Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Esai

Mengutamakan Kemaslahatan Publik

Avatar photo
35
×

Mengutamakan Kemaslahatan Publik

Share this article

Dan Kami tidak mengutus para Rasul
kecuai sebagai pembawa kabar gembira dan peringatan. Maka barangsiapa beriman
dan berbuat kemaslahatan, maka bagi mereka tidak akan takut dan sedih
(QS. Al-An’âm: 48).

Ayat Al-Quran di atas menegaskan tentang misi diutusnya
para Rasul: tidak lain untuk membawa kemaslahatan bagi umatnya melalui kabar
gembira dan peringatan yang akan menuntun hidup mereka. Misi yang mulia
tersebut dijamin oleh Allah SWT dengan surga di akhirat nanti.

Dalam kitab tafsir Mafâtîh Al-Ghayb, Imam Ar-Razi
menegaskan ayat tersebut hendak meneguhkan misi kenabian yang di dalamnya
menggabungkan antara dimensi iman dan dimensi kemaslahatan umat. Keduanya
merupakan kekuatan yang dahsyat dalam rangka membangun masyarakat yang dicintai
Allah subhânahu wata’alâ. Yaitu masyarakat yang makmur dan mendapatkan
berkah-Nya.

Dalam hal ini, kata kuncinya adalah misi kemaslahatan.
Dalam kamus bahasa Arab yang paling otoritatif, Lisân Al- ‘Arab, mashlahah
berarti hal-hal yang bermanfaat, baik melalui perbuatan baik atau
menghindari kemudaratan. Sementara kamus bahasa Arab lain, Mu’jam Al-Wasîth,
mengartikan mashlahah dengan istilah tidak rusak, baik, bermanfaat, atau
sekadar cocok.

Menurut Muhammad Said Ali Abdurrabbuh dalam kitab Buhûts
fî Al-Adillah Al-Mukhtalaf fihâ ‘Inda Al-Ushûliyyîn
, kata kerja maslahah
kadang-kadang digunakan secara metaforis. Dikatakan berdagang adalah
maslahat, mencari ilmu adalah maslahat. Hal ini mengingat berdagang dan mencari
ilmu dapat menciptakan kemaslahatan bagi pelakunya, baik kemaslahatan secara
materiil, atau non materiil.

Menurut kitab Mu’jam Al-Mufahras, dalam Al-Quran
terdapat 267 ayat yang mengunakan kata mashlahah dengan semua bentuk
derivasinya, 62 di antaranya dalam bentuk plural (shâlihât). Dan kata
ini biasanya selalu beriringan dengan kata “orang-orang yang beriman” dalam
Al-Quran.

Menurut Abu Zahrah dalam kitab Ushûl Al-Fiqh,
kemaslahatan yang diperhitungkan adalah kemaslahatan yang hakiki, yaitu
kemaslahatan yang masuk dalam lima perkara: untuk menjaga agama, jiwa, akal,
keturunan dan kekayaan. Karena lima hal ini merupakan tiang kehidupan, yang
mana manusia tidak bisa hidup layak tanpa lima hal tersebut.

Pandangan yang begitu kaya tentang kemaslahatan menunjukkan
betapa Islam sangat memperhatikan kemaslahatan manusia, terutama kemaslahatan
yang berdampak luas bagi kehidupan masyarakat. Pada ghalibnya kemaslahatan
seperti ini disebut sebagai kemaslahatan publik (mashlahah mursalah).

Dalam Islam, gagasan kemaslahatan dimaksudkan untuk
mendorong umatnya agar senantiasa melakukan kebaikan sebanyak mungkin. Walaupun
kebaikan tersebut menyangkut hal-hal yang sederhana. Dalam sebuah Hadis
disebutkan, bahwa perbuatan menyingkirkan duri yang dapat mengganggu orang di jalan
merupakan bagian dari keimanan. Sebaliknya, dalam konteks keburukan disebutkan
bahwa seorang yang sengaja mengurung kucing bisa menyebabkannya masuk neraka.

Prinsip kemaslahatan dalam Islam diabadikan oleh Imam
An-Nawawi dalam kumpulan hadis 40, yang biasa dikenal dengan Hadîts
Al-Arba’în al-Nawawî
: “Tidak ada kemudaratan dan memudaratkan dalam
Islam”
. Hadis tersebut ingin memastikan, bahwa sebagai umat Islam kita
diperintahkan agar senantiasa melaksanakan sesuatu yang membawa manfaat bagi
orang lain. Sedangkan hal-hal yang membawa dampak bahaya atau kemudaratan
hendaknya dijauhi. Sebab Islam sama sekali tidak menolerir berbagai tindakan
yang merugikan orang lain.

Jaminan kesejahteraan dan rasa aman adalah dasar
kehormatan manusia untuk tumbuhnya kemaslahatan publik. Nilai tersebut
merupakan misi utama Islam sebagai agama yang mempunyai komitmen untuk
memajukan umatnya ke arah yang lebih baik. Maka dari itu, kita perlu
memperbaiki orientasi keislaman yang selama ini cenderung hanya mementingkan
diri sendiri menjadi orientasi keislaman yang mempunyai komitmen untuk menolong
orang lain yang tidak mampu. Diperlukan kepekaan sosial yang tinggi, sehingga
tatkala kita menolong orang lain yang tidak mampu pada hakikatnya kita sedang
menjalankan ajaran Islam yang sangat mulia.

Sebagai umat terbaik, kita harus menjadikan visi dan misi
kemaslahatan publik sebagai hal yang utama. Tidak pada tempatnya jika
kemaslahatan hanya dipahami sebagai kemaslahatan diri dan kelompok sendiri,
sedangkan kemaslahatan publik dilupakan. Muhammad Abid al-Jabiry membuat sebuah
penjelasan yang cukup gamblang tentang kemaslahatan publik, dengan mengacu pada
al-kulliyyât al-khamsah (lima
prinsip dasar dalam Islam)
: Pertama, kemaslahatan umat
agama-agama. Melindungi agama (hifdz al-dîn) dapat dipahami, bahwa
setiap agama sejatinya dapat menebarkan kasih-sayang dan menjunjung tinggi
keadilan. Sebab itu, setiap agama harus mampu melakukan misi tersebut dengan
sebaik-baiknya.

Kedua, kemaslahatan jiwa dan hak hidup. Melindungi jiwa (hifdz
al-nafs
) dapat dipahami sebagai upaya untuk menghargai hak hidup setiap
orang. Dalam pidato perpisahan, Rasulullah SAW berpesan, “Sesungguhnya jiwa,
kehormatan, darah dan harta kalian adalah suci”.

Pesan ini terasa penting untuk diingat dan diamalkan, bahwa
setiap orang apa pun agamanya, bangsa dan jenis kelaminnya, mempunyai hak
hidup. Kita tidak diperbolehkan untuk melukai, apalagi lebih dari itu. Karena
sesungguhnya setiap jiwa manusia adalah jiwa-jiwa suci yang ditiupkan ruh oleh
Malaikat agar nantinya dapat menebarkan nilai-nilai kemanusiaan.

Ketiga, kemaslahatan ekonomi. Melindungi harta (hifdz al-mâl)
merupakan salah satu pilar terpenting dalam kehidupan. Tidak pada tempatnya
jika ekonomi ditumpuk-tumpuk pada satu pihak, sedangkan pihak yang lain mengalami
keterpurukan dan kemelaratan.

Keempat, kemaslahatan keluarga. Melindungi keturunan (hifdz al-nasl)
merupakan aspek yang tidak kalah pentingnya dari aspek-aspek di atas. Islam
amat memperhatikan keluarga sebagai jantung pendidikan dan pembelajaran
generasi unggulan. Keluarga harus dijamin pertumbuhannya secara sehat dan
berkualitas. Di samping tentunya agar keluarga dapat menanamkan nilai-nilai
pentingnya kemaslahatan sejak dini.

Kelima, kemaslahatan akal. Melindungi akal (hifd al-‘aql)
merupakan aspek penting, karena akal merupakan jantung dari agama. Dalam
berbagai kitab fikih disebutkan, bahwa setiap umat mempunyai tanggungjawab dan
tugas untuk melaksanakan ajarannya sejauh mempunyai akal yang sehat. Jika
tidak, maka tidak ada beban baginya. Di dalam sebuah hadis disebutkan, tidak
ada kewajiban agama bagi siapa yang tidak berakal.

Sebab itu, bagi mereka yang berakal sehat harus menjadikan
akalnya sebagai modal untuk mewujudkan kemaslahatan publik. Ibnu Rusyd dalam
kitabnya, Fashl Al- Maqâl fîmâ Bayn Al-Hikmah wa As-Syarî’ati min Ittishâl, menyatakan
bahwa menggunakan akal merupakan hal yang primer dalam Islam.

Jika melihat pandangan Islam tentang kemaslahatan di atas,
maka tidak bisa dimungkiri lagi jika kemaslahatan menjadi jantung dari tatanan
masyarakat yang toleran dan harmonis. Sebab tidak mungkin terwujud keharmonisan
dan toleransi dalam sebuah masyarakat, jika di mana-mana masih terdapat
ketidakadilan dan ketidakseimbangan antara yang kaya dengan yang miskin, antara
yang pintar dengan yang bodoh. Kemaslahatan sejatinya menjadi visi kita dalam
beragama.

Sebagai penutup, ada baiknya kita menyimak pandangan Ibn
Al-Qayyim Al-Jawziyyah dalam kitabnya, I’lâmul Muwaqqi’în Jilid III
halaman 149: Dasar dan pondasi syariat adalah kebijaksanaan dan kemaslahatan
manusia, di muka bumi dan di akhirat nanti. Syariat adalah keadilan, rahmat,
kemaslahatan, dan kebijaksanaan.

Kontributor

  • Muhtadin AR

    Alumni S2 Institut Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ) Jakarta.