Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Tokoh

Catatan Keilmuan Umi Prof. Dr. Huzaemah Tauhid Yanggo, MA (Bagian 2-Habis)

Avatar photo
36
×

Catatan Keilmuan Umi Prof. Dr. Huzaemah Tauhid Yanggo, MA (Bagian 2-Habis)

Share this article

Jika banyak yang mengenal Umi
Huzaemah
seorang ulama pakar fikih perbandingan mazhab, lebih dari itu umi
juga seorang hafidzah dan memiliki sanad al-Qur’an kepada masyayikh di Mesir.
Dalam sebuah kesaksian dari Habib Ali bin Muhammad Al-Jufri, ketua umum PB
Alkhairaat, umi mengkhatamkan hapalan al-Qur’an dalam beberapa bulan saja saat
beliau hendak menyelesaikan program S3 beliau dan terus dimurajaah dan
ditasmi’kan kepada para guru-guru beliau di 
Al-Azhar.

Umi Huzaemah berangkat ke Kairo pada
tahun 1977 saat usia beliau 32 tahun. Sebuah rentang usia yg sudah cukup matang
dan tidak lagi muda dalam perjalanan hidup seorang perempuan.

Sebagaimana kisah perjalanan keilmuan
para ulama terdahulu yang menjadikan Timur tengah sebagai pemantapan  rihlah ilmiyah mereka, rihlah umi ke
Kairo pun bukan ‘kosongan’ dan bisa dikatakan sebagai  rihlah pengokohan kei
lmuan beliau.

Saat pertama kali datang ke Kairo,
bulan-bulan pertama kedatangan beliau ke bumi para Nabi ini dimanfaatkan untuk
berziarah dan mengenal tempat-tempat bersejarah di Mesir. Dalam sebuah obrolan
dengan Dr. Hendra Kholid, dosen UIN Jakarta, umi pernah ditanya tentang
kegiatannya saat di Kairo, apakah benar umi memang tidak pernah jalan-jalan ke
Nil atau melihat Piramida? Beliau menjawab bahwa ziarah dan berkunjung ke
tempat semacam Nile atau Piramid juga merupakan proses belajar dari  sejarah yang ditinggalkan, dan umi di awal
kedatangannya juga melakukan hal itu. Hanya saja, beliau menghabiskan periode
itu di awal kedatangan. Setelah dirasa cukup, umi fokus dan tekun untuk
belajar.

Bahkan umi pernah bercerita, saking
fokusnya umi membaca dan menulis di dalam kamar, beliau sampai tidak tahu jika di
luar sedang bulan pernama; Sebuah kisah unik namun penuh makna dari perjalanan
keilmuan seorang ulama.

Beliau mendapatkan gelar MA  tahun 1981 pada spesialisasi Hukum Islam  Perbandingan dengan judul tesis “Mujibat
Ath-Thaharah fi At-Tasyri’ Al-Islamiyyi”
(Kewajiban Thaharah dalam
Syariat Islam) dan meraih gelar Doktor pada tahun 1984 pada jurusan Fikih dan
Ushul Fikih dengan judul disertasi “Manhaj Al-Islam fi Tasharrufat
Ash-Shagir wa Ri’ayatih”
( Metode Islam dalam Mengasuh dan Mendidik
Anak) yang keduanya di bawah bimbingan Prof.Dr. Ahmad Sayid Ahmad Usman, Guru
Besar Ushul Fikih Universitas Al-Azhar kala itu.

Mesir merupakan tempat pemantapan
keilmuan dari seorang Umi Huzaemah. Meskipun secara keilmuan, umi telah
mendapatkan banyak hal dan pengalaman dari perjalanan keilmuannya sebagai
santri dan guru di Alkhairaat, namun Al-Azhar telah melegitimasi keilmuannya
sebagai seorang ulama yang patut diperhitungkan di dunia internasional.
Terbukti, umi adalah perempuan Indonesia pertama yang dapat menyelesaikan study
doktoralnya meskipun di usia yang saat itu tidak lagi muda, 39 tahun; Sebuah
capaian prestisus yang dapat diraih seorang perempuan pada masa itu.

Sejak kedatangannya di Kairo sampai menyelesaikan
program doktornya, Umi Huzaemah mendapati dua Grand Syekh Al-Azhar; Pertama
yaitu Syekh Muhammad Abdurrahman Al-Bishar (1979-1982), seorang ulama mazhab
Syafii dan guru besar dalam bidang filsafat Islam. Kedua adalah Syekh Jadul Haq
Ali Jadul Haq (1982-1996), seorang Qadhi dan pernah menjabat sebagai Grand
Mufti Mesir kala itu.

Di Mesir, menurut salah satu kerabat
umi, Om Qasim Sholeh Lahido, Umi Huzaemah sering mengikuti pengajian dari Syekh
Mutawalli Asy-Sya’rawi (1911-1998) dan talaqqi secara intens kepada Prof. Dr. Anis
Ubadah, seorang dosen senior fakultas syariah di Universitas Al-Azhar yang juga
merupakan salah satu pembimbing disertasi beliau.

Sebagaimana seorang ulama, tentu umi
memiliki tokoh-tokoh yang beliau kagumi. Kepada beberapa orang saya sempat
menanyakan siapa saja tokoh yang umi kagumi. 
Beberapa tokoh luar negeri yang umi kagumi diantaranya Syekh Mahmud
Syaltut (1893-1963), seorang Grand Syekh Al-Azhar yang pertama kali mendapat
gelar Al-Imam Al-Akbar, lalu Syekh Muhammad Mutawalli Asy-Sya’rawi, Syekh Ali
Shobuni (1930-2021), Syekh Sayyid Sabiq (1915-2000) dan beberapa ulama lainnya.

Di dalam negeri, selain  tentunya Guru Tua Habib Idrus bin Salim
Al-Jufri, pendiri Alkhairaat, umi mengagumi Prof.Dr. Zakiah Daradjat
(1929-2013), seorang ulama perempuan dan guru besar psikologi Islam Indonesia
serta Prof. Dr. Quraish Shihab, pakar tafsir Indonesia yang juga senior beliau
di Al-Azhar, Kairo.

Umi juga mengagumi penyanyi Ummi Kultsum
(1904-1975) , sebagai seorang penyanyi perempuan Mesir yang dijuluki ‘Kawkab
Al-Syarq’ (Bintang dari Timur) yang pada era itu memang sangat  masyhur di Kairo.

Jika ada yang bertanya, apakah umi
bertarekat? Tentu sebagai seorang ulama, umi memiliki riyadhoh ruhani yang
begitu kuat. Beliau adalah pengagum para tokoh-tokoh tasawuf dan begitu
mengenal ajaran setiap tarekat. Bahkan menurut abi Prof. Dr. Abdul Wahab Abdul
Muhaimin, umi memiliki wirid yang beliau rutinkan semasa hidup, mulai dari
wirid tarekat Alawiyah maupun Syadziliyah. Namun semasa hidupnya, umi memang
tidak menisbatkan dirinya kepada lembaga ketarekatan tertentu meskipun tentu
umi tetap berthariqah (baca: melakukan riyadhoh ruhani) yang umi lazimkan
setiap hari.

Kontributor

  • Dr. Syarif Hidayatullah, S.S.I., MA.

    Dosen Program Pasca Sarjana Hukum Ekonomi Syariah (HES) Institut Ilmu Al-Qur'an (IIQ) Jakarta.Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.