Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Tokoh

Biografi Imam Abu Hanifah, pendiri mazhab Hanafi

Avatar photo
33
×

Biografi Imam Abu Hanifah, pendiri mazhab Hanafi

Share this article

Nama lengkapnya ialah Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit bin Zautha at-Tiyami al-Kufi. Lahir pada tahun 80 H di kota Kufah pada masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan, khalifah kelima dari Dinasti Umayyah.

Nu’man bin Tsabit diberi nama kunyah “Abu Hanifah” yang artinya secara leterlek Bapak dari Hanifah (muannas hanif; yang artinya sama dengan muslim). Ada juga yang mengatakan sebab ia diberi kunyah demikian dikarenakan ia yang istikamah meminum obat yang bernama hanifah dalam bahasa Irak, ataupun karena ia ia memiliki anak perempuan yang bernama Hanifah. Namun, pendapat tersebut dianggap lemah karena Nu’man bin Tsabit tidak diketahui memiliki anak lain selain Hammad. (Ibnu Hajar al-Haitami, al-Khayrat al-Hisan, hal 60).

Imam ad-Dzahabi dalam Siyar a’lam an-Nubala Juz VI hal 399 meriwayatkan dari Abu Yusuf menjelaskan bahwa Abu Hanifah berperawakan sedang, tampan wajahnya, enak tutur katanya, jernih suaranya dan termasuk yang paling terbuka terhadap orang lain.

Abu Hanifah ialah seorang yang alim, zuhud, khusyuk dalam beribadah serta dermawan terhadap sesama. Ia tidak segan memberikan uang kepada orang lain bahkan meski karena melihat penampilannya yang dinilai kurang.

Mengutip penjelasan Ibnu Hajar al-Haitami, Dr. Anas Ahmad Kurzun menjelaskan bahwa Abu Hanifah pernah memberikan sejumlah uang kepada temannya karena ia melihatnya mengenakan baju yang rusak.

Ia juga memberikan guru yang mengajarkan surat al-Fatihah kepada Hammad, anaknya 500 dirham. Guru Hammad yang heran terhadap perlakuan Abu Hanifah kemudian berkata, “Apa yang aku lakukan sehingga engkau memberikanku uang ini?

“Jangan engkau remehkan apa yang telah engkau berikan kepada anakku. Demi Allah, kalau aku memiliki lebih banyak dari itu aku akan memberikannya kepadamu. Hal tersebut semata untuk mengagungkan al-Quran.” jawab Abu Hanifah. (Anas Ahmad Kurzun, Riyadh al-Ulama, hal 25).

Selain terkenal akan kedermawanannya, Abu Hanifah juga terkenal akan kezuhudan dan kewarakannya (kehatian akan perbuatan meski hanya syubhat). Ia pernah menyedekahkan seluruh hasil penjualan barangnya dan memutus kontrak kerja dengan temannya dikarenakan temannya itu tidak menjelaskan (kemungkinan lupa) barang dagangannya kepada pembeli.

Abu Hanifah menugaskan temannya itu untuk menjajakan baju dagangannya dengan diberi dua model pakaian: dalam kondisi baik dan ada yang terdapat cacat di dalamnya. Padahal sebelumnya ia memberi tahu temannya agar menjelaskan pada setiap pembeli dua model baju tersebut. Dikarenakan temannya tidak menjelaskan (mungkin lupa) bahwa pada sebagian baju yang didagangkan ada beberapa baju yang terdapat cacat, akhirnya semuanya terjual dengan harga utuh. Abu Hanifah yang mengetahuinya memutus kontrak kerja dan menyedekahkan harta hasil dagangannya sebanyak 30.000 dirham. (Ibnu Hajar al-Haitami, al-Khayrat al-Khisan, hal 105).

Terkait jumlah guru Abu Hanifah, Ibnu Hajar al-Haitami mengutip pendapat Abu Hafs al-Kabir menjelaskan bahwa  Abu Hanifah memiliki sekitar 40.000 guru. Ada juga pendapat jumlah tersebut hanya dari kalangan tabi’in saja, belum menghitung dari kalangan sahabat Nabi yang kala itu masih hidup. Di antara gurunya ialah: Imam al-Laits bin Sa’ad, Malik bin Anas (pendiri mazhab Maliki) menurut keterangan yang didapat dari Imam Daruqutni dan sebagian ulama lain.

Dengan kapasitas keilmuannya tersebut, Abu Hanifah memiliki banyak murid yang kemudian menyebarkan keilmuannya ke seluruh penjuru dunia. Ad-Dzahabi dalam Siyar a’lam an-Nubala mengutip penjelasan Abu al-Hajjaj dalam kitab Tahdzib yang menyebutkan murid-murid dari Abu Hanifah. Di antara muridnya tersebut ialah: Ibrahim bin Thahman seorang alim dari Khurasan, Abyad bin al-Aghar bin al-Shibah al-Minqari, Asbath bin Muhammad, Hammad bin Abi Hanifah, Abdullah bin Mubarak dan masih banyak yang lainnya.

Abu Hanifah hidup dari masa pemerintahan Dinasti Umayyah hingga memasuki awal periode dari Dinasti Abbasiyah. Dikisahkan Khalifah al-Mansur (Dinasti Abbasiyah) memerintahkan kepada Abu Hanifah untuk mengambil alih kursi hakim. Namun, Abu Hanifah bersumpah dan menolaknya. Namun Khalifah al-Mansur terus meminta hingga berulang-ulang.

Khalifah al-Mansur memerintahkan untuk menangkap dan memenjarakan Abu Hanifah. Al-Mansur kemudian memanggilnya dan bertanya mengapa ia tidak menerima jabatan sebagai hakim.

“Apakah engkau tidak menyukai tawaran kami?” tanya al-Mansur.

“Semoga Allah memberikan kebaikan kepada Amirul mukminin. Demi Allah, saya tidaklah aman dari rasa ridha, bagaimana mungkin saya merasa aman dari kemarahan, saya tidak layak untuk itu.” jawab Abu Hanifah.

“Engkau berbohong, engkau layak untuk itu.” ujar al-Mansur.

“Wahai Amirul mukminin, engkau sendiri memutuskan, jika aku jujur maka aku telah mengabarkan Amirul mukminin bahwa aku tidak layak akan jabatan itu, jika aku berbohong maka bagaimana mungkin engkau akan mengangkat hakim dari seorang pembohong?” jawab Abu Hanifah.

Al-Mansur kemudian memerintahkan untuk mengembalikan Abu Hanifah ke dalam penjara. Ia terus menawarkan kepada Abu Hanifah hal tersebut namun Abu Hanifah tetap bergeming. Sampai pada saat ia menolak dengan keras, al-Mansur menyiksanya dengan memerintahkan untuk memecutnya setiap hari setelah mengeluarkannya dari penjara. Hal tersebut terjadi sampai beberapa hari hingga ia wafat. Abu Hanifah wafat pada  tahun 150 H dalam usia 70 tahun.  

Demikian seklumit dari biografi, kisah kezuhudan, kedermawanan, kewarakan dan kisah kewafatan  Abu Hanifah, salah satu bapak mazhab fikih sunni. Wallahu a’lam.

Referensi:

1. Muhammad bin Ahmad ad-Dzahabi, Siyar a’lam an-Nubala Juz 6, 1982, Beirut: Muassasah ar-Risalah.

2. Ahmad bin Muhammad bin Ali bin Hajar al-Haitami, al-Khayrat al-Hisan fi Manaqib al-Imam Abi Hanifah, 2007, Damaskus: Daar al-Huda wa al-Rasyad.

3. Anas Ahmad Kurzun, Riyadh al-Ulama, 2018, Daar Nur al-Maktabat.

Kontributor

  • Alwi Jamalulel Ubab

    Alumni Khas Kempek, Cirebon. Mahasantri Ma'had Aly Saidussidiqiyah Jakarta.