Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Esai

Tuntunan Islam dalam Menghadapi Pandemi

Avatar photo
26
×

Tuntunan Islam dalam Menghadapi Pandemi

Share this article

“Janganlah kamu
membunuh dirimu. Allah Maha Penyayang kepadamu.”
(QS. an-Nisa: 29)

Di antara misi utama
yang dibawa oleh agama Islam adalah menjaga lima perkara yang sangat mendasar,
yaitu: menjaga agama; menjaga jiwa; menjaga akal; menjaga kehormatan; dan menjaga
harta. Termasuk dalam menjaga jiwa adalah segala hal yang berkaitan dengan
kesehatan dan pencegahan penyakit, tentu saja di luar menghormati nyawa orang
lain.  

Ayat di atas secara tegas melarang manusia melakukan bunuh diri dalam
bentuk apa pun dan dengan cara apa pun. Jiwa manusia sangat mahal. Ia harus
dijaga dan dipelihara. Ia adalah amanah dari Allah SWT.

Dalam Islam, keselamatan jiwa lebih utama. Membunuh diri tidak hanya
menusuk badan dengan pisau, menembak diri dengan pistol, menjatuhkan diri dari
ketinggian. Bisa dikatakan membunuh diri bila dengan sengaja membiarkan diri
jatuh dalam bahaya dan kebinasaan, membiarkan diri tertular penyakit, tidak
berhati-hati, dan mengabaikan protokol kesehatan.

Makna kedua dari “janganlah kamu membunuh dirimu”, yaitu janganlah
kamu membunuh orang lain apalagi saudaramu sesama mukmin. Sebab, persaudaraan,
cinta kasih, dan sifat sayang mukmin yang satu dengan yang lain ibarat satu
tubuh seperti disebutkan dalam hadis Nabi SAW.

Karena itu, setiap Muslim dilarang melakukan sesuatu yang bisa membahayakan
orang lain. Nabi SAW bersabda, “Tidak
boleh mandatangkan bahaya untuk diri sendiri dan orang lain.”
(HR
Ibn Majah dan ad-Daraquthni).

Termasuk, tidak boleh menularkan bahaya, penyakit, atau virus kepada orang
lain dengan sengaja ataupun karena ceroboh dan abai.

Dalam ayat lain, Allah
berfirman, “Janganlah kalian menjatuhkan diri kalian ke dalam kebinasaan.”
(QS. al-Baqarah: 195). Ayat ini juga menunjukkan wajibnya menjauhi sebab-sebab
yang
akan mengantarkan kepada kebinasaan jiwa.  

Dalam kitab Zadul Ma’ad, pada pembahasan
tentang ath-Thibb an-Nabawi (Kedokteran
Nabawi), Imam Ibnul Qayim mengatakan, “Karena kasih sayangnya yang sangat besar
terhadap umatnya dan dorongan memberikan nasehat kepada umat, Nabi SAW melarang
umat melakukan sebab-sebab yang bisa mengantarkan kepada sakit dan kerusakan
pada fisik dan hati mereka.” 

Keterangan ini
menunjukkan bahwa Islam mengajarkan prinsip wajibnya menempuh tindakan
preventif (pencegahan) dalam bentuk menghindari sebab-sebab terjadinya
penularan penyakit. M
enjaga jiwa
juga erat kaitannya untuk menjamin atas hak hidup manusia seluruhnya tanpa
terkecuali.

Dalam Islam, jiwa atau nyawa manusia
memiliki nilai yang sangat tinggi. Orang yang menghilangkan nyawa orang lain
(membunuh), diumpamakan sama seperti membunuh semua orang di muka bumi, begitu
pun pada saat menyelamatkan satu nyawa orang, maka seolah ia menyelamatkan
nyawa semua orang.

“Barang siapa yang
memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara
kehidupan manusia semuanya.”
(QS. al-Maidah: 32)

Ini artinya, umat Islam tidak boleh nekad melakukan
sesuatu yang bisa membahayakan dirinya sendiri.
Nabi menyatakan: la dharar wala dhirar (tidak boleh ada bahaya atau tindakan yang bisa membahayakan, baik terhadap
diri sendiri maupun orang lain). Dalam hadits lain yang diriwayatkan Imam al
Hakim dan Baihaqi juga disebutkan: 

Barangsiapa membahayakan orang
lain, maka Allâh akan membalas bahaya kepadanya dan barangsiapa menyusahkan
atau menyulitkan orang lain, maka Allah akan menyulitkannya.”

Ayat dan teks hadis
ini secara tegas dan jelas menyebutkan bahwa umat Islam diperintahkan untuk
menghindar dari bahaya atau melakukan tindakan berbahaya yang bisa mencelakai
diri sendiri maupun orang lain. Upaya menjaga keselamatan diri ini juga
dianjurkan ketika menghadapi wabah penyakit sebagaimana dikatakan Nabi:

“…. Kalau kalian mendengar ada wabah thaun di suatu
negeri, janganlah kalian memasuki negeri tersebut. Namun, bila wabah 
thaun itu menyebar di negeri
kalian, janganlah kalian keluar dari negeri kalian menghindar dari penyakit
itu.”
 (HR. Bukhari-Muslim)

Dalam Hadis yang
lain Nabi bersabda: 

Jika kalian mendengar wabah
terjadi di suatu wilayah, janganlah kalian memasuki wilayah itu. Sebaliknya,
jika wabah itu terjadi di tempat kalian tinggal, janganlah kalian meninggalkan
tempat itu.”
(HR. al-Bukhari)

Berdasarkan hadis
ini, Ibnul Qayyim al-Jauzi menyatakan bahwa orang yang tetap memaksakan diri
masuk ke daerah wabah, atau nekad melanggar aturan kesehatan, sama saja dengan
membinasakan dirinya sendiri dan itu bertentangan dengan syariat Islam. Sikap
menghindar dari bahaya yang bisa mengancam keselamatan diri maupun orang lain
ini tidak hanya disebutkan dalam teks, tetapi juga dicontohkan oleh Nabi
Muhammad.

Bahkan Islam tidak menyuruh umatnya melakukan
ibadah atau menjalankan syariah secara berlebihan sehingga melampuai kemempuan
diri. Hal ini tercermin dalam hadis Nabi yang diriwayatkan dari dari Anas ra.
Dalam hadits ini disebutkan adanya tiga orang sahabat yang menganggap amal
ibadah Nabi sangat minimalis, hanya sedikit saja. Kemudian mereka bertiga datang
menghadap Nabi dan menceritakan tentang kehebatan amal ibadah masing-masing
sehingga melampaui batas kemanusiaan. Mengetahui hal ini kemudian Rasul
bersabda kepada mereka:

“Kalian tadi berbicara begini dan begitu? Demi
Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut dan paling takwa kepada
Allah di antara kalian, tetapi aku berpuasa dan berbuka, aku shalat dan aku
tidur malam, aku juga mengawini perempuan. (Itulah sunah-sunahku) siapa saja
yang benci terhadap sunahku, maka ia bukan termasuk golonganku.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini jelas menyiratkan bahwa beribadah itu
yang wajar saja, tidak boleh melampaui batasan kemanusiaan sehingga bisa
membahayakan diri sendiri.

Dalam kondisi sekarang ini, di mana merebaknya
wabah Corona yang membahayakan karena mengancam jiwa manusia, maka selayaknya
para agamawan bersikap bijak dengan meniru apa yang sudah dicontohkan Nabi,
para sahabat dan ulama.

Sikap menolak prosedur kesehatan dan hukum sains
dengan mengatasnamakan takdir dan kekuasaan Allah, atau menghadapkan bahaya
wabah corona dengan kekuasaan Allah tidak saja membahayakan umat tetapi juga
bertentangan dengan ajaran Islam dan apa yang sudah dicontohkan Nabi.

Ikhtiar menjaga diri dari serangan wabah bukan
berarti tidak percaya pada kekuasaan Allah, justru hal itu menjadi bagian dari
yang disyariatkan Allah.  Karena dalam Islam menjaga dan melindungi jiwa
jauh lebih penting.

Itulah sebab, mengapa dalam Maqasid Syariah –konsep  hukum gagasan Imam Asy-Syatibi yang menjelaskan
bahwa setiap syariat diturunkan untuk tujuan-tujuan tertentu–ditegaskan  bahwa tujuan utama syariat Islam adalah
menjaga nyawa/jiwa (hifdzun nafs), di
samping untuk menjaga agama/keyakinan (hifdzud
din
); menjaga akal/pikiran (hifdzul
aql
); menjaga keturunan (hifdzun nasl);
dan menjaga harta/kepemilikan (hifdzul
mal
).

Rasulullah SAW diutus ke muka bumi untuk
memberi rahmat bagi alam semesta. Inilah dasar yang kokoh bagi keberadaan Islam
sebagai rahmatan lil ‘alamin.
Artinya, keberadaan seorang Muslim, di manapun dia, selain harus menjaga
keamanan bagi dirinya, juga harus memberi rasa aman dan kedamaian bagi orang
lain yang ada di sekelilingnya. Tidak beriman seseorang, jika orang lain belum
selamat dari kejahatan lidah (omongan) dan tangannya (tindakannya).

Mari kita fungsikan agama benar-benar untuk
menyelamatkan nyawa
dan jiwa, dan kita fungsikan negara untuk
memberikan kepastian keselamatan jiwa bagi segenap warganya.

 

Kontributor

  • Alfian Ruhyat

    Pengajar di Lembaga Pendidikan Miftahul Huda, Jakarta