Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Esai

Meneguhkan Solidaritas Sosial

Avatar photo
37
×

Meneguhkan Solidaritas Sosial

Share this article

Tahukah kamu, siapa orang yang
mendustakan agama? Adalah orang yang menerlantarkan anak yatim, dan tidak sungguh-sungguh
memecahkan persoalan pangan orang miskin. Maka celakalah bagi orang-orang yang
melaksanakan sembahyang, yaitu mereka yang lalai, pamer dan enggan menolong
orang lain
.
(QS. Al-Mâ’ûn, 1- 4).

Ayat
Al-Quran di atas menegaskan hal yang sangat penting dalam keberagamaan kita,
yaitu pentingnya solidaritas sosial. Dalam perspektif Islam, solidaritas sosial
adalah bagian dari ajaran yang paling pokok. Mengabaikan persoalan ini sama
halnya dengan mendustakan agama, sebagaimana ditegaskan secara eksplisit dalam
ayat tersebut.

Dalam
Tafsîr At-Thabarî disebutkan bahwa ayat ini turun untuk menegaskan pentingnya
solidaritas sosial, terutama bagi masyarakat lemah (dhu’afâ) dan yang dilemahkan
(mustadh’afîn), seperti anak-anak yatim, kaum perempuan dan orang-orang miskin
pada umumnya. Mereka merupakan bagian dari kelompok masyarakat yang sangat rentan
terhadap bentuk-bentuk ketidakadilan, baik secara langsung maupun tidak
langsung. Tidak sedikit dari hak-hak dasar mereka yang tidak terpenuhi, bahkan
dilupakan. Seringkali mereka hanya dijadikan sebagai komoditas untuk
kepentingan sesaat.

Muhammad
Yunus, peraih nobel perdamaian, merupakan salah satu contoh terbaik dalam hal
solidaritas sosial khususnya dalam rangka mengangkat harkat dan martabat
orang-orang miskin. Ia menggalang para perempuan miskin agar bangkit dengan
cara memberikan modal pinjaman lunak tanpa bunga. Menurut Yunus, cara tersebut
telah mampu mengubah orang-orang yang selama ini miskin menjadi berdaya, sehingga
mereka pun mampu bangkit dari keterpurukan.

Islam
memberikan perhatian besar kepada yang kaum lemah atau yang diperlemah oleh
pihak tertentu, seperti yang disinggung pada surat Al-Ma’un di atas. Begitu
besarnya perhatian Islam, pihak yang menelantarkan anak-anak yatim dan tidak
memberi makan orang-orang miskin disebut Al-Quran sebagai orang-orang yang
mendustakan agama.

Dalam
hal ini, kita perlu menumbuhkan solidaritas sosial yang ditandai dengan
komitmen untuk membantu dan menyelamatkan mereka. Semua itu harus dilakukan
agar kita tidak dicap Tuhan sebagai orang-orang yang telah mendustakan agama.

Untuk
itu, Rasulullah SAW memberikan teladan yang sangat baik bagi kita semua, yaitu
agar menjadikan kepedulian terhadap orang-orang miskin sebagai bagian penting
dalam kehidupan ini. Beliau bersabda:

Ya Allah hidupkanlah aku dalam
keadaan miskin dan matikanlah aku dalam keadaan miskin, dan kumpulkanlah aku
pada Hari Kiamat nanti bersama orang-orang miskin. Kemudian Aisyah bertanya,
“kenapa demikian wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, karena mereka akan masuk
surga sebelum orang-orang kaya kira-kira sekitar 40 kali musim gugur. Wahai Aisyah,
jangan engkau menolak (tidak membantu) orang miskin (bantulah dia) walau hanya
dengan separuh kurma. Wahai Aisyah cintailah orang miskin, dekati mereka, maka
niscaya Allah akan mendekatimu pada hari kiamat nanti
.

Hadis
di atas menunjukkan, bahwa keberpihakan terhadap orang-orang miskin harus
menjadi kesadaran yang mampu menggerakkan dan diwujudkan dalam kehidupan nyata.
Siapa pun yang melihat orang-orang miskin hatinya akan otomatis tergerak untuk
mengulurkan tangan. Sebab, hal tersebut merupakan perangai agung dari Baginda
Rasulullah SAW, yang keseluruhan hidupnya diperuntukkan untuk membantu
orang-orang miskin. Bahkan, beliau rela untuk tidak makan beberapa hari,
sehingga umatnya mendapatkan makanan.

Solidaritas
sosial harus ditunjukkan dan dicontohkan oleh para pemimpin, karena mereka
mempunyai kesempatan dan kemampuan untuk melakukan penyelamatan. Solidaritas
sosial yang dilakukan oleh pemimpin akan memberikan dampak yang lebih luas
dibanding solidaritas yang dilakukan oleh perseorangan. Apalagi dalam konteks
berbangsa dan bernegara, yang mana di dalam konstitusi sudah terang-menderang,
bahwa fakir-miskin dilindungi oleh negara. Karena itu, pemimpin mempunyai
tanggungjawab besar untuk menunjukkan kepedulian kepada mereka.

Pada
hakikatnya persoalan solidaritas sosial menyangkut persoalan budaya. Lemahnya
solidaritas sosial semata-mata karena kita belum mampu membangun budaya yang
mampu menopang kebersamaan dan kepedulian terhadap mereka yang lemah. Apalagi
di tengah gempuran budaya konsumerisme, yang mana kita cenderung mementingkan
diri sendiri daripada orang lain. Maka dari itu, menjadikan nilai-nilai
keislaman sebagai sumber inspirasi untuk membangun solidaritas sosial sangatlah
mendesak untuk dilakukan, terutama dalam rangka menjadikan Islam sebagai agama
yang membebaskan dari berbagai belenggu ketidakadilan sosial.

Dalam
hal itu, salah satu ajaran yang sangat sederhana, tetapi muatannya sangat
berdampak bagi kehidupan sosial, yaitu perintah Nabi Muhammad SAW soal
pentingnya memberi. Beliau bersabda: Tangan
yang di atas lebih baik dari pada tangan yang di bawah.

Hadis
tersebut hendak memberikan penjelasan, bahwa akhlak dan budaya seorang muslim
adalah memberi, bukan meminta. Sebab memberi lebih mulia dan lebih diutamakan
daripada meminta. Ini berarti, menjadi seorang muslim bukanlah meminta-minta,
melainkan justru sebisa mungkin menolong orang lain.

Bahkan
dalam Hadis lain disebutkan, solidaritas sosial merupakan jantung keimanan itu
sendiri. Seseorang akan dianggap beriman kepada Allah dan Hari Akhir jika ia
memuliakan tetangga dan tamu.

Hadis
tersebut hendak menjelaskan, bahwa solidaritas sosial harus dimulai dari
lingkungan terdekat, baik mereka yang dikenal maupun tidak dikenal. Sebab
sebagai seorang muslim yang mempunyai komitmen tinggi untuk menegakkan
nilai-nilai keislaman, kita dituntut menjadikan solidaritas sosial sebagai
perangai yang harus dibuktikan dalam kehidupan sehari-hari. Islam bukanlah
ajaran yang melangit, akan tetapi ajaran yang harus diterjemahkan dalam
kehidupan nyata.

Dalam
hal ini, budaya kesukarelaan dan kedermawanan harus menjadi basis dalam relasi

Solidaritas
sosial merupakan jantung dari toleransi. Sebab toleransi tidak akan bermakna
apa-apa, jika di dalamnya tidak ada spirit “memberi” dan “melayani”, yang mana
keduanya merupakan hakikat dari ajaran Islam.

Ketika
kita membantu seseorang, hal tersebut semata-mata bukan karena pihak yang
dibantu merupakan saudara dan keluarga kita, tetapi karena semata-mata mereka
adalah manusia, ciptaan Allah yang harus dilindungi dan diberi pertolongan.
Betapa indahnya kehidupan ini jikalau solidaritas menjadi titik-tolak dalam
membangun keharmonisan.


Dengan demikian, solidaritas
sosial harus menjadi pijakan kita dalam berbangsa, bernegara dan beragama. Para
Nabi terdahulu telah membuktikan betapa mereka menjadikan solidaritas sosial
sebagai bagian terpenting dalam agama mereka. Dan tugas kita saat ini, yaitu
menjadikan ajaran tersebut sebagai tali pengikat yang akan menjadikan kita
sebagai umat yang benar-benar mempunyai komitmen untuk membela mereka yang
lemah.

Kontributor

  • Achmad Marzuki

    Pengajar di Pesantren Sabilal Muhtadin, Bungatan, Pasir Putih, Situbondo.