Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Esai

Hikmah Berdagang Rasulullah di Masa Kecil

Avatar photo
28
×

Hikmah Berdagang Rasulullah di Masa Kecil

Share this article

Setelah
ibunya, Siti Aminah meninggal, Nabi Muhammad sepenuhnya diasuh oleh kakeknya
Abdul Muthallib. Dia sangat menyayangi cucunya itu melebihi sayangnya kepada
anak-anaknya. Hanya saja, usia sang kakek saat itu sudah sangat tua, dan tidak
bisa diharapkan bersama dengannya dalam waktu yang cukup lama. Sebelum Abdul
Muthallib wafat, dia telah berencana menyerahkan cucunya itu pada asuhan Abu
Thalib, saudara kandung Abdullah, ayah Nabi Muhammad saw.

Setelah
beberapa waktu, ternyata benar Nabi Muhammad kembali dirundung kesedihan dengan
ditinggal wafat oleh kakeknya, sebagaimana yang pernah dialaminya ketika
ditinggal wafat ibunya. Setelah itu, sebagaimana rencana Abdul Muthallib, Muhammad
kecil diasuh oleh pamannya, Abu Thalib.

Syekh
Said Ramadhan al-Buthi dalam kitab Fiqhus Sirah Nabawiyah, menceritakan ihwal
Nabi Muhammad setelah ditinggal wafat oleh kakeknya, tepatnya ketika berumur
genap 12 tahun, Abu Thalib melakukan perjalanan ke negeri Syam untuk berdagang bersama
kafilah dagang Quraisy. Dia pun mengajak Muhammad kecil untuk ikut serta dalam
perjalanan panjang itu. Dalam perjalanan ini pula, Muhammad kecil bertemu
dengan pendeta Yahudi yang bernama Buhaira, hanya saja penulis akan lebih fokus
membahas beberapa hikmah dari perjalanan usaha dagang Rasulullah.

Rasulullah
mengisi usia mudanya dengan giat mencari rezeki dan juga menggembalakan
kambing. Kelak, Rasulullah saw bercerita tentang masa mudanya,
“Dahulu aku menggembalakan kambing dengan
upah beberapa qirath untuk penduduk Makkah.”
Allah
pun menjaga beliau dari semua jenis permainan dan kesia-siaan yang dapat
menyimpangkan anak-anak dan para pemuda.

Rasulullah
saw menuturkan:
“Aku tidak pernah tergoda melakukan apa
yang dilakukan orang-orang di masa jahiliah, kecuali dua kali. Allah menjagaku
dari semua perbuatan mereka. Setelah itu, aku tidak pernah menginginkannya lagi
hingga Allah memuliakanku dengan kerasulan. Pada suatu malam aku berkata kepada
anak yang menggembala bersamaku di dataran tinggi Makkah, ‘Bersediakah engkau
jika untuk malam ini kau mengawasi kambing-kambingku sehingga aku bisa ke
Makkah dan begadang seperti yang dilakukan para pemuda lain?’ Temannya itu
menjawab, ‘Baiklah, aku akan melakukannya.’ Maka, aku pergi hingga ketika mencapai
rumah pertama di Makkah, aku mendengar nyanyian. Aku bertanya, ‘Suara apa itu?’
Orang-orang menjawab, ‘Ada pengantin.’ Aku pun duduk untuk mendengar, lantas
Allah menutup kedua telingaku sehingga aku tertidur lelap. Aku terbangun di
pagi hari karena paparan sinar matahari. Aku pun bergegas ke padang
penggembalaan menemui temanku. Dia menanyakan apa yang kulakukan dan aku
menjawabnya. Pada malam berikutnya aku mengatakan hal yang sama kepadanya dan
kemudian pergi ke Makkah. Namun, aku kembali tertidur seperti di malam
sebelumnya. Setelah itu, aku tidak pernah mendambakan suatu keburukan lagi.”
(Syekh Said Ramadhan al-Buthi, Fiqhus
Sirah Nabawiyah, [Beirut: Dar al-Fikr 2020], h. 63)

Syekh
al-Buthi mengatakan, bahwa ada tiga hikmah penting terkait dengan aktivitas
Nabi Muhammad saw menggembala kambing dan mencari rezeki.

Pertama, melalui aktivitas
itu Nabi Saw. memiliki kepekaan dan kepedulian sosial yang tinggi. Meskipun
pamannya sangat mencintai beliau dan menjaganya sepenuh hati bagaikan kepada
anaknya sendiri, Rasulullah saw tidak mau berpangku tangan dan berdiam diri. Beliau
sejak kecil telah belajar mencari nafkah dan bekerja keras guna meringankan
beban pamannya. Mungkin saja manfaat atau hasil dari pekerjaan yang dipilihkan
Allah Swt. bagi beliau ini hanya sedikit dan tidak berarti bagi Abu Thalib.
Namun, itu mencerminkan akhlak luhur yang merupakan wujud ungkapan terima kasih
sekaligus mencerminkan watak seorang pemuda yang rajin, gigih, cerdas, dan
berbakti.

Kedua, aktivitas itu
mengandung rambu-rambu mengenai model kehidupan yang diridhai Allah swt bagi
hamba-Nya yang saleh di dunia. Sungguh mudah bagi Allah Yang Mahakuasa untuk
menyediakan berbagai sarana hidup dan kenyamanan bagi Muhammad sejak masih kecil
sehingga beliau tidak perlu bekerja keras atau menggembalakan kambing untuk
memenuhi nafkah hidup dan keluarganya. Namun, dengan kebijaksanaan Ilahi itu,
kita mengetahui bahwa harta benda terbaik yang dimiliki seseorang adalah yang
dia upayakan dengan kerja keras tangannya sendiri, dan dengan melayani
masyarakat serta kaumnya sendiri. Sementara harta benda yang terburuk adalah
yang didapatkan dari hasil keringat orang lain, diperoleh dengan berleha-leha, tanpa
berusah-payah sedikit pun dan tidak memberi manfaat bagi masyarakat.

Ketiga, juru dakwah siapa pun
tidak akan bisa mengembangkan dakwahnya di tengah manusia jika nafkahnya
diperoleh dari dakwahnya itu atau mengandalkan pemberian dan sedekah orang lain.
Maka, para juru dakwah Islam sudah semestinya bekerja keras mencari nafkah untuk
memenuhi kebutuhan dirinya dan keluarganya, tidak memintaminta dan mengandalkan
pemberian orang lain. Dengan begitu, dia tidak berutang budi kepada siapa pun
dalam urusan dunianya. Jika dia bersandar pada orang lain, dia tidak akan bisa
menyampaikan dakwah dan nasihatnya secara independen dan secara terus-terang
kepada mereka tanpa memedulikan apa pun reaksi mereka.

Oleh
karena itu, Rasulullah saw telah dididik sejak kecil untuk mencari nafkah,
bekerja, membantu pamannya memenuhi kebutuhan dirinya dan keluarga. Rasulullah
melakukan semua itu tanpa mengetahui atau menduga bahwa beliau kelak akan
mengemban tugas yang sangat berat dan agung, menyampaikan risalah Ilahi kepada
seluruh umat manusia. Itulah pendidikan yang disiapkan Allah swt baginya. Bukan
tanpa alasan, bahkan sangat beralasan, sebagaimana yang dijelaskan oleh Syekh
al-Buthi dalam kitabnya
 

ويوضح أن الله تعالى قد أراد أن لا يكون في شيء من
حياة الرسول قبل البعثة ما يعرقل سبيل دعوته أو يؤثر عليها أي تأثير سلبي فيما بعد
البعثة

“(Semua
ini) menjelaskan betapa Allah swt menghendaki agar kehidupan Nabi Muhammad saw
sebelum diutus sebagai Nabi tidak mengandung sedikit pun hal yang bisa menganggu
jalan dakwahnya atau berdampak negatif terhadap keberlangsungan dakwahnya.” (
al-Buthi, Fiqhus Sirah Nabawiyah,
2020: 64)

Kontributor

  • Sunnatullah

    Pegiat Bahtsul Masail dan Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Bangkalan Madura.