Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Tokoh

Ibnu Jubair Melihat Para Perempuan Kristen Berhijab di Palermo

Avatar photo
39
×

Ibnu Jubair Melihat Para Perempuan Kristen Berhijab di Palermo

Share this article

Ketika rindu kampung Andalusia sudah tidak terbendung, Ibnu Jubair bergegas pulang. Ia mendarat di pelabuhan Cartagena dan tiba di rumahnya di Granada pada bulan April 1185. Di sanalah, ia mulai merangkum catatan perjalanan.

Perjalanan Ibnu Jubair juga membuat pembaca modern bertanya-tanya tentang suasana mencekam di sepanjang pelayaran dan jalur darat pada zamannya. Dia menulis, misalnya, tentang ketidakberdayaan seorang musafir dalam menghadapi bajak laut dan petugas bea cukai yang tamak, pedagang korup, juga perampok dari seluruh penjuru dunia, serta suku Kurdi, Arab dan Beja yang selalu siap untuk melucuti dan memeras karavan para musafir.

Yang tidak kalah penting lagi, perjalanan Ibnu Jubair membantu pembaca modern untuk memahami kompleksitas perjumpaan langsung antara Timur dan Barat, Islam dan Kristen, yang sebelum-sebelumnya memandang miring satu sama lain dari teritori masing-masing.

Dia menjelaskan bagaimana kedua peradaban ini pertama-tama bertarung, kemudian belajar menerima satu sama lain dan akhirnya hidup bersama secara harmonis, semuanya terjadi secara cepat bila dilihat dari kacamata peradaban.

Baca juga: Ibnu Jubair Menenggak Tujuh Cangkir Anggur Lalu Berangkat Haji

Deskripsi Ibnu Jubair tentang komunitas muslim yang hidup makmur di bawah Kerajaan Tentara Salib Kristen di Yerusalem cukup sering dikutip oleh sejarawan Barat. Yakni ketika Ibnu Jubair menempuh jalan terbentang melalui pertanian, perkebunan, dan pemukiman yang tertata rapi. Semua penduduknya muslim, hidup nyaman di bawah kuasa kaum Frank. Ketika panen, mereka menyerahkan sebagian hasilnya kepada para penguasa, mereka juga taat membayar pajak. Rumah-rumah dan semua properti dipercayakan sepenuhnya kepada masing-masing pemiliknya untuk dikelola.

Di setiap sudut pesisir yang dikuasai oleh kaum Frank dikelola dengan cara di atas. Namun pikiran orang-orang muslim di wilayah tersebut terganggu dengan suara batinnya, lantaran mengamati betapa saudara-saudara mereka di sejumlah wilayah muslim di bawah gubernur muslim tidak semakmur dan senyaman yang mereka alami.

Begitulah salah satu kemalangan yang menimpa umat Islam menurut Ibnu Jubair, yaitu ketika komunitas Muslim meratapi ketidakadilan tuan tanah mereka yang notabenenya sama-sama shalat lima waktu, di lain sisi memuji dan menyecap sendiri keadilan para penguasa Frank yang beragama lain. Sebuah kenyataan yang amat disayangkan.

Hal lain yang membuat catatan Ibnu Jubair menarik adalah ceritanya dituang dengan format yang dapat diakses oleh semua kalangan, misalnya dengan memberikan penanggalan Hijiriah maupun Masehi dalam berbagai penjelasan peristiwa penting maupun ketika menuturkan data dan fakta.

Ibnu Jubair tidak dapat menyangka bahwa manuskripnya pertama kali diedit dan diterbitkan justru oleh orang Barat, salinan paling awal kini ada di perpustakaan Universitas Leiden di Belanda, dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia, Persia, Urdu, Italia, Prancis, Inggris, Spanyol, dan Katala—dua yang terakhir adalah bahasa tanah airnya di Iberia.

Ibnu Jubair memberikan gambaran yang sangat rinci dan grafis tentang tempat-tempat yang dia kunjungi. Buku ini berbeda dari catatan kontemporer lainnya karena tidak hanya kumpulan toponim dan deskripsi monumen tetapi lebih berisi pengamatan detail tentang geografi, kebudayaan, agama dan politik. Yang sangat menarik adalah catatannya tentang menurunnya kepercayaan sesama Muslim di Palermo setelah penaklukan Norman serta kebiasaan Raja William II dari Sisilia yang terpengaruh oleh orang-orang muslim sehingga terpadulah kebudayaan Norman-Arab-Bizantium.

Umat ​​Kristen dan Muslim, menurut pengamatannya, tengah dalam suasana peperangan yang mengarah pada proses rekonsiliasi. “Salah satu hal mencengangkan yang menjadi bahan pembicaraan adalah bahwa meskipun api perselisihan berkobar antara kedua pihak, Muslim dan Kristen, utusan dari masing-masing acap bertemu membicarakan rekonsiliasi, di lain sisi para musafir dari kedua pihak bebas datang dan pergi tanpa ada gangguan. Para prajurit terlibat dalam perang, sementara warga sipil hidup dalam kedamaian.”

Baca juga: Ibnu Jubair Terpana Mercusuar Alexandria dan Kedermawanan Shalahuddin Al-Ayubi

Bahkan Ibnu Jubair juga mencatat sebuah pernikahan orang Kristen di Tirus bahwa, “umat Muslim dan hadirin Kristen lainnya membentuk dua barisan di sepanjang jalan, keduanya memandang kedua mempelai tanpa celaan.”

Lebih jauh lagi Ibnu Jubair sangat apresiatif dan menghargai kapal-kapal Kristen Eropa membawa peziarah Muslim ke tempat suci mereka tanpa comelan. Sepanjang waktu ia memuji komunitas Kristen yang berkembang di tanah Islam juga sebaliknya komunitas Muslim yang menerima hak-haknya di tanah Kristen.

Lukisan abad 13 yang memperlihatkan seorang Kristen dan muslim bermain catur

Di Tirus, Ibnu Jubair juga menyayangkan bagaimana tentara Muslim dari Afrika Utara menggempur benteng Kristen yang sebelumnya melakukan gencatan senjata dengan tetangganya Arab Levant, yang dengan demikian otomatis merusak hubungan damai yang telah terjalin di antara mereka.

Ibnu Jubair terdidik di bawah Dinasti Al-Muwahiddun, yang misinya adalah mereformasi dan menghidupkan kembali Islam. Meskipun ia mendalami sekolah hukum mazhab Maliki, salah satu dari empat sistem yuridis ortodoks[1] Islam Sunni, ia tidak semena-mena mengabaikan atau langsung mengutuk hal-hal yang paling heterodoks[2] sekalipun dalam Islam.

Ibnu Jubair juga memberikan cukup banyak perhatian pada kota multikultural yang baru dan sedang berkembang saat itu, Palermo di Sisilia, Italia. Kota glamor yang penuh dengan kekayaan, kemegahan, keanggunan, infrastruktur yang rapi, juga istana yang menjulang tinggi seperti mutiara yang melingkari tenggorokan seorang wanita.

Palermo adalah kota tua yang elegan, megah, anggun, dan setiap sudutnya menarik untuk dipandang. Terletak di antara padang terbuka dan dataran yang dipenuhi taman, dengan jalanan yang luas-luas, membuat mata terpesona dengan penataan kotanya. Palermo dibangun dengan gaya Cordoba, seluruhnya dari potongan batu yang dikenal dengan kadhan (batu kapur yang lunak). Sebuah sungai membelah kota mengalir dengan tenang, juga empat mata air yang menyembur di pinggiran kota membuat kota ini sangat menawan. Raja acap kali mengelilingi taman dan lapangan sebagai rutinitas bersenang-senang. Perempuan Kristen di kota ini, tulis Ibnu Jubair, mengikuti gaya para perempuan muslimah, mereka fasih berbicara, berdaster, dan menutup kepala mereka dengan hijab.

Dikisahkan bahwa Ibnu Jubair, meskipun mengalami kerinduan yang parah saat berada di luar negeri, tidak dapat tinggal di Andalusia setelah kembali dari rihlah ketiganya. Mungkin itu dikarenakan Arab-Barat saat itu sedang kehilangan sebagian besar wilayah Iberia yang jatuh ke tentara Kristen, dimulai dengan Pertempuran Las Navas de Tolosa, yang dikenal oleh orang Arab sebagai Pertempuran Uqab, pada tahun 1212, hanya lima tahun sebelum kematiannya.

Bca juga: Meneladani Ibnu Majid, Navigator Muslim Berjuluk Singa Lautan

Kemungkinan yang lain adalah Ibnu Jubair melihat di tangan kuat Shalahuddin al-Ayyubi, bahwa Yerusalem, Damaskus, dan Kairo bisa menjadi peradaban sebesar Palermo yang memiliki semua yang diharapkan dari keindahan yang tampak nyata, dilengkapi dengan sarana prasarana terbaru dan berkualitas, di mana perdamaian yang menjadi pemenang, bukan peperangan.

Ibnu Jubair meninggal di Alexandria pada bulan Sya’ban 614 H / 1217 M.

Kronik perjalanan Ibnu Jubair adalah role model untuk para penulis rihlah selanjutnya, bahkan beberapa kali dikutip tanpa menyebutkan sumber aslinya. Ibnu Juzay misalnya, yang kesohor sebagai penulis perjalanan Ibnu Batutah sekitar tahun 1355 M, menyalin beberapa bagian yang telah ditulis Ibnu Jubair sekitar 170 tahun sebelumnya ketika menggambarkan Damaskus, Makkah, Madinah dan tempat-tempat lain di Timur Tengah. Bagian-bagian yang disalin dari Ibnu Jubair juga ditemukan dalam tulisan-tulisan al-Sharishi, al-Abdari hingga Al-Maqrizi.

Salinan manuskrip Ibnu Jubair yang masih utuh saat ini berada di Perpustakaan Universitas Leiden. Teks lengkap berbahasa Arab pertama kali diterbitkan pada tahun 1852 oleh seorang orientalis bernama William Wright. Sementara edisi yang telah diperbarui diterbitkan tahun 1907 oleh Michael Jan de Goeje. Terjemahan ke dalam Bahasa Italia oleh Celestino Schiaparelli diterbitkan pada tahun 1906; terjemahan ke dalam Bahasa Inggris oleh Ronald Broadhurst diterbitkan pada tahun 1952; dan ke dalam Bahasa Prancis oleh Maurice Gaudefroy-Demombynes muncul dalam tiga volume antara tahun 1949 dan 1956.

Glosarium:

  1. Or.to.doks: a perpegang teguh pada peraturan dan ajaran resmi. Misalnya dalam agama.
  2. He.te.ro.doks: a menyimpang dari kepercayaan resmi.

Kontributor

  • Walang Gustiyala

    Penulis pernah nyantri di Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan, Al-Hikmah Purwoasri, Walisongo Sragen, Al-Ishlah Bandar Kidul, Al-Azhar Kairo, dan PTIQ Jakarta. Saat ini mengabdi di Pesantren Tahfizh Al-Quran Daarul ‘Uluum Lido, Bogor.