Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Tanya Jawab

Adakah Larangan Memotong Rambut dan Kuku saat Haid?

Avatar photo
40
×

Adakah Larangan Memotong Rambut dan Kuku saat Haid?

Share this article

Tersebar di sebagian masyarakat kita bahwa dalam mazhab Syafi’i, wanita haid tidak boleh memotong rambut dan menggunting kuku. Dan dia dianjurkan mengumpulkan rambut yang jatuh untuk kemudian dimandikan bersama setelah suci dari haid.

Untuk memahami masalah ini secara utuh, ada dua poin yang perlu dibahas. Menyangkut larangan memotong rambut bagi wanita haid dan perintah mengumpulkan rambut dan kuku yang terpotong untuk dimandikan bersama setelah suci.

Larangan Memotong Rambut dan Kuku bagi Wanita Haid

Kita akan membicarakan masalahan ini dari segi hukum dan alasannya.

Dari segi hukum, hukum memotong kuku dan rambut bagi wanita haid dalam mazhab Syafi’i memang dilarang. Tetapi tingkat larangannya hanya sampai pada derajat makruh, tidak haram.

Artinya, tidak ada dosa sama sekali ketika sengaja dipotong sekalipun. Ulama Syafi’iyyah yang pertama kali menjelaskan hal ini adalah imam al-Ghazali (w. 505 H) dalam Ihya Ulumuddin (Beirut: Dar al-Ma’rifah, juz 2, hlm. 51):

وَلَا يَنْبَغِي أَنْ يَحْلِقَ أَوْ يُقَلِّمَ أَوْ يَسْتَحِدَّ أَوْ يُخْرِجَ دَمًا أَوْ يُبِيْنَ مِنْ نَفْسِهِ جُزْءًا وَهُوَ جُنُبٌ إِذْ تُرَدُّ إِلَيْهِ سَائِرُ أَجْزَائِهِ فِي اْلآخِرَةِ فَيَعُوْدُ جُنُباً وَيُقاَلُ إِنَّ كُلَّ شَعْرَةٍ تُطَالِبُهُ بِجِناَبَتِهَا

Baca juga: Delapan Amalan Yang Bisa Dilakukan Wanita Saat Haid

Kemudian pendapat ini diikuti oleh Ibnu Hajar al-Haitami (w. 973 H) dalam Tuhfah al-Muhtaj (Kairo: Dar al-Hadist, juz 1, hlm. 132):

ﻭﺃﻥ ﻻ ﻳﺰﻳﻞ ﺫﻭ ﺣﺪﺙ ﺃﻛﺒﺮ ﻗﺒﻠﻪ ﺷﻴﺌﺎ ﻣﻦ ﺑﺪﻧﻪ ﻭﻟﻮ ﻧﺤﻮ ﺩﻡ ﻗﺎﻝ اﻟﻐﺰاﻟﻲ ﻷﻥ ﺃﺟﺰاءﻩ ﺗﻌﻮﺩ ﺇﻟﻴﻪ ﻓﻲ اﻵﺧﺮﺓ ﺑﻮﺻﻒ اﻟﺠﻨﺎﺑﺔ ﻭﻳﻘﺎﻝ ﺇﻥ ﻛﻞ ﺷﻌﺮﺓ ﺗﻄﺎﻟﺒﻪ ﺑﺠﻨﺎﺑﺘﻬﺎ

Diikuti juga oleh Imam Ramli (w. 1004 H) dalam Nihayah al-Muhtaj  (Beirut: Dar al-Fikr, juz 1, hlm. 268):

قال في الإحياء: لا ينبغي أن يحلق أو يقلم أو يستحد أو يخرج دما أو يبين من نفسه جزءا وهو جنب، إذ سائر أجزائه ترد إليه في الآخرة فيعود جنبا. ويقال إن كل شعرة تطالب بجنابتها

Perlu dipahami, bahwa hukum makruh ini hanya berlaku bagi mereka yang sengaja memotong. Adapun bila terputus dengan sendirinya tanpa ada kelalaian dari wanita, maka tidak dimakruhkan.

Ali Syibramalsi (w. 1087 H) menuliskan dalam Hasyiyah Ali Syibramasi:

ﻭﻳﻨﺒﻐﻲ ﺃﻥ ﻣﺤﻞ ﺫﻟﻚ ﺣﻴﺚ ﻗﺼﺮ  ﻛﺃﻥ ﺩﺧﻞ ﻭﻗﺖ اﻟﺼﻼﺓ ﻭﻟﻢ ﻳﻐﺘﺴﻞ ﻭﺇﻻ ﻓﻼ ﻛﺄﻥ ﻓﺠﺄﻩ اﻟﻤﻮﺕ

Jadi dari penjelasan segi hukum ini, pendapat mu’tamad mazhab Syafi’i sepakat bahwa memang dimakruhkan bagi wanita haid untuk memotong kuku dan rambutnya.

Namun dari segi ilat atau alasannya, terdapat perbedaan pendapat.

Imam Ghazali menjelaskan bahwa ilatnya adalah karena kuku dan rambut akan dibangkitkan kembali dalam keadaan junub sebagaimana dikutip di atas.

Ali Syibramalsi membantah ilat di atas dengan mengutip pendapat Sa’duddin at-Taftazani (w. 792 H) bahwa yang dibangkitkan adalah anggota tubuh asli, yaitu yang menempel dari awal lahir sampai mati, bukan semua anggota tubuh yang pernah menempel.

Ali Syibramalsi menuliskan dalam Hasyiyah Ali Syibramalsi:

هذا مبني على أن الرد ليس خاصا بالأجزاء الأصلية وفيه خلاف، ﻭعبارة الشيخ سعد الدين ﻓﻲ ﺷﺮﺡ اﻟﻌﻘﺎﺋﺪ اﻟﻨﺴﻔﻴﺔ ردا على الفلاسفة: وذلك لأن اﻟﻤﻌﺎﺩ ﺇﻧﻤﺎ ﻫﻮ اﻷﺟﺰاء اﻷﺻﻠﻴﺔ اﻟﺒﺎﻗﻴﺔ ﻣﻦ ﺃﻭﻝ اﻟﻌﻤﺮ ﺇﻟﻰ ﺁﺧﺮﻩ

Al-Qalyubi (w. 1069 H) juga membantah analisa Imam Ghazali dan menyebutkan bahwa yang dibangkitkan adalah anggota tubuh yang menempel ketika mati.

Al-Qalyubi menulis dalam Hasyyah al-Qalyubi Ala Kanz ar-Raghibin,

وفي عود نحو الدم ﻧﻈﺮ؛ وكذا في غيره ﻷﻥ العائد هو الأجزاء التي مات عليها إلا نقص نحو عضو ﻓﺮاﺟﻌﻪ

Al-Mudabighi (w. 1170 H) sebagaimana dikutip asy-Syarwani (w. 1301 H) menjelaskan memang anggota tubuh yang dibangkitkan bersama dengan seseorang itu hanya anggota tubuh asli, yaitu yang menempel dari semenjak lahir sampai wafat (sebagaimana pendapat at-Taftazani yang dikutip Ali Syibramalsi di atas), tapi di samping itu kuku dan rambut yang terputus ketika haid juga ikut dibangkitkan secara terpisah untuk mencela orang yang sengaja memutuskannya dalam keadaan haid padahal dia diperintahkan untuk tidak memutuskannya.

Baca juga: Darul Ifta: Hukum Baca Al-Quran Lewat Gawai saat Haid

Asy-Syarwani menuliskan dalam Hasyiyah asy-Syarwani Ala at-Tuhfah, Kairo: al-Maktabah at-Tijariyyah al-Kubra, juz 1, hlm. 284:

ﻭﻋﺒﺎﺭﺓ اﻟﻤﺪاﺑﻐﻲ ﻗﻮﻟﻪ ﻷﻥ ﺃﺟﺰاءﻩ ﺇﻟﺦ ﺃﻱ اﻷﺻﻠﻴﺔ ﻓﻘﻂ ﻛﺎﻟﻴﺪ اﻟﻤﻘﻄﻮﻋﺔ ﺑﺨﻼﻑ ﻧﺤﻮ اﻟﺸﻌﺮ ﻭاﻟﻈﻔﺮ ﻓﺈﻧﻪ ﻳﻌﻮﺩ ﺇﻟﻴﻪ ﻣﻨﻔﺼﻼ ﻋﻦ ﺑﺪﻧﻪ ﻟﺘﺒﻜﻴﺘﻪ ﺃﻱ ﺗﻮﺑﻴﺨﻪ ﺣﻴﺚ ﺃﻣﺮ ﺑﺄﻥ ﻻ ﻳﺰﻳﻠﻪ ﺣﺎﻟﺔ اﻟﺠﻨﺎﺑﺔ ﺃﻭ ﻧﺤﻮﻫﺎ اﻧﺘﻬﺖ اﻩـ.

Perintah Mengumpulkan Rambut dan Kuku untuk Dimandikan Bersama Setelah Suci

Sebagaimana dijelaskan di atas, ilat kemakruhan memotong kuku dan rambut bagi wanita haid adalah karena kuku dan rambutnya akan dibangkitkan kembali dalam keadaan tidak suci.

Maka dari sini, dapat dipahami bahwa tidak ada gunanya sama sekali kalau rambut yang sudah terlanjur terputus itu dimandikan, karena kalau memang dengan dimandikan akan membuat dia suci, seharusnya tidak makruh untuk dipotong, karena bisa dimandikan setelah dipotong.

Dari sini Ibnul Qasim al-Abbadi (w. 992 H) menjelaskan bahwa rambut dan kuku yang sudah terpotong, hadasnya tidak akan hilang meskipun kemudian dimandikan. Maka tidak ada anjuran untuk mengumpulkan rambut dan kuku yang sudah terputus karena memandikannya bersama si wanita haid sama sekali tidak berpengaruh kepada rambut dan kuku tersebut.

Ibnul Qasim al-Abbadi menuliskan dalam Hasyiah Ibn al-Qasim al-Abbadi Ala a-Tuhfah, Kairo: al-Maktabah at-Tijariyyah al-Kubra, juz 1, hlm. 285:

(ﻷﻥ ﺃﺟﺰاءﻩ ﺗﻌﻮﺩ إلخ) ظاﻫﺮ ﻫﺬا اﻟﺼﻨﻴﻊ ﺃﻥ اﻷﺟﺰاء اﻟﻤﻨﻔﺼﻠﺔ ﻗﺒﻞ اﻻﻏﺘﺴﺎﻝ ﻻ ﺗﺮﺗﻔﻊ ﺟﻨﺎﺑﺘﻬﺎ ﺑﻐﺴﻠﻬﺎ

Kesimpulan

Wanita haid dimakruhkan secara sengaja memotong rambut dan kukunya. Tapi kalau sudah rontok atau terpotong, tidak perlu dikumpulkan untuk dimandikan setelah suci. Wallahu a’lam.

Kontributor

  • Yusuf Suhada

    Pernah mengenyam pendidikan di Daarul Rahman KH. Syukron Ma'mun, dan Gus Faiz Syukron Ma'mun, dan menamatkan sekolah di Yayasan al-Badar Tangerang. Kemudian pesantren salafi Ath-Thahiriyah di Banten asuhan almarhum Abah TB. Hasuri Thahir. Sekarang kuliah di Universitas Al-Azhar Mesir.