Artikel

Rifa’ah At-Tahtawi: Ulama Perempuan, Pelopor Kesetaraan Pendidikan di Mesir

01 Oct 2020 04:45 WIB
4793
.
Rifa’ah At-Tahtawi: Ulama Perempuan, Pelopor Kesetaraan Pendidikan di Mesir

Rifa’ah At-Tahtawi (1801-1873) merupakan tokoh ulama perempuan yang memperjuangkan hak kesetaraan belajar bagi perempuan Mesir di era modern. Dalam buku Perempuan Ulama di Atas Panggung Sejarah, anggitan Husein Muhammad, disebutkan bahwa tokoh pembaharu Mesir ini terkenal dengan kritiknya atas praktik diskriminasi dan marginalisasi perempuan.

Terhadap persoalan itu, Rifa'ah At-Tahtawi antara lain meresponsnya lewat buku yang berjudul Al-Mursyid al-Amin li al-Banat wa al-Banin. Buku ini ia susun khusus untuk menyuguhkan idenya tentang kesetaraan pendidikan lelaki dan perempuan, dan rekonstruksinya terhadap sistem pendidikan tradisional.

Sketsa Biografi Rifa’ah At-Tahtawi

Ia bernama lengkap Rafi’ah bin al-Mahrun as-Sayyid Badawi Rafi’ At-Tahtawi al-Huseini. Lahir pada 15 Oktober 1801 M di Desa Tahta, Distrik Suhaz. Sedari kecil, ia sudah dididik untuk giat belajar, meskipun dalam kesulitan.

Pendidikan dasarnya ia tempuh di Baitul ‘Ilm (semacam sekolah untuk anak-anak) dekat rumahnya. Selepas itu, pada usia 16 Tahun, ia melanjutkan rihlah ilmiah ke Universitas al-Azhar. Di al-Azhar ini ia belajar dari banyak pakar ilmu agama, di antaranya; Hasan al-Kuwaisini, ad-Damanhuri, al-Bajuri, dan lain sebagainya.

Dari sekian gurunya, yang paling banyak memberi pengaruh ialah Hasan al-‘Attar, tokoh intelektual dan pembaharu Mesir. Tokoh agama yang pernah menjabat Grand Syekh Al-Azhar ini jugalah yang merekomendasikan At-Tahtawi untuk melanjutkan belajar ke Perancis.

Berkat saran dari gurunya itu, At-Tahtawi pergi ke Perancis. Dalam Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam dijelaskan, saat di Perancis, At-Tahtawi, mendalami sejarah, filsafat Yunani, logika, matematika, dan pemikiran tokoh Perancis abad 19, seperti Condillac, Voltaire, dan Rousseau.

Perjalanan intelektualnya di Perancis mendulang keberhasilan. Selama di sana, ia sukses menerjemahkan 12 buku penting dalam berbagai bidang, seperti sejarah, hak-hak manusia, etika, adat istiadat, ilmu bumi, dan lain-lain. Ia bahkan, menuntaskan buku bernuansa sosial politik bertajuk Tarikh al-Ibriz ila Taklhis Baris.

Kesuksesannya mengarang buku mengantarkannya pada babak baru sebagai seorang guru Bahasa Perancis. Ia juga mengepalai berbagai sekolah, memimpin badan penerjemah Undang-undang Perancis, dan direktur majalah Al-Waqa’i al-Mishriyah, media mingguan yang menggabungkan khazanah pengetahuan Timur dan Barat.

Pengalaman keilmuan Barat dan Timur yang dimiliki At-Tahtawi membuatnya menjadi pemikir reformis dengan tetap memegang identitasnya sebagai orang Timur. Salah satu ide reformisnya ialah kesetaraan laki-laki dan perempuan di bidang pendidikan.

Baca juga: Princess Fatma dan Tongkat Sihir

Laki-laki yang Berdedikasi Sebagai Ulama Perempuan

Istilah ulama perempuan berbeda dengan perempuan ulama. Menurut Husein–berdasarkan kesepakatan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI)-ulama perempuan ialah tokoh cendekia yang gencar mengkampanyekan keadilan dan kesetaraan perempuan, baik dalam tataran praktis maupun intelektual. Baik itu perempuan atau laki-laki. Sementara perempuan ulama, ialah setiap perempuan yang memiliki kapabilitas sebagai ulama, baik sudah berperspektif keadilan gender atau belum.

Berdasarkan itu, Rifa’ah At-Tahtawi pantas disebut sebagai ulama perempuan, karena kiprahnya dalam emansipasi wanita, khususnya di bidang pendidikan.

Sebagai ulama perempuan yang menjadi salah satu pionir gerakan pembaruan Mesir, pemikiran At-Tahtawi menunjukkan pengaruhnya pada aktivis dan intelektual Mesir di era selanjutkan. Bahkan, sekaliber Muhammad Abduh (pembaru Mesir Abad 20), juga terinspirasi banyak hal darinya. Termasuk soal keadilan dan kesetaraan laki-laki dan perempuan. Ia berpendapat bahwa laki-laki dan perempuan merupakan jenis makhluk Allah yang memiliki akal, perasaan, hak, dan kebebasan beraktivitas yang sama.

Pelopor Kesetaraan Pendidikan Laki-Laki dan Perempuan

Dalam perspektif At-Tahtawi, peluang belajar bagi perempuan harus setara dengan laki-laki. Hal ini demi membangun relasi baik antar laki-laki dan perempuan, baik dalam ranah domestik (suami istri/keluarga), maupun publik. Ia menyatakan dalam pasal ketiga di bukunya, Al-Mursyid al-Amin li al-Banat wa al-Banin:

ينبغي صرف الهمة في تعليم البنات والصبيان معا لحسن معاشرة الأزواج, فتتعلم البنات القرائة والكتابة, والحساب، ونحو ذلك, فإن هذا مما يزيدهن أدبا وعقلا, ويجعلهن بالمعارف أهلا, ويصلحن به لمشاركة الرجال في الكلام والرأي

Seyogyanya memberi semangat belajar kepada perempuan dan laki-laki sekaligus, demi mewujudkan relasi baik di rumah tangga (dan selainnya). Maka, perempuan bisa belajar baca tulis, berhitung, dan lain-lain (sebagaimana laki-laki), Karena dengan belajar, dapat mencerdaskan pikiran, memperbaiki etika perempuan, membuatnya berpengetahuan, dan mampu menjalin relasi baik dengan laki-laki, dalam berbicara dan bertukar pikiran.

At-Tahtawi juga menyampaikan kritiknya atas pendapat misoginis, yang melarang perempuan belajar dan membatasi ruang geraknya dalam menggali potensi. Ia menyampaikan demikian:

وأما القول بأنه لاينبغي تعليم النساء الكتابة وأنها مكروهة في حقهن ارتكانا على النهي عن بعد ذلك في بعض الآثار فينبغي أن لايكون ذلك على عمومه ولانظر إلى قول من علل ذلك بأن من طبعهن المكر والدهاء والمداهنة ولايعتمد على رأيهن لعدم كمال عقولهن

Menurutnya, orang yang beranggapan bahwa perempuan tidak seyogianya diajari menulis dengan dalih dapat menyebabkan perilaku tidak baik adalah tidak sepenuhnya benar. Apalagi bila atas dasar menyalahi fitrah perempuan sebagai sumber tipu daya. Maka, adalah tidak benar asumsi itu, melihat pada faktanya bahwa perempuan yang bisa baca tulis justru banyak yang memberi pengaruh baik. Bahkan, sejak zaman Islam awal, banyak sahabat perempuan yang piawai baca tulis dan keterampilan lain.

Selanjutnya, pendapat yang mengklaim fitrah perempuan hanya sebagai penjaga rumah dan perawat segala yang ada di dalamnya, sesungguhnya merupakan pelestarian dari budaya jahiliyah. Bagaimana tidak? Larangan belajar bagi perempuan sama saja meniscayakan kemunduran, tidak hanya bagi perempuan, tapi juga laki-laki. Karena, dua jenis manusia ini ujung-ujungnya pasti saling berinteraksi dan bekerjasama. Maka, kerjasama dengan orang yang tidak berpengetahuan adalah sia-sia belaka.

At-Tahtawi mengkritik pandangan misoginis itu dengan fakta sejarah yang ada pada istri-istri Nabi. Seperti Aisyah ra dan Hafshah ra. yang dua-duanya pakar baca tulis dan menjadi perawi hadis. Bahkan Aisyah juga menjadi guru dari para sahabat, laki-laki maupun perempuan.

Tak hanya itu, para sahabat perempuan juga tak jarang yang memiliki integritas dan kredibilitas sebagaimana laki-laki. Seperti Rubayyi bin Mu’awwidz, perawi hadis dan prajurit perang serta Khaulah binti Tsa’labah, sahabat yang berani menggugat atas ketidakadilan yang dilakukan suaminya.

Baca juga: Nazly, Si Cantik Pendiri Salon Budaya di Mesir

Apa yang telah disampaikan Nabi dan yang telah dilakukan istri dan para sahabatnya harusnya cukup menjadi cermin untuk kita berbenah diri dari stigma negatif dan tindakan diskriminatif yang masih kerap terjadi di sekitar kita karena perbedaan kelamin semata.

Bila ternyata kita tidak tergugah juga, maka informasi sejarah apa yang lebih baik untuk kita berbenah diri daripada yang Nabi dan sahabat-sahabatnya ajarkan? Padahal, seharusnya masalah ketimpangan gender ini bisa selesai dengan naluri kemanusiaan kita saja. Bahwa menganggap rendah lawan jenis adalah sama saja kita lupa identitas kita sebagai manusia, yang semestinya saling memberi-menerima, menghormati dan berempati. Wallahu a’lam.

Halya Millati
Halya Millati / 1 Artikel

Santri P3HM Lirboyo Kediri, Jawa Timur. Pelajar di UIN Sunan Ampel Surabaya.

Fauz
30 September 2022
Rifaa'at At Tahtawi itu laki laki 🫠🫠🫠

Baca Juga

Pilihan Editor

Saksikan Video Menarik Berikut: