Syeikh Abdul Qadir Al-Jilani menempati maqam Sultan Al-Awliya (Sultan para wali) berdasarkan ucapannya sendiri, “Telapak kakiku ini berada di atas pundak para wali.” Kenyataan ini dibenarkan oleh hampir semua kaum Nahdliyin. Izzudin bin Abdus Salam, Sultannya para ulama, bahkan dengan tegas mengatakan, “Tak ada karamah wali yang mendekati mutawatir selain karamah Syeikh Abdul Qadir Al-Jilani.”
Secara teoritis, maqam Qutbiyah (hierarki maqamat tertinggi sufi) akan selalu ada sampai hari kiamat. Bila seorang Qutb wafat maka akan segera ada yang menggantikan. Saat inipun ada seorang Qutb yang diketahui oleh sebagian komunitas sufi. Sehingga menjadi problematis tatkala kita hanya mendapuk Al-Jilani sebagai satu-satunya pemimpin para wali.
Dalam An-Nafa’is Al-Alawiyah, Habib Abdullah Al-Hadad menjawab, “Al-Jilani menjabat sultan para wali di alam barzakh. Sementara di alam dunia mengikuti sistem yang telah disepakati.”
Di sini, kita akan mencoba mengenal Syeikh Abdul Qadir Al-Jilani, bukan sebagai legenda selayaknya ditulis dalam manaqib. Kita akan mencoba mendekatinya sebagai “manusia” yang mengalami ujian, kesusahan, dan perjuangan hidup yang maha berat. Sehingga “proses” keulamaannya bisa mengilhami para pecinta dan pengagumnya.
Masa Kecil
Dalam manaqib dijelaskan, Abdul Qadir Al-Jilani dilahirkan di bulan Ramadan, di mana dia tidak mau menyusu pada ibunya di siang hari. Ini ditandai sebagai proses perhatian khusus (inayah) Allah atas manusia agung, sehingga semenjak bayi sudah tidak mau menyusu pada ibunya di siang hari puasa. Kita tak akan fokus pada hal-hal seperti ini. Yang kita perlukan adalah fakta bahwa Al-Jilani dilahirkan di bulan Ramadan. Meski para penulis berbeda pendapat mengenai tahun kelahirannya. Ada yg berpendapat 470 H, 471 H, 491 H.
Baca juga: Al-Faqih Al-Muqaddam, Penggagas Tarekat Alawiyah dan Jejak Apolitiknya
Di masa kecil, Al-Jilani bekerja di ladang hingga mendengar seekor sapi yang menyapanya dengan, “Kamu tidak diciptakan untuk ini.” Bukan komunikasi ini yang akan menjadi fokus tapi fakta kehidupan Al-Jilani di kota Jilan; keluarga besarnya berasal dari keluarga petani. Dia ditinggal wafat ayahnya semenjak kecil sehingga praktis dirawat oleh ibunya.
Menuju Baghdad
Sepertinya didikan ibundanya sukses menjadikan Syeikh Abdul Qadir kecil menjadi pribadi yang tangguh dan memiliki kesungguhan hati yang kokoh. Setelah kejadian di ladang, keinginannya untuk menuntut ilmu semakin menguat. Keinginan itu dihaturkan pada ibundanya.
Dengan restu bunda, di umurnya yang menginjak angka 18 tahun. Al-Jilani muda berangkat menuju Baghdad (Ibu kota Abbasiyah)yang saat itu dihuni hampir 2 juta jiwa. Tak bisa disangkal Baghdad masa itu adalah kota terbesar di dunia. Kehidupan di sana juga amat menantang dan keras. Semua aliran keagaamaan hidup dan berkembang. Belum lagi situasi politik yang carut marut; Abbasiyah sendiri hanya tinggal nama, yang berkuasa adalah dinasti Saljuk.
Mengingat hal ini sang bunda tentu merasa kuatir. Tapi dengan tekadnya, sang bunda melepas Al-Jilani remaja dengan uang saku sebesar 40 dinar. Uang tersebut diberikan dari sisa warisan ayahnyayang jumlah totalnya 80 dinar; Al-Jilani menolak membawa semua karena ada adik kecilnya, Abdullah. “Jujurlah, karena seorang mukmin tak boleh berbohong” demikian wasiat sang bunda.
Al-Jilani dan Perampok
Dari Jilan, Abdul Qadir ikut kafilah menuju Baghdad dengan melewati kota Hamadzan. Di Hamadzan mereka beristirahat. Namun kafilah dikagetkan oleh kedatangan perampok yang bersenjata sehingga mereka tak berdaya untuk melawan. Setiap orang dari kafilah tersebut diminta menyerahkan barang berharga.
Baca juga: Biografi Imam Jalaludin As-Suyuthi dalam Kitab yang Ditulisnya Sendiri
Hingga tiba giliran Abdul Qadir Al-Jilani. “Apa yang kamu bawa?” tanya bawahan perampok.
“Saya membawa 40 dinar,” jawab Al-Jilani.
Mendengar jawaban ini para perampok tertawa tidak percaya. Sebab dari penampilannya yang sederhana tak mungkin pemuda Abdul Qadir Al-Jilani membawa uang sebanyak itu.
Namun karena penasaran, akhirnya Al-Jilani diminta mengeluarkannya. Setelah dikeluarkan ternyata benar ada kantong di ketiaknya berisi 40 dinar. Melihat kenyataan ini si perampok buru-buru melapor ke atasannya.
Pemimpin perampok memanggil Al-Jilani. “Apa benar kamu menyimpan uang 40 dinar?” tanya pimpinan.
“Benar!” jawab Al-Jilani.
“Mengapa kamu mengakui dan tidak disembunyikan saja. Toh, kami tak akan tahu sebab penampilanmu biasa,” tanya sang pimpinan heran.
“Saya sudah berjanji pada ibu untuk tidak berdusta. Sebab seorang mukmin tak boleh berdusta.” Jawab Al-Jilani singkat.
Mendengar jawaban Syeikh, perampok tersebut berteriak menangis, “Saya bertobat, saya bertobat. Kepada perampok seperti saya saja anak muda ini berkata jujur. Apa kelak yang akan saya jawab di hadapan Allah.” Dia bertobat beserta semua anak buahnya.
Di Baghdad
Tahun 488 H Al-Jilani memasuki kota Baghdad. Pada tahun itu juga Al-Ghazali meninggalkan jabatan guru besarnya di madrasah Nizamiyah karena krisis batin dan pencarian suluk kesufiannya. Berpetualang menuju Damaskus, Baital Maqdis dan sekitarnya selama 10 tahun. Jadi bisa dipastikan keduanya tak pernah bertemu.
Baca juga: Kisah Pegulat Menjadi Wali Berkat Cinta Pada Keturunan Nabi
Dengan uang saku 40 dinar, Al-Jilani hidup sangat memprihatinkan. Apalagi tanpa adanya sanak famili di sana. Namun secara ruhaniyah dan intelektualitas, nutrisinya sangat tercukupi. Dia berhasil menemui ulama-ulama besar kota Baghdad di masa itu: belajar hadits pada Abu Ghalib Muhammad bin Al-Hasan Al-Baqillani, Abu Bakar Ahmad bin Al-Muzaffar, Jakfar bin Muhammad As-Siraj, belajar fikih Ali Abu Al-Wafa bin Aqil (imam mazhab Hanbali), Qadhi Abu Sa’ad bin Al-Mubarak Al-Makhrami, belajar sastra dan bahasa pada Abu Zakariya Yahya At-Tibrizi, mengambil tarekat dari Hammad bin Muslim Ad-Dabbas dan Al-Makhrami, belajar Al-Quran dan studi ilmu Al-Quran pada Mahfuz Al-Kaluzani.
Deretan nama-nama ini perlu dihadirkan sebagai bentuk preventif agar tak diasumsikan bahwa Al-Jilani menghabiskan masa mudanya menggelandang di hutan-hutan, seperti dalam manaqib. Al-Jilani menghabiskan masa mudanya dengan duduk belajar pada ulama yang hidup di masa itu. Sesekali memang keluar mencari sisa makanan, atau menjadi kuli panggul demi sesuap nasi. Semua ini dijalani dalam rangka mengalahkan hawa nafsunya yang menginginkan kenyamanan hidup.
Benar, terkadang Al-Jilani harus mengganjal perutnya dengan makan rumput. Tapi semua ini adalah pilihan hidupnya dengan prinsip tak mau menjadi beban orang lain. Dia juga tidur di bangunan tak berpenghuni sambil menahan rasa lapar. Semua cobaan dijalani dengan sabar dan kerelaan. Sehingga kelak, sabar dan rela menjadi rukun tarekat Qadiriyah.
Dengan pola hidup asketis semacam itu, Al-Jilani dikenal sebagai “si gila.” Julukan ini bukan merendahkan tapi dari saking beratnya ujian yang dilaluinya. Namun ingat, Al-Jilani menjalani pola hidup macam itu dengan tetap menemui guru-guru favoritnya tadi. Atau paling tidak sudah menyempurnakan diri dengan ilmu-ilmu lahir syariat yang cukup. Ada yang bilang riyadhah sufiyah yang dijalaninya 25 tahun, menurut pendapat lain 14 tahun.
Sesekali ibundanya di Jilan mengiriminya duit. Namun dengan keterbatasan sarana dan transportasi di jaman itu, ditambah lagi dengan pola hidup Al-Jilani yang tidak punya tempat tinggal tetap, tentu saja kiriman itu hilang atau habis di jalan.
Seperti dikisahkan oleh Az-Zahabi dalam Siyar A’lam dengan mengutip kisah Al-Jilani dalam khutbahnya:
Saya terkadang harus memakan khurnub (sejenis buah dari pohon berduri), sisa makanan di tempat sampah, dan sejenis daun yang bisa dikonsumsi. Hingga suatu kali tak ada yang bisa dimakan sama sekali. Saya mencari-cari setiap tempat tapi selalu didahului oleh orang lain. Sampai tiba di depan masjid Yasin di pasar Rayyahin.
Saya memasukinyaseakan maut sudah di depan mata karena kelaparan. Tiba-tiba ada anak muda bukan arab membawa roti dan selainya. Dia memaksaku ikut makan. Dia bertanya, “apa pekerjaanmu? Dari mana asalmu?”
Saya menjawab, “saya pelajar. Berasal dari Jilan.”
“Saya juga dari Jilan,” kata anak muda tadi.
“Apa kamu mengenal Abdul Qadir dari Jilan?” lanjutnya. “Saya Abdul Qadir yang kamu cari,” kata Al-Jilani.
Dengan wajah yang memerah malu dia bercerita, “Saya sampai di kota Baghdad membawa titipan uang dari ibundamu. Hanya saja berhari-hari saya mencarimu tapi tak seorangpun kenal. Hingga uang saku dan uang titipan untukmu juga terpaksa saya pakai. Ibundamu menitipkan 8 dinar. Kini roti dan selai ini saya beli dengan sisa uangmu.”
“Saya kemudian menenangkan pemuda tersebut, kemudian memberi saparuh sisa uang kiriman bunda.” kenang Al-Jilani.
Baca juga: Pandangan Badiuzzaman Said An-Nursi tentang Tasawuf
Menggantikan Al-Makhrami
Saat memutuskan bergabung dengan komunitas sufi asuhan Hammad bin Muslim Ad-Dabbas (525 H), Al-Jilani pernah diusir oleh pengikut Ad-Dabbas, “kamu seorang faqih (ulama fikih), ngapain ke sini?”
Namun, sang guru, Ad-Dabbas segera mengingatkan, “Biarkan! Dia akan menjadi orang hebat di masa depan.”
Ad-Dabbas sendiri terkenal dengan ucapannya, “Jalan tercepat menuju Allah adalah mencintai Allah.”
Kisah ini menegaskan bahwa sebelum bergabung ke kemunitas sufi, Syeikh Abdul Qadir sudah dikenal terlebih dahulu sebagai pakar fikih mazhab Hanbali dan Syafi’i. Ini menjadi pengingat bagi pengagumnya bahwa bertasawuf harus beriringan dengan mendalami ilmu lain, utamanya fikih.
Dua guru lainnya yang sangat mempengaruhi perjalanan intelektual dan spritualitas Syeikh Abdul Qadir adalah Yusuf Al-Hamadzani (535 H) yang menyuruhnya agar segera mengajar setelah melihat kematangan keilmuan Al-Jilani. “Sudah waktunya kamu mengajar.” ujarnya.
“Saya A’jami (bukan Arab). Bagaimana saya akan bicara di hadapan ulama dan pakar bahasa kota Baghdad?” jawab Abdul Qadir dengan tawadlu.
“Kamu sudah hafal fikih dan ushul fikih, menguasai ilmu khilaf (perbedaan pendapat ulama), Nahwu, bahasa dan sastra, menguasai tafsir Al-Quran. Duduklah di kursi (mengajar) karena saya melihat dalam dirimu ada bibit yang akan menjadi pohon kurma yang rindang.” tegas Al-Hamadzani.
Isyarat Al-Hamadzani menjadi kenyataan tatkalan gurunya yang lain, Abu Sa’ad Al-Mubarak Al-Makhrami semakin menginjak usia tuanya. Sejak 521 H diasudah mulai menunjuk Al-Jilani sebagai ganti untuk mengajar di madrasahnya, Bab Al-Azj.
Menikah Atas Perintah Rasulullah
Dalam riyadhah kesufiannya, Seikh Abdul Qadir Al-Jilani tak lupa untuk menikah karena dalam Islam tak dikenal yang namanya kerahiban. Mulanya Al-Jilani ragu untuk menikah karena kuatir akan mengganggu rutinitas dan istiqamahnya. Belum lagi kehidupannya yang belum mapan secara ekonomi. As-Sahrawardi, penulis Awarif Al-Ma’arif yang tercatat masih muridnya, berkisah:
“Saya ingin menikah sudah sejak lama, tapi saya tidak berani karena kuatir yukaddir al-waqt (memperkeruh waktu). Sampai tiba waktunya, sesuai takdir Allah, saya menikahi empat istri atas perintah Rasulullah Saw melalui mimpi.”
Baca juga: Mozaik Kehidupan Imam Ahmad Bin Hanbal
Kata “memperkeruh waktu” adalah aspek kemanusiaan Syeikh Al-Jilani. Tantangan hidup sebelum menikah dengan setelah menikah jelas berbeda. Syeikh bukan malaikat atau rasul yang bisa menyelesaikan masalah dengan mudah. Dia juga mengangankan tantangan berat yang bakal dihadapi. Bukan urusan ekonomi tapi lebih pada kekuatiran atas perubahan siklus dan pola hidup yang sudah istiqamah.
Beliau menikah di usia yang cukup matang, 35 tahun. Menikahi empat istri dan dikaruniai 39 anak putra dan putri. Hanya saja yang hidup sekitar 13 orang. Dari 13 inilah lahir anak cucu Syeikh Abdul Qadir Al-Jilani hingga saat ini.
Madrasah Bab Al-Azj Direnovasi
Tahun 526 H Syeikh berinisiatif untuk merenovasi madrasah yang sudah semakin penuh sesak dengan para pelajar. “Awalnya yang hadir di majlisku hanya 3 orang,” cerita Al-Jilani, “seiring berjalannya waktu, majlis itu dihadiri oleh sekitar 70.000 an orang.”
Pengakuan ini memberi pesan kuat bahwa semua orang butuh proses, termasuk Syeikh Al-Jilani. Jangan dibanyangkan Al-Jilani secara tiba-tiba mendapat popularitas.
Selain direnovasi, madrasah juga diperluas dengan dana swadaya karena Al-Jilani termasuk ulama yang anti bantuan pemerintah. Murid-muridnya yang kaya raya menyumbang dana, sementara yang tidak punya menyumbang tenaga. Bahkan sampai malam hari pembangunan ini tidak dihentikan. Mereka datang berduyun-duyun tidak hanya dari Baghdad. Terlihat ribuan obor dan lilin dalam pembangunan madrasah Qadiriyah (nama pengganti Bab Al-Azj).
Semua ini adalah indikator betapa Al-Jilani dicintai oleh semua orang di masanya. Bahkan ada kisah lucu: seorang perempuan datang bersama suaminya. Dia menyerahkan suaminya pada Syeikh Abdul Qadir Al-Jilani, “Tuan Guru, ini suami saya punya hutang mahar sebesar 20 dinar. Saya akan membebaskan setengahnya asalkan dia bekerja dalam pembangunan madrasah.” Al-Jilani menerimanya sambil tersenyum. Dia sesekali menggaji suami perempuan tersebut karena tahu sedang kesulitan melunasi maharnya.
Al-Jilani di Madrasahnya
Setahun penuh 527-528 H pelaksanaan pembangunan madrasah Al-Jilani. Kini madrasah itu terbagi dalam dua bangunan besar: satu bangunan untuk pelajar (santri), dan satu lagi untuk para petualang sufi(khanaqah). Semua atas nafkah pribadi Al-Jilani “tak ada amal yang lebih afdal dari memberi makan orang yang sedang kelaparan” demikian pesan Al-Jilani.
Al-Jilani hampir tak pernah keluar madrasah kecuali pada hari Jum’at atau ada even tertentu. Jadwal mengajarnya penuh untuk mendidik para santrinya. Dia juga membuka pengajian umum setiap pagi hari Jum’at dan sore hari Selasa. Sementara sore hari Ahad di sebuah pondok sufi lain.
Rutinitas ini dijalani selama hampir 33 tahun hingga wafatnya pada 561 H. Dalam setahun ada sekitar 3.000 santri yang dinyatakan lulus; mereka kemudian menyebar ke berbagai penjuru dunia islam. Berarti 3.000 x 33 tahun. Ini kenapa kemudian ajaran Syeikh Abdul Qadir Al-Jilani menjadi sangat populer di tengah kaum muslimin.
Baca juga: Peran Kaum Sufi dalam Gerakan Anti Kolonialisme
Dalam majlisnya, Syeikh Abdul Qadir naik ke atas mimbar tinggi; suara terdengar oleh yang dekat maupun yang jauh. Seperti diakuinya sendiri, “Di majlisku terdapat 400 mihbarah (tinta dan pena) dan 70.000 pendengar.” 400 mihbarah adalah santri aktif yang menulis setiap ucapan gurunya.
Menurut perkiraan ada sekitar 100.000 orang yang bertobat di bawah bimbingan Al-Jilani dan tak kurang 5.000 orang masuk islam. Angka-angka ini jauh lebih eksotis dari semua karamah Al-Jilani, sebab kata Nabi, “Seorang saja mendapat hidayah karena kamu lebih baik dari menyedekahkan humur an-na’am (tunggangan terbaik dan termahal).” (HR. Al-Bukhari).
Ilmu Favorit Al-Jilani
Ibn Rajab Al-Hanbali menulis: Al-Jilani menjelaskan sekitar 13 disiplin ilmu, meliputi tafsir, hadits, mazhab, berfatwa dalam dua mazhab (Hanbali dan Syafi’i), ilmu khilaf, ushuludin, nahwu, qira’at, dst.
Majlis ilmunya tak hanya dihadiri kalangan awam dan santrinya saja, namun dihadiri pembesar ulama multidisipliner yang semasa: Ali bin Al-Haiti, Baqa bin Bathu, Musa bin Mahin, Abu An-Najib As-Sahrawardi, Shihabudin As-Sahruwardi, Usman Al-Qurasyi, Abu Abdillah Al-Qazwini, Usman Al-Batha’ihi, Qadlib Al-Ban, Abdul Qadir Al-Baghdadi, Abu Ya’la Al-Farra’, Abu Al-Qasim Al-Bazzaz, Abu Bakar Al-Mazin.
Nasehat-nasehatnya menyentuh sehingga majlisnya dihiasi tangisan. Suatu waktu Abdul Wahhab, putranya, menggantikan pengajian. Dia heran kenapa tak bisa seperti ayahnya. Seikh Abdul Qadir memberinya tips “saat kamu mengajar kamu hanya mengambil penyampaianmu dari ilmumu. Sementara saya mengambil dari sumbernya langsung (Allah) saya selalu melihatNya [dengan mata hati].”
Alumni Madrasah Qadiriyah
Ke mana alumni madrasah Qadiriyah? Mereka menjadi tokoh penting dalam penyebaran ajaran dan tarekat Qadiriyah di seluruh penjuru negeri Islam. Tak hanya sebagai tokoh agama saja. Tapi banyak juga yang kemudian menjadi penasehat khalifah, wazir, sultan dan menjadi hakim agung.
Nurudin Zanki (569 H), paman Salahudin Al-Ayyubi yang saat itu menguasai Syam dan Mesir, sengaja mengirim anak-anak terusir dari Baital Maqdis untuk belajar di madrasah Qadiriyah hingga menjadi ulama, dai, dan mursyid. Dia juga sering kali mengundang murid-murid Al-Jilani: Qutbudin An-Nisaburi, Abu An-Najib As-Sahrawardi.
Baca juga: Ulama-ulama Besar yang Tidak Bisa Menulis dan Membaca
Begitu pula dengan Salahudin Al-Ayyubi (589 H) yang mengangkat seorang murid Syeikh Al-Jilani sebagai mustasyar (penasehat): Zainudin Ali bin Ibrahim bin Naja Ad-Dimiski. Dia dijuluki sebagai “Amr bin Ash” saat penaklukan kota Bait Al-Maqdis oleh Salahudin.
Seikh Abdul Qadir sendiri secara pribadi anti terhadap pemerintah. Suatu kali khalifah Al-Muqtafi Li Amrillah (555 H) memerintah wazirnya agar mengundang semua ulama kota Baghdad. Saat Khalifah bertanya, “Apa semua sudah hadir?”
Wazirnya menjawab, “Ia, kecuali Abdul Qadir Al-Jilani dan Adi bin Musafir.”
Dengan kecut, Khalifah berucap, “Berarti tidak ada yang hadir.”
Keulamaan Syeikh Abdul Qadir Al-Jilani memang disegani oleh hampir semua khalifah yang hidup semasa dengannya. “Siapa yang takut pada Allah maka akan disegani oleh semua makhluk.” Dia memang tak pernah mengharap bantuan dan belas kasih pemerintah. Ini tercermin dari riyadhahnya di masa muda hingga pesannya pada Abdurrazzaq (salah seorang putranya), “Jangan kau gantungkan harapan pada selain Allah. Jangan percaya kecuali pada Allah.”