Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Tokoh

Syajarah Ad-Durr: Pohon Permata di Tengah Kecamuk Perang Salib

Avatar photo
27
×

Syajarah Ad-Durr: Pohon Permata di Tengah Kecamuk Perang Salib

Share this article

Musim panas tahun 1239 menjadi saksi
pertemuan pertama
Ash-Shalih
Ayyub
dengan seorang wanita berparas cantik dengan bola mata biru khas
bangsa Eropa Timur. Wajah teduhnya memancarkan kecerdasan dan kewibaan yang
tinggi. Kulitnya putih dan lembut seperti sutera Tiongkok. Tubuhnya tinggi dan
anggun seperti dewi-dewi Yunani. Hidungnya yang mancung dan runcing siap
menusuk hati setiap lelaki yang menatapnya. Wanita itu adalah
budak yang dijual
di sebuah pasar budak di jalan menuju al-Karak. 

Saat itu Ash-Shalih Ayyub memang
sedang dalam perjalan menuju al-Karak dalam rangka
menjalani hukuman pengasingan
atas perintah
ayahnya sendiri. Sultan al-Kamil Ayyub ayah dari Ash-Shalih Ayyub saat itu
memang curiga akan gelagat Ash-Shalih yang bersekongkol para Mamluk
(budak-budak yang diasuh oleh para sultan di masa Ayyubiyah) ingin merebut
kekuasaan dari ayahnya sendiri.

Seolah tak ingin kehilangan wanita
yang telah memikat hatinya, Ash-Shalih langsung membelinya tanpa menawar.
Begitulah cinta saat sudah merasuk dalam jiwa, sebanyak apapun uang menjadi
tiada harganya. Wanita itu bernama
Syajarah
ad-Durr
, nama yang memiliki makna ‘pohon permata’. Nama yang sesuai dengan
paras cantik yang dimilikinya. Nama yang sudah cukup untuk menggambarkan
keindahan luar-dalam dari seorang wanita.

Syajarah ad-Durr adalah definisi dari
kecantikan yang berpadu dengan kecerdasan. Dengan status budak belian yang disandangnya,
Ia sebenarnya lebih pantas menyandang gelar permaisuri dari sebuah kerajaan.
Kecantikannya tentu akan sangat bersinar saat dia dipoles dengan tata rias
kerajaan. Maka tepatlah ketika Ia dibeli oleh ash-Shalih Ayyub yang menjadi
salah satu kandidat sultan penerus Dinasti Ayyubiyah.

Sejak dibeli Ia pun menemani
ash-Shalih Ayyub selama pengasingan di al-Karak. Ash-Shalih tidak memperlakukan
Syajarah ad-Dur seperti umumnya budak. Hal itu karena Syajarah ad-Dur memiliki
posisi istimewa di hati ash-Shalih. Syajarah ad-Durr juga melayani ash-Shalih
tidak seperti tuannya, namun seperti suaminya sendiri. 

Tahun 1240 kabar mengejutkan datang
dari Kairo. Sultan al-Kamil wafat. Ash-Shalih Ayyub pun kembali ke Kairo
ditemani Syajarah ad-Durr yang sedang dalam keadaan hamil putra pertamanya. Di
Kairo, ash-Shalih pun naik tahta menjadi sultan Dinasti Ayyubiyah. Di Kairo Syajarah
ad-Durr melahirkan putra pertamanya yang diberi nama Khalil. Putranya ini
diberi gelar al-Malik al-Mansur. Ash-Shalih semakin mencintai Syajarah ad-Durr
karena telah memberinya putra yang diharapkan akan meneruskan tahtanya kelak.
Maka tak berselang lama ash-Shalih pun menikahi Syajarah ad-Durr. Resmilah
Syajarah ad-Durr menjadi permaisuri Kesultanan Ayyubiyah.

Musim panas tahun 1249, saat Sultan
ash-Shalih Ayyub memerangi pemberontakan dari pamannya sendiri di Suriah,
tersiar kabar Pasukan Salib yang dipimpin Raja Louis IX dari Prancis
menginvansi Mesir. Genderang Perang Salib ketujuh kembali ditabuh. Ash-Shalih
terpaksa harus kembali ke Mesir dan memilih membuat kamp pertahanan di Asymum,
sebuah desa yang tidak jauh dari Dimyath. Saat itu Pasukan Salib dikabarkan
telah mendarat di pesisir kota Dimyath. Ash-Shalih Ayyub pulang ke Mesir dalam
keadaan sakit parah yang dideritanya sejak dari Suriah. Karena kesehatannya
yang terus memburuk yang mengakibatkan kakinya harus diamputasi, maka dia pun
dibawa dengan tandu ke istananya di kota al-Mansuroh, kota di sebelah timur
Mesir.

22 November 1249, saat musim dingin
mulai merayap di udara al-Mansuroh, ash-Shalih Ayyub menghembuskan nafas
terakhirnya. Kabar kematian Ash-Shalih Ayyub sampai ke istana Kesultanan Ayyubiyah
di Kairo termasuk ke telinga Syajarah ad-Durr, istrinya. Namun Ash-Shalih Ayyub
hingga wafatnya sama sekali tidak menunjuk seseorang untuk mewarisi tahtanya.
Satu-satunya pewaris tahtanya adalah putranya yang bernama al-Muazzam Turansyah
yang sedang menjalani hukuman pengasingan di kota Hasankeyf sebuah kota di
tenggara Turki. Ia adalah putra ash-Shalih Ayyub dari istrinya sebelum menikahi
Syajarah ad-Durr. Namun karena perilakunya yang buruk, suka mabuk minuman
keras, dan bermain wanita peghibur, Sultan ash-Shalih tidak menyukainya, dan
memilih tidak menentukan siapa pewaris Kesultanan Ayyubiyah selanjutnya. Namun
begitu, sebelum wafat Sultan ash-Shalih telah lebih dahulu menandatangani
ratusan kertas kosong yang mengatasnamakan dirinya, agar nanti kertas-kertas
kosong tersebut bisa dituliskan titah kesultanan oleh istrinya, Syajarah
ad-Durr dan para
mamluk
kepercayaannya.

Mempertimbangkan Mesir sedang diserang
Pasukan Salib, maka kematian Sultan ash-Shalih pun harus dirahasiakan, baik
dari pasukan Mamluk ataupun Pasukan Salib. Hal ini bertujuan agar mental
pasukan Mamluk tidak turun dan Pasukan Salib tidak merasa diuntungkan. Maka
jenazah Sultan ash-Shalih dibawa ke Kairo dengan perahu menyusuri sungai Nil
secara diam-diam dan disemayamkan di di sebuah istana di Pulau Roudah, sebuah
pulau di sungai Nil yang menjadi basis militer Mamluk Bahri yang berisi para
petinggi militer kepercayaan sultan saat itu.

Karena dirasa Mesir butuh kekuatan
tambahan, maka Syajarah ad-Durr yang menjadi pimpinan kunci di Kairo mengirim
Faris ad-Din Aktai ke Hasankeyf untuk memberi kabar kematian sultan kepada
Turansyah. Awal Ramadhan 647 Hijriyah yang bertepatan dengan bulan Desember
1249 Aktai tiba di Hasankeyf. Beberapa hari kemudian, tepatnya tanggal 11
Ramadhan 647 H bertepatan dengan tanggal 18 Desember 1249 Turansyah bersama
para sahabat dekatnya dan juga Aktai berangkat ke Mesir.

Di perjalanan menuju Mesir, Turansyah
dan rombongannya memilih berhenti di Damaskus beberapa hari. Ia berpikir bisa
memanfaatkan kabar kematian ash-Shalih untuk mendeklarasikan dirinya menjadi
sultan baru Dinasti Ayyubiyah. Di Damaskus Turansyah membagi-bagikan uang dan
emasnya kepada para pejabat dan rakyat Damaskus demi merebut hati mereka dan
membuat mereka setia kepada dirinya sebagai sultan baru Dinasti Ayyubiyah. Turansyah
yang diminta pulang ke Kairo untuk ikut memperkuat posisi kesultanan secara
politik justru mengadakan upacara penobatan dirinya sebagai sultan baru di
Dinasti Ayyubiyah di kota Damaskus. 

Tentu saja berita penobatan diri
Turansyah sebagai sultan sampai ke Kairo dan juga Syajarah ad-Durr. Para
petinggi militer Mamluk sangatlah geram dan marah. Namun dengan kecerdasannya
Syajarah ad-Durr yang menjadi pemimpin yang paling dipercaya oleh Mamluk
berhasil menenangkan para petinggi militer Mamluk. Dia berpikir, karena Mesir
dalam keadaan perang, tidak mengapa Turansyah menobatkan dirinya sendiri
sebagai sultan, karena hal itu akan membuat Pasukan Salib tetap berpikiran
bahwa tentara Mesir masih memiliki komando. Toh Turansyah tidak akan bisa
berbuat banyak karena Syajarah ad-Durr masih memiliki banyak blangko kosong surat
perintah sultan yang bertanda tangan asli Sultan ash-Shalih Ayyub. 

Dengan blangko-blangko kosong itulah
Syajarah ad-Durr meyakinkan pejabat-pejabat tinggi Kesultanan Ayyubiyah dan
rakyat Mesir bahwa sultan hanya sakit dan belum meninggal. Syajarah ad-Durr
juga memanfaatkan blangko-blangko kosong bertanda tangan Sultan itu untuk
meminta sumpah setia rakyat dan para pejabat kepada Sultan ash-Shalih Ayyub, Syajarah
ad-Durr, Turansyah sebagai pewaris tahta, dan Atabeg (semacam panglima militer
tertinggi) yang saat itu dijabat oleh Fakhruddin Yusuf. Para pejabat
pemerintahan dan rakyat pun percaya bahwa Sultan hanya sakit dan belum
meninggal. Mereka pun tetap setia pada Kesultanan Ayyubiyah dan terus berjuang
melawan Pasukan Salib. Di sinilah nampak kecerdasan Syajarah ad-Durr dalam
bidang politik.

Berita kematian as-Salih Ayyub
akhirnya bocor ke telinga Tentara Salib di Dimyath. Dengan kedatangan bala
bantuan yang dipimpin oleh Alfonso, Pangeran Poitou, saudara laki-laki Raja Louis
IX, Pasukan Salib memutuskan untuk menyerbu kota Kairo. Satu peleton pasukan
salib yang dipimpin oleh saudara laki-laki Louis IX lainnya Robert I dari
Artois melintasi kanal Ashmum (hari ini dikenal sebagai Albahr Alsaghir) dan
menyerang kamp Mesir di Gideila, sebuah desa yang berjarak dua mil (3 km) dari
al-Mansurah. Amir Fakhruddin tewas dalam serangan mendadak dan pasukan salib berhasil
maju menuju kota Al Mansurah. 

Di istananya yang terletak di benteng
Citadel Kairo, Syajarah ad-Durr menyetujui rencana Baibars al-Bunduqdari salah
satu perwira tinggi militer Mamluk Bahri untuk mempertahankan kota al-Mansurah.
Dalam perhitungan Baibars, penduduk kota al-Mansurah sangat bisa diandalkan untuk
membantu para tentara Mamluk Kesultanan Ayyubiyah dan itu akan menjadi kekuatan
besar yang tidak terduga oleh Pasukan Salib.

Benar saja, Pasukan Salib terjebak di
dalam kota al-Mansurah, Robert of Artois tewas dan pasukan salib dimusnahkan
oleh pasukan Mesir dan penduduk kota. Peperangan di kota al-Mansurah ini dipimpin
oleh orang-orang yang kelak akan mendirikan Dinasti Mamluk Bahri yang akan
mendominasi lautan Mediterania selatan selama beberapa dekade yaitu Baibars
al-Bunduqdari, Izz ad-Din Aybak, dan Qalawun al-Alfi.

Selama peperangan berlangsung di
al-Mansuroh Syajarah ad-Durr meyakinkan pasukan Mamluk Kesultanan Ayyubiyah
bahwa Sultan ash-Shalih Ayyub berada di dalam tendanya memberi komando langsung
kepada para panglima perang dan pasukan Mamluk. Syajarah ad-Durr pun
berpura-pura mengantarkan makanan dan minuman ke tenda yang dikabarkan tempat
Sultan ash-Shalih Ayyub berada. Tindakan ini pun berhasil menguatkan mental
pasukan Mamluk.

Pada bulan Februari 1250 putra Sultan
ash-Shalih Ayyub, Al-Muazzam Turansyah tiba di
Mesir
dan dinobatkan sebagai sultan di desa al-Salhiyah karena ia tidak punya waktu
untuk pergi ke Kairo. Dengan kedatangannya, barulah Syajarah ad-Durr mengumumkan
kematian as-S
halih
Ayyub kepada seluruh rakyat Mesir. 

Turansyah langsung pergi ke
al-Mansurah bergabung dengan tentara Mamluk dan rakyat al-Mansurah dan pada 6
April 1250 Pasukan Salib berhasil dikalahkan seluruhnya pada Pertempuran
Fariskur sebuah desa tidak jauh dari al-Mansurah dan Raja Louis IX berhasil
ditangkap.

Bersambung

Sumber Pustaka

Yusuf bin
Taghribardi, An-Nuj
ūm az-Zāhirah fī Mulūk Misr wa al-Qāhirah, (Kairo: Dār al-Kutub, tt.), Vol. VI.

Abu Fidā`, Mukhtashar
f
ī Akhbār al-Basyar, (Kairo: Dār al-Ma’ārif, tt.), Vol. III.

Al-Maqrīzi, As-Sulūk li Ma’rifat Duwal al-Mulūk, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1997), Vol I.

Kontributor

  • Zulfahani Hasyim

    Alumni Universitas al-Azhar Mesir. Suka menerjemah kitab-kitab klasik. Sekarang tinggal di Banyumas Jawa Tengah.