Christiaan Snouck
Hurgronje adalah seorang orientalis VOC Belanda
yang ditugaskan mempelajari semua lini kehidupan masyarakat Indonesia demi
kepentingan kolonialisme. Dia menghabiskan waktu cukup lama di Aceh dan Jawa
untuk memberi informasi penting pada VOC. Bahkan dia sempat menyamar dengan
nama Abdul Ghaffar untuk meneliti tradisi penduduk Jawa (Nusantara) di Mekkah
(1885 M).
Di sana dia sempat mendokumentasikan
temuannya dalam sebuah buku berjudul Mecca
(1889 M). Saya membaca versi terjemahnya ke dalam bahasa Arab. Temuan-temuan
ini bersifat barat-centris dan sudut pandang antropolog orientalis. Jadi
pembaca harus menjaga jarak secara kritis. Kelebihan penelitian orientalis
terdapat pada kedetailan data. Karena di mata orang asing, semua tradisi timur
juga bersifat asing dan menarik.
Proses Belajar
Saat mendeskripsikan rakyat Banten di Mekah, dia memulai:
Ada beberapa ulama Mekah yang berasal
dari Banten. Pembesarnya adalah seorang guru syariat bernama Nawawi
Banten. Ayahnya seorang imam masjid di kampung halamannya, Tanara. Dialah
guru pertama Nawawi Banten dengan dua adik kandungnya: Tamim dan Ahmad.
Lantas ketiga bersaudara itu dikirim
oleh ayahnya ke Banten untuk melanjutkan studinya ke seorang ulama masyhur,
Haji Sahl. Kemudian berlanjut ke Purwakarta untuk belajar pada Raden Haji Yusuf
yang di masa itu menjadi tempat berteduh santri dari penjuru Jawa bagian barat.
Ketiganya dibawa melaksanakan haji dan
Nawawi muda sempat tinggal selama 3 tahun untuk mendalami ilmu agama di kota
suci. Nawawi Banten pulang dengan membawa ilmu di dadanya namun tetap menyimpan
hasrat untuk kembali dan menetap di kota suci.
Sekembalinya ke Mekah, Nawawi Banten
muda melanjutkan belajar pada ulama-ulama Nusantara seperti Syeikh Khatib
Sambas (mursyid tarekat Naqshabandiyah-Qadiriyah), Syeikh Abdul Ghani Bima.
Namun keilmuannya benar-benar ditempa di bawah bimbingan Syeikh Yusuf
As-Sumbulawi, An-Nahrawi Al-Mashri dan Abdul Hamid Ad-Daghistani. Nama terakhir
adalah guru mulazamah Nawawi Banten hingga wafatnya.
Syeikh Nawawi Banten di Majelisnya
Setelah 30an tahun membekali diri
dengan ilmu, kini Syeikh
Nawawi Banten mulai mengajar di lantai dasar rumahnya sejak pagi jam
7:30 hingga jam 12 siang. Kuliah ilmiahnya dibagi menjadi 3 sesi: jam pertama
untuk santri pemula yang mendalami gramatika bahasa Arab dan sisanya untuk santri
lanjutan. Saat malam hari, Syeikh duduk menulis karya-karya ilmiahnya ditemani
lentera kecil.
Syeikh Nawawi Banten adalah figur
sempurna bagi pelajar Jawa (Nusantara). Selain hafal Al-Qur’an, dia juga fasih
berbahasa Arab selayaknya orang Arab. Bahkan dia terlihat tidak fasih tatkala
berbahasa Arab Amiyah (pasaran) atau berbahasa Jawa. “Terkadang saat berbicara
dengan bahasa Jawa atau Arab Amiyah membuat penduduk Mekah tertawa,” kata Snouck.
Pergaulan Sosial Syeikh Nawawi Banten
Kekurangan Syeikh Nawawi Banten hanya
satu: dia tidak perduli dengan penampilan. Meski memang terlihat menjaga
kebersihan baju dan imamah (surban)nya. Bahkan tatkala menghadiri
even-even penting.
Orang yang duduk dengannya dan tidak
mengenalnya dari awal tak akan mengira bahwa pria yang ada di sampingnya adalah
ulama besar yang telah menulis 20an karya. Jumlah ini berdasarkan laporan Snouck
Hurgronje dekade 1885-1887 M. Setelahnya Syeikh Nawawi semakin produktif hingga
menulis 34 judul kitab.
“Saya pernah menanyakannya langsung,” kata Snouck, “Kenapa anda tidak
mengajar di Masjid Al-Haram?”
Syeikh menjawab, “Pakaianku lusuh dan
saya merasa tak pantas duduk bersama ulama Arab.”
“Tapi banyak ulama Jawa yang
keilmuannya jauh di bawahmu yang mengajar di Masjid Al-Haram,” kejar Snouck.
Syeikh hanya menjawab dengan enteng, “Oh iya? Betapa
beruntungnya mereka.”
Postur tubuh Syeikh Nawawi Banten
kecil. Saat berjalan seakan-akan bumi yang dia injak serupa dengan kertas yang
sedang dibacanya. Artinya, dia selalu berjalan menunduk tawadlu’. Dia memang
sering berujar di majelisnya,
“Saya tak ada harganya
dibanding debu yang menempel di kaki pencari ilmu.”
Namun kerendahan hati Syeikh Nawawi tak lantas
menyurutkan niat masyarakat Nusantara untuk mengirim surat dan meminta fatwa. Mereka
juga berebutan mencium tangan beliau dalam
banyak kesempatan. Syeikh bukan tipikal ulama-kiai berpengaruh secara sosial
dan politik, selain aspek keilmuan dan akhlaknya. Ini yang mengundang santri-santri
dari Sunda, Jawa dan Melayu duduk khidmat mendengarkan ceramah-ceramahnya.
Dalam pergaulan sosial, Syeikh
terlihat irit bicara. Dia tipe ulama yang fasih secara tulisan namun tidak
pandai berbasa-basi secara lisan. Obrolan tak pernah membekas dalam dirinya
karena fokus pikirannya pada ilmu. Syeikh tak pernah memulai diskusi kecuali
orang lain memulainya.
Politik Syeikh Nawawi Banten
Meski demikian, perlawanan rakyat Aceh
(1873-1913 M) dalam pandangan Snouck diilhami oleh Nawawi Banten. Dia menolak sistem
pemerintahan kafir Belanda. Dia juga sering menyinggung di majelisnya tentang
pentingnya menghidupkan kembali kesultanan Banten.
Syeikh dianggap salah seorang ulama
yang menjadi “biang kerok” perlawanan rakyat Aceh pada kolonial Belanda.
Karya-karya
Seikh Nawawi Banten
Minatnya memang minim terhadap isu
politik. Fokus Syeikh adalah keilmuan. Dia mencetak karya-karyanya di
percetakan Mesir. Baru-baru ini, kata Snouck, dia mencetak tafsir Al-Qur’annya
(Marah Labid) di percetakan modern Mekah. Selebihnya dia terbitkan di
Kairo-Mesir:
Syarah Ajrumiyah
1881 M, Lubab Al-Bayan 1884 M, Dirayat Al-Yaqin 1886 M, Syarah
Sanusiyah 1886 M, Fathu Al-Mujib Ala Ad-Durr Al-Farid karya gurunya,
An-Nahrawi 1881 M, dua komentarnya atas Mawlid Al-Barzanji, Syarah
Asma Al-Husna, dua kitab fikih (Tausyih dan), Syarah Manasik Al-Hajj
karya As-Syarbini 1880 M, Komentar atas dua Risalah ulama Hadramaut 1883 M (Bahjat
Al Wasa’il Syarah Risalah Jamiah), Sulam Al-Munajat 1884 M.
Tasawuf Nawawi Banten
Dalam tasawuf, Nawawi Banten mengikuti
manhaj Imam Al-Ghazali. Ini dibuktikan dengan menulis dua kitab: komentar atas Bidayah
Al-Hidayah Al-Ghazali (1881 M) dan komentar atas nazam Kifayah
Al-Atqiya’ karya Al-Malibari dengan tajuk Salalim Al-Fudhala’ (1884
M). Begitu pula mayoritas ulama Haram masa itu mengikuti manhaj Al-Ghazali.
Dalam majelisnya dia membaca
kitab-kitab tasawuf akhlaki. Tak pernah menganjurkan murid-muridnya untuk
bergabung dengan tarekat sufi. Namun juga tak pernah melarangnya. Adik
seayahnya, Al Marzuqi, penganut tarekat Naqshabandiyah-Qadiriyah.
Dalam banya kesempatan obrolan kami,
kata Snouck, terlihat Nawawi Banten memaklumi tradisi masyarakat Nusantara yang
sangat menggandrungi tasawuf. Sehingga ketika Sayid Usman bin Yahya (mufti
Batavia) mengeluarkan risalah kritiknya pada penganut tarekat, Nawawi Banten semacam
membenarkan pendapat Sayid.
Meski telah membaca risalah yang dikirim
oleh Sayid. Syeikh tetap menolak berkomentar pedas seperti Sayid. Syeikh Nawawi
Banten lebih menyukai tasawuf moderat ala Al-Ghazali.
Penghasilan Syeikh Nawawi
Menurut Snouck, selain mengajar,
Syeikh juga bekerja sebagai mutawwif (guide jemaah haji) yang kurang
sesuai dengan reputasinya sebagai ulama besar. Bagaimanapun, seorang
intelektual seperti Syeikh biasanya memang tidak pandai mencari uang.
Meski sering mendapat hadiah dan
oleh-oleh dari murid dan pengagumnya, Nawawi Banten memilih hidup sederhana.
Kelebihan harta sering disedekahkan utamanya pada santri. Padahal hadiah yang
datang, menurut Snouck, seperti “hujan yang deras.”
Syeikh beristrikan seorang gadis Jawa
yang posesif dan anti poligami. Namun istrinya sangat telaten melayani semua
kebutuhan Syeikh. Saat ada tamu datang, sang istri menyiapkan semua jamuan
selayaknya para istri di Jawa.