa lebih baik atau paling tidak bisa meneruskan perjuangan orang tua.
Akan tetapi pada kenyataanya tidak semua hal sesuai rencana. Dalam mendidik anak selalu ada saja masalah yang muncul. Tidak mudah memang mendidik anak dengan baik itu. Namun ada banyak cara yang bisa dipelajari dan ditempuh agar bisa optimal menjalankan peran sebagai orang tua.
Islam sendiri sangat mendorong agar orang tua sebaik mungkin memberikan pendidikan bagi anak. Toh salah satu hal yang menjadi tinggalan bermanfaat orang tua ketika ia wafat adalah anak yang saleh. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث: صدقة جارية، وعلم ينتفع به، وولد صالح يدعو له
“Jika anak cucu adam mati maka semua amal perbuatannya terputus kecuali tiga hal. Sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak saleh yang mendoakan orangtunya.” (HR. Muslim)
Mendidik Anak dengan Menuliskan Kitab untuknya
Mengenai salah satu cara mendidik anak, ada sebagian ulama yang mempunyai cara unik dalam menjalankannya. Ada beberapa ulama yang khusus menulis sebuah kitab untuk didedikasikan kepada sang buah hati.
Kitab tersebut sengaja ditulis, sebagai bentuk manifestasi kecintaannya kepada anaknya. Tak berlebihan memang, karena pada dasarnya tidak ada lagi yang akan meneruskan kiprah dan perjuangan sang ayah kecuali putra dan putrinya. Dan tentunya salah satu cara dalam mendidik anak adalah dengan menuliskan sebuah kitab untuknya. Diantara ulama yang melakukan hal tersebut adalah:
Abul Hajjaj Yusuf bin Muhammad al-Balwa al-Andalusi (w. 604 H)
Ia merupakan salah satu ulama disegani di Andalusia. Ia dikenal di Andalusia sebagai sosok ulama yang pakar di bidang linguistik dan sastra. Ia dilahirkan di Kota Malaga pada tahun 526 H., salah satu kota yang cukup tua di daratan Spanyol. Ia lebih dikenal dengan nama Ibnu Syeikh.
Sekalipun ia lebih banyak dikenal sebagai sosok ulama sastrawan, ia juga ternyata juga dikenal sebagai sosok sufi. Di Malaga ia banyak membuat halaqah-halaqah pengajian. Ia juga diriwayatkan telah membangun 25 masjid dari kantongnya sendiri.
Selain kesibukannya mengajar, ia juga dikenal rajin mengikuti peperangan. Tercatat ketika berada di Maroko ia ikut berperang di barisan Sultan Mansyur. Dia juga sempat mengikuti perang melawan pasukan salib bersama Shalahuddin al-Ayyubi.
Baca juga: Nabi Sulaiman dan Rayuan Maut Seekor Burung
Dia juga sempat tinggal di Alexandria, Mesir untuk mengisi banyak kajian khutbah. Di sana ia juga memanfaatkan untuk menimba ilmu dari muhaddist Abu Thohir As-Salafi (w. 576 H).
Ia menikah beberapa kali akan tetapi dari sekian pernikahannya ia belum dikaruniai satu keturunan pun. Namun, di akhir masa hidupnya ia menikahi salah seorang perempuan yang tidak terlalu cantik, hitam dan dekil. Namun, justru dari pernikahan terakhirnya itulah ia akhirnya mendapat satu anak yang ia beri nama; Abdurrahim. Dan karena anak satu-satunya yang ia idam-idamkan itu, ia menulis satu kitab khusus yang ia beri judul Alfu Ba’ fi Anwa’ al-Adab wa Funun al-Muhadarat al-Lughoh. Sebagaimana yang ia singgung dalam muqaddimah kitab tersebut:
وجعلت ما أالف فيه وأبني لعبد الرحيم ابني ليقرأه بعد موتي وينظر إلي بعد فوتي
“Saya sengaja menulis karangan ini untuk putra kesayanganku; Abdurrahim. Agar kelak ia bisa membacanya setelah saya mati dan menjadi kenangan tersendiri ketika ia tak lagi bersua dengan saya kembali.”
Kitab ini merupakan salah satu kitab ensiklopedis sastra ilmiah yang cukup lengkap. Karena di dalamnya tidak hanya banyak menulis fragmen sastra yang memukau. Lebih dari itu, kitab ini banyak sekali menulis berbagai faidah tentang alam, manusia, tumbuhan, hewan, puisi dengan gaya yang cukup naratif.
Dalam Kasyf al-Dzunun (vol. 1 hal. 150), Syekh Musthofa Chalabi (w. 1068 H) menilai bahwa kitab ini merupakan masterpiece langka yang memuat banyak sekali faidah.
Fakhruddin ar-Razi (w. 606 H)
Perlu diketahui dalam sejarah literatur klasik kitab al-Arbain fi Ushul al-Din dengan judul yang sama terdapat dua versi. Yang pertama adalah al-Arbain fi Ushul al-Din karangan Imam al-Ghazali (w. 505 H) yang menulis tentang kajian tasawuf dan al-Arbain fi Ushul al-Din karangan Imam fakhruddin ar-Razi (w. 606 H) yang berbicara tentang ilmu kalam atau teologi.
Imam Fakhruddin ar-Razi sendiri merupakan salah satu tokoh ilmuwan yang sangat masyhur dikenal sebagai mufassir dan teolog terkemuka setelah masa al-Ghazali. Salah satu satu karya monumentalnya adalah tafsir Mafatih al-Ghoib atau dikenal dengan Tafsir al-Kabir.
Kitab ini secara khusus ditulis oleh Fakhruddin ar-Razi untuk buah hati kesayangannya; Muhammad bin Fakhruddin ar-Razi. Kitab ini termasuk kitab teologi komprehensif fase awal. Kitab ini banyak mendapat perhatian para ulama setelahnya.
Ibnu al-Jauzi (w. 597 H)
Satu ulama lagi yang juga mendedikasikan secara khusus satu buku atau kitab kepada putranya adalah Abul Faraj Abdurrahman bin Ali bin Muhammad yang lebih dikenal dengan Ibnu al-Jauzi (w. 597 H). Beliau merupakan salah satu ulama besar mazhab Hanbali.
Sebagai ulama tentunya, ia mengharapkan mempunyai satu penerus yang bisa melanjutkan perjuangannya sebagai ulama. Dan sudah barang tentu anak laki-lakinya lah yang sangat ia harapkan menjadi putra mahkota intelektualnya. Namun, apa boleh buat ternyata harapan besar itu kemudian mendapat cobaannya. Anak lelaki yang bernama Abul Qosim Badruddin Ali Ibnu al-Jauzi kurang serius dalam belajar. Pergaulannya pun semakin liar, tak terkendali. Hal tersebut membuatnya begitu gundah gulana.
Ibnu al-Jauzi pun berinisiatif menulis sebuah kitab yang ringkas berisi nasihat-nasihat ayah kepada anaknya. Kitab itu ia beri judul Laftah al-Kabad fi Nasihat al-Walad Yang mempunyai arti “Getaran Hati yang Menerangkan Nasihat kepada Anak”.
Baca juga: Kisah Habib Ali Al-Habsyi Pengarang Simtud Duror Mendapat Ridha Ibunya
Ada kisah unik terkait ulah dan keonaran sang anak ini. Kisah ini pernah diceritakan oleh salah satu cucu Ibnu al-Jauzi; Abul Mudzoffar dalam Mir’at al-Zaman ketika sedang sengit-sengitnya ‘perang dingin’ antar ayah dan anak. Sang anak Ali seringkali mencuri kitab koleksi sang ayah untuk kemudian dijual secara diam-diam di pasar dengan harga miring. itu ia lakukan berkali-kali. Jika ia ketahuan mengambil, ia akan berhenti dan kembali berusaha mengambilnya di malam hari. Lantas menjualnya kembali. Keisengannya itu membuat ia berhar-hari tidak diurusi oleh sang ayah. Dan puncaknya Ibnu al-Jauzi kemudian mencurahkan nasehat-nasehatnya dalam sebuah kitab ini.
Bahkan dalam pendahuluannya Ibnu al-Jauzi mengungkapkan secara jujur keresahan dan kesuntukan hatinya sebelum menulis kitab ini:
رأيت منه نوع توان عن الجد في طلب العلم، فكتبت إليه هذه الرسالة أحثه بها على طلب العلم وأحركه على سلوك طريقي في كسب العلم، وأدله على الالتجاء إلى الموفق سبحانه
“Saya melihat dalam dirinya terdapat kemalasan untuk bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu. Oleh sebab itu aku menulis risalah atau kitab ini. Harapannya semoga dia bisa termotivasi untuk lebih giat dalam mencari ilmu. Dan bisa menggerakkan hatinya untuk meneruskan jalanku di bidang ilmu, sehingga bisa menuntunnya untuk mendapat pertolongan Allah SWT.”
Kitab ini ditulis Imam Ibnu al-Jauzi dengan bahasa yang begitu indah namun juga mudah untuk dipahami. Karena Ibnu al-Jauzi sendiri merupakan salah satu ulama yang diakui kapabilitasnya dalam memberikan nasihat. Baik berupa tulisan atau lisan. Banyak sekali buku atau karangan miliknya yang begitu menyentuh hati.
Terakhir dalam penutupannya Ibnu al-Jauzi menuliskan harapan besarnya kepada sang anak dengan agak dramatis. Ia menulis, “Berjuanglah Nak, jangan sampai engkau mengecewakanku. Aku telah sepenuhnya memasrahkan semuanya kepada Allah, karena hanya dari Allahlah semua ilmu dan amal kita peroleh.”
Sirojuddin Umar Ibn Mulaqqin (w. 804 H)
Abu Hafs Umar bin Ali bin Ahmad bin Muhammad bin Abdullah Al-Anshari Al-Wadi Asyi Al-Andalusi At-Tukuruwi Al-Mishri Asy-Syafi’i atau lebih dikenal dengan Ibnu Al-Mulaqqin atau Ibnu An-Nahwi. Beliau adalah salah satu ulama yang mahir dalam bidang hadis, fikih serta sejarah.
Ia merupakan murid dari al-Isnawi, Ibnu Hisyam beserta Taqiyuddin As-Subki. Dari merekalah ia banyak mengasah kemampuannya. Ia sendiri mempunyai banyak sekali karya intelektual. Baik di bidang hadits, fikih maupun ushul. Yang paling terkenal tentu adalah syarh atau komentar dari kitab Shahih Bukhari. Ia memberi nama kitab tersebut dengan al-Taudzih li Syarh Jami’ al-Shahih.
Seperti ulama-ulama diatas, Ibnu Mulaqqin juga mempunyai karya khusus untuk anaknya. Kitab tersebut berjudul at-Tadzkirah yang berisi beberapa masalah pokok dalam masalah fikih. Kitab tersebut sengaja disusun oleh Ibnu Mulaqqin untuk sang buah hati. Harapannya kelak kitab tersebut bisa dijadikan bahan belajar yang cocok dalam mendalami ilmu fikih.