Salah satu dasar ketuhanan adalah
memiliki sifat tunggal (wahdaniyah). Tak ada wasithah (perantara)
antara sifat tunggal dan terbilang (ta’adud). Sehingga ketika suatu dzat
diklasifikasikan sebagai dzat tak tunggal, maka dzat tersebut pasti bersifat
ta’adud (terbilang). Ini adalah konsep umum.
Begitupun dengan Tuhan. Andai Dia tak bersifat
tunggal sebagaimana yang menjadi keyakinan umat Non Muslim pada umumnya, maka secara
tidak langsung Tuhan bersifat ta’adud (terbilang).
Ketika Tuhan terbilang, maka eksistensi
alam tidak akan pernah ada. Mengapa?
Berikut adalah sebuah logika yang aplikatif
untuk dipahami, mengenai tidak ditemukannya eksistensi alam ketika Tuhan terbilang.
Kita beri contoh, andai ada dua Tuhan di
alam semesta ini maka akan ada dua kemungkinan.
Pertama,
keduanya sepakat menciptakan alam (sesuatu selain Tuhan).
Kedua,
kemungkinan tidak saling bersepakat menciptakan alam.
Pada kemungkinan pertama (saling bersepakat),
akan ada beberapa gambaran:
Pertama, adakalanya dua Tuhan bersepakat
untuk menciptakan bersama satu alam, dan hal ini jelas melanggar aturan baku
Ketuhanan karena akan ditemukan adanya konsep dua Muatsir ( dzat yang
memberikan efek ) yang menghasilkan satu atsar (efek) di mana hal ini tidak
dapat diterima.
Kedua, adakalanya dua Tuhan menciptakan
alam secara murattab (bergantian), dengan gambaran Tuhan pertama
menciptakan alam kemudian selanjutnya Tuhan yang lain menciptakan alam. Gambaran
ini jelas tertolak dan mustahil terjadi pada Tuhan, karena akan timbul yang
namanya tahshilul hasil (mengadakan sesuatu yang telah ada), dan itu dalam
aturan baku Ketuhanan tidak dapat diterima.
Ketiga, adakalanya dua Tuhan bekerjasama
dalam menciptakan alam, hal ini juga tidak dapat diterima. Karena jika gambaran
ini terjadi maka akan menetapkan sifat ‘ajz (lemah) pada Tuhan dan ini mustahil.
Itulah tiga gambaran, sebagai bentuk
representasi dari kemungkinan pertama, ketika kedua Tuhan bersepakat
menciptakan alam.
Gambaran gambaran di atas tersebut
dinamakan dengan konsep Burhan Tawarud.
Kemungkinan kedua, ketika dua Tuhan berselisih
dalam menciptakan alam, maka akan dihasilkan tiga gambaran seperti berikut:
Pertama, adakalanya Tuhan yang satu
menciptakan alam dan Tuhan yang lain meniadakan alam. Hal ini tertolak, karena tidak
mungkin dua perkara yang berlawanan bertemu (Ijtima’ Naqidhain), yaitu antara
Ijad dan I’dam.
Kedua, adakalanya kedua tuhan memiliki
kehendak yang berlawanan (Ijad dan I’dam) dan masing masing
kehendak-Nya tidak terlaksana. Hal ini juga tertolak karena gambaran tersebut
akan menetapkan sifat ‘ajz (lemah) bagi Tuhan, karena seharusnya Tuhan
memiliki sifat iradah mutlak (kehendak absolut).
Ketiga, adakalanya dua Tuhan memiliki
kehendak masing masing yang berlawanan. Kemudian salah satu kehendak yang saling
berlawanan itu terealisasi sementara kehendak yang lainnya tidak. Gambaran
seperti ini juga akan tertolak karena akan menetapkan sifat ‘ajz (lemah)
juga pada kedua Tuhan. Tuhan kedua dikatakan lemah karena tidak mampu
merealisasikan kehendak-Nya sedangkan Tuhan pertama yang kehendak-Nya
terealisasi tetap dikatakan lemah sebagai Tuhan, karena ia juga tersifati oleh
sifat lemah ketuhanan jika dilihat dari sifat lemah Tuhan kedua. Karena keduanya
tetap dalam satu jenis, yaitu Tuhan.
Ahli Kalam mengistilahkan konsep
seperti ini dengan istilah Burhan Tamanu’.
Setidaknya kita dapat berimajinasi atas
enam gambaran di atas yang dihasilkan dari dua kemungkinan yang terjadi seandainya
Tuhan itu terbilang (Ta’adud). Setiap dari enam gambaran diatas konklusinya
adalah ketiadaan alam.
Kemudian, sekarang
dengan mata telanjang kita menyaksikan alam raya ini wujud alias ada. Karena
itu, jelas enam gambaran di atas adalah sesuatu yang sangat mustahil, kemudian jika
keenamnya mustahil, maka sifat Ta’adud (keterbilangan Tuhan) yang
menjadi inti dari lahirnya enam gambaran di atas, akan secara langsung
dikatakan mustahil. Dan ketika Sifat Ta’adud (terbilang) itu mustahil
pada Tuhan, berarti terbuktilah kalau sifat tunggal melekat pada esensi
ketuhanan. Dan kita umat Islam menjadikan wahdaniyah (sifat tunggal) sebagai
konsep ketuhanan yang masuk pada bagian rumusan Ilmu Kalam. Wallahu a’lam.