Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Tokoh

Imam Asy-Syafi’i, Ulama Asuhan Dua Mazhab Fikih

Avatar photo
57
×

Imam Asy-Syafi’i, Ulama Asuhan Dua Mazhab Fikih

Share this article

Sudah maklum bahwa kalangan rasionalis (ahlu ra’yi) dan ahli hadits sempat mengalami ketegangan. Semisal, pengikut mazhab Maliki yang punya kecenderungan hadits bersitegang dengan pengikut mazhab Hanafi yang didominasi rasionalitas. Kenyataan ini berangkat dari pengaruh geografis dan tokoh-tokoh pendahulunya. Kepada dua aliran ini, Imam Asy-Syafi’i berguru.

Penduduk Madinah yang menjadi cikal bakal mazhab Maliki, memiliki stok muhadits yang melimpah. Murid-murid para sahabat banyak tinggal di kota Rasulullah ini. Sehingga kecenderungan hadits sangat kental. Imam Malik sendiri seorang muhadits yang menulis kitab hadits berjudul Al-Muwattha’.

Sementara Kufah, Irak dan sekitarnya sebagai tanah kelahiran mazhab Hanafi berbeda dengan kota suci Madinah. Ibn Mas’ud, sahabat Rasulullah yang menyebarkan agama dan ilmu di sana, secara kepribadian memang seorang rasionalis. Dia mengaku lebih nyaman memakai pendapat sendiri terkait hukum-hukum furu’.

“Sehingga kalau salah, maka yang salah adalah saya. Bukan menyalahkan hadits Rasulullah yang sedang saya kutip. Jadi saya lebih nyaman pada pendapat pribadi,” kata Ibn Mas’ud tentang prinsipnya.

Imam Asy-Syafi’i hidup, mencecapi dan bergaul dengan dua kecenderungan ini sekaligus. Masa mudanya dihabiskan belajar pada imam Malik, setelah menyelesaikan studinya pada Muslim bin Khalid Az-Zanji (seorang ulama Makkah), yang menyatakan lulus dan bahkan Asy-Syafi’i muda (18 tahun) sudah diijinkan memberi fatwa. 

Baca juga: Mengenal Kejeniusan Imam Asy-Syafi’i

12 Tahun Belajar Pada Imam Malik

Sebelum berangkat ke hadapan Imam Malik, Asy-Syafi’i meminjam naskah kitab Al-Muwattha’ pada seorang teman. Dia menghafal kitab itu sebelum mengaji pada pengarangnya langsung. Sekitar 12 tahun beliau menyerap adab dan ilmu dari imam Dar Al-Hijrah hingga wafatnya sang maha guru pada 179 H. Sesekali memang dia berpetualang menemui ulama Makkah atau berkenalan dan berdiskusi dengan para ulama yang sedang melaksanakan haji.

Selain keluasan ilmu dan keagungan akhlaknya, Asy-Syafi’i terpesona oleh ucapan Imam Malik di perjumpaan pertama, “Wahai Muhammad (bin Idris Asy-Syafi’i) bertakwalah kamu pada Allah. Jauhi maksiat! Kamu akan menjadi orang terhormat di masa depan. Allah sudah menyalakan cahaya dalam hatimu, maka jangan kau padamkan dengan maksiat.”

Karakter Asy-Syafi’i bukan tipikal pelajar yang mudah puas. Setelah wafatnya Imam Malik, dia mengembara menemui Imam Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibani (murid Abu Hanifah)  dan tinggal di Irak selama 2 tahun, Amr bin Abi Salamah (murid imam Al-Awza’i di Syam), Imam Yahya bin Hassan (murid imam Al-Laits bin Sa’d di Mesir) dan tinggal di Mesir untuk membangun mazhab Jadid hingga wafat, bahkan ada riwayat menyebutkan bahwa Asy-Syafi’i juga berguru pada Muqatil bin Sulaiman (mufassir dan ulama Syiah Zaidiyah).

Baca juga: Bersyafi’i di Negeri Maliki

Kemiskinan Bukan Penghambat

Di antara motif sang bunda membawa Asy-Syafi’i kecil (usia 3 atau 9 tahun) pindah ke kota Makkah dari Gaza adalah faktor pendidikan dan ekonomi. Sang bunda ingin, setelah ayahandanya wafat, agar Asy-Syafi’i dekat kembali dengan keluarga ayahnya Bani Muttalib (salah satu suku Quraisy) yang tinggal di kota Makkah.

Sebagai murid serba kekurangan, Asy-Syafi’i menghabiskan masa-masa belajar pada Imam Malik dengan kondisi memprihatinkan. Ada hikayat menyebutkan bahwa di kehabisan kertas dan pena untuk mencatat pelajaran. Di hadapan gurunya itu, dia terlihat menulis dengan jari telunjuknya dan menjadikan tangan kirinya seperti kertas.

Selepas majlis Imam Malik memanggilnya, “Apa yang kamu catat dengan jarimu?”

“Saya mencatat semua pelajaran yang guru sampaikan,” Asy-Syafi’i menjawab.

“Coba ulangi semua yang aku jelaskan!” kata Imam Malik.

Asy-Syafi’i menjelaskan ulang tanpa mengurangi atau menambah. Jika kisah ini benar, maka menjadi bukti daya ingatnya yang luar biasa.   

Meski Asy-Syafi’i hidup serba kekurangan, namun jangan ditanya bagaimana semangatnya pada ilmu. Suatu kali dia pernah ditanya “bagaimana syahwatmu pada ilmu?” Asy-Syafi’i menjawab, “Saat mendengar satu kalimat asing, seluruh anggota badanku ikut menikmatinya seakan memiliki telinga juga.”

Baca juga: Belajar Mengajar dari Mbah Hasyim, Syekh Fudhali dan Imam Syafi’i

“Bagaimana kerakusanmu pada ilmu?” lanjut si penanya.

“Sama seperti rakusnya pengumpul pundi-pundi kekayaan yang kikir,” jawab Asy-Syafi’i.

“Bagaimana cara anda mendapatkan ilmu?” si penanya mengejar.

“Saya mencari ilmu layaknya seorang ibu yang sedang mencari anaknya yang hilang,” tutup Imam Asy-Syafi’i.

Kontributor

  • Abdul Munim Cholil

    Kiai muda asal Madura. Mengkaji sejumlah karya Mbah Kholil Bangkalan. Lulusan Al-Azhar, Mesir. Katib Mahad Aly Nurul Cholil Bangkalan dan dosen tasawuf STAI Al Fithrah Surabaya