Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Tokoh

Kisah Bapak Sastra Arab yang Tak Ingin Dikalahkan Kebutaannya

Avatar photo
44
×

Kisah Bapak Sastra Arab yang Tak Ingin Dikalahkan Kebutaannya

Share this article

Sebelum buku Fi Syi’ri Jahily yang kontoversial itu diterbitkan pada tahun 1926, Taha Husein telah mengejutkan banyak kalangan masyarakat dengan sejumlah pendapatnya tentang perlunya membaca ulang sejarah sastra Arab dengan pendekatan ilmiah.

Menurutnya, sejarah harus didekati dengan cara ilmiah yang obyektif, yang terlepas dari semangat fanatisme keagamaan dan kelompok. Menurutnya, para lakon dalam sejarah harus dilihat sebagaimana selayaknya manusia biasa yang bisa benar dan bisa salah, yang bisa berbuat kebaikan dan bisa berbuat kekeliruan. Termasuk di dalamnya para sahabat Nabi.

Tentu saja, pendapatnya itu membuat sebagian kalangan merasa jengkel dan marah. Taha Husein telah berani menyinggung hal sakral yang telah dikultuskan dalam sepanjang tradisi sejarah keagamaan Islam. Tapi ‘pertikaian’ itu hanya sebatas kegaduhan yang justru memperkaya dialog literasi di kalangan masyarakat Mesir.

Namun ketika buku Fi Syi’ri Jahily diterbitkan, ‘pertikaian’ yang ditimbulkannya merambat menjadi pertikaian politik yang menyeret Taha Husein ke mahkamah parlemen untuk diadili di depan umum dan bukunya diboikot.

Taha Husein merasa begitu hancur hingga mempengaruhi kondisi kesehatannya. Istrinya pun menyarankannya untuk menenangkan diri sementara waktu di suatu tempat yang jauh dari kegaduhan, suatu tempat yang jauh dari Mesir. Maka ditemani sang istri, ia pergi ke sebuah desa kecil di Perancis.

Baca juga: Rifa’ah At-Tahtawi: Ulama Perempuan, Pelopor Kesetaraan Pendidikan di Mesir

Di sana, ia menuliskan perjalanan hidupnya yang dipenuhi perjuangan, kepedihan dan semangat pantang menyerah. Di sana, ia menuliskan bagian pertama dari buku al-Ayyam, kisah seorang bocah buta yang tak ingin dikalahkan oleh kebutaannya.

Yang menarik, bahwa bagian kedua dari buku al-Ayyam juga dituliskan pada saat Taha Husein mengalami gesekan dengan pemerintah karena salah satu buku Bernard Shaw yang diajarkan di fakultas Sastra Univ. Kairo. Pada saat itu, Taha Husein menjabat sebagai Dekan Fakultas Sastra.

Hebatnya gesekan itu hingga membuat para mahasiswa dari Fakultas Hukumberkumpul di depan kantor Taha Husein untuk mendemonya hingga membuatnya berpikir untuk mengundurkan diri pada saat itu juga. Bagian kedua dari al-Ayyam ini juga dituliskan di Perancis, di sebuah tempat yang jauh dari Mesir.

Dalam sebuah wawancara yang dilakukan oleh Muhammad Abdul Halim Abdullah yang kemudian diabadaikannya dalam buku Liqaun Bainal Jailain, Taha Husein mengatakan bahwa ia menuliskan al-Ayyam untuk kabur dari kenyataan pahit yang tengah dihadapinya. Ia ingin menghibur dirinya dengan bersembunyi sesaat di dalam masa lalunya.

Dengan menceritakan kembali tentang masa lalunya itu, Taha Husein kembali mendapatkan semangat hidupnya, ia kembali mendapatkan kepercayaan dirinya. Dalam bagian akhir bab pertama, dengan terang-terangan ia membanggakan dirinya di depansang puteri, Aminah, yang seolah sedang duduk di hadapannya dan mendengarkan seluruh kisah masa lalunya itu:

“Tidakkah kau melihat bahwa ayahmu adalah pria terbaik dan terhormat? Tidakkah kau melihat bahwa ayahmu sedarikecil adalah seorang  yang paling baik dan terpuji peringainya?” 

Baca juga: Alasan Taha Husein Menghidupkan Syahrazad

Al-Ayyam tidak hanya berhasil mengobati hati Taha Husein, tapi juga behasil mengukuhkan namanya sebagai sastrawan yang memberikan angin segar bagi dinamika kesusasteraan Arab-Mesir. Taha Husein telah mengenalkan genre sastra baru pada kala itu: novel autobiografi.

Hal yang menarik, kita tidak hanya mendapati sebuah alur cerita dan kisah perjalanan hidup di dalam al-Ayyam. Tapi kita juga mendapati analisa dan kritik sosial yang dibingkis dengan begitu elegan dan penuh satire.

Taha Husein sengaja memilih peristiwa-peristiwa yang mampu merepresentasikan kondisi masyarakat desanya yang terbelakang, yang lebih percaya kepada takhayul daripada ilmu pengetahuan. Kondisi terbelakang inilah yang telah menyebabkan Taha Husein kehilangan penglihatannya ketika ia berumur empat tahun.

Baca juga: Mengenal Eissa dan Nagm, Musisi Mesir yang Dicintai Kaum Demonstran

Seperti halnya kebanyakan orang yang bermimpi belajar di Al-Azhar dan berguru langsung dengan para syekhnya, Taha Husein muda begitu antusias ketika ia pertama kali mendatangi kota Kairo untuk menjadi pelajar Al-Azhar. Namun tak lama kemudian, ia merasa bosan dan kecewa karena apa yang dipelajarinya di Al-Azhar tidak berbeda dengan apa yang telah dipelajarinya di desa.

Kondisi terbelakang inilah yang telah menyebabkan adik perempuannya yang masih balita meninggal dunia. Selain itu, Taha Husein juga menyoroti kondisi intelektual yang jumud di kalangan masyarakat Mesir pada kala itu dengan menjadikan Al-Azhar sebagai sampel.

Taha Husein tidak menemukan hal baru yang menarik akal dan hatinya. Ia sering terlibat perdebatan alot dengan para syekh yang merasa terganggu dengan pertanyaan dan kengeyelan Taha Husein muda. Bahkan salah seorang syekh, saking kesalnya terhadap Taha Husein, sampai mengatainya si buta.

Walaupun al-Ayyam ditulis dengan sudut pandang orang ketiga, selain bahwa al-Ayyam adalah kisah pribadi sang penulis. Dan hal itu tidaklah dapat diragukan oleh siapapun. Kita dapat mengetahui darial-Ayyam, bahwa Taha Husein adalah sosok yang kritis dan berani menyampaikan kritikannya. Sebagaimana Taha Husein adalah sosok yang tak mau menyerah dan suka dengan tantangan.

Ayahnya hanya berharap bahwa Taha Husein akan menjadi seorang syekh yang mentalqinkan pelajaran kepada para muridnya di salah satu tiang di masjid al-Azhar. Menurut ayahnya, mengajar di salah satu tiang masjid Al-Azhar merupakan pekerjaan terbaik yang bisa didapatkan oleh seorang buta seperti putranya. Tapi kebutaan dengan segala kegelapannya tidak menghalangi Taha Husein untuk melakukan apa yang benar-benar ingin dilakukannya.

Taha Husein berhasil menginjakkan kakinya di negeri yang begitu jauh dari Mesir, Perancis, untuk melanjutkan studi magisternya dalam ilmu sejarah dan sosial. Ketika kembali ke Mesir, Taha Husein tak hanya kembali dengan membawa ide-ide cemerlang, namun ia juga membawa seorang istri cantik berkebangsaan Perancis yang bersedia menjadi kedua mata untuk menuntun arah dan jalannya hingga akhir hayat. 

Baca juga: Silang Pengaruh Sastra Persia dan Sastra Arab

Al-Ayyam tidak hanya menjadi inspirasi dan motivasi bagi kalangan tunanetra dan orang-orang yang mengalami kesulitan hidup, namun juga menginspirasi sejumlah sastrawan untuk menuliskan cerita dengan bingkai genre yang sama.

Salah satunya adalah Sayyed Qutb yang menuliskan kisah perjalanannya hidupnya dalam Thiflun minal Qaryah dan khusus mempersembahkannya untuk Taha Husein.

“Buku ini kupersembahkan untuk penulis al-Ayyam, Taha Husein Beik. Buku ini adalah catatan harian seperti halnya catatan harianmu, kisah tentang seorang bocah yang tinggal di desa. Ada kesamaan dengan beberapa hal dalam kisahmu, tapi secara keseluruhan, dua kisah kita tentulah berbeda.”

Kontributor

  • Zulfah Nur Alimah

    Penulis dan Penerjemah, sedang menempuh program magister kritik sastra Arab di Universitas al-Azhar Mesir.