“Wahai
manusia sesungguhnya Kami menciptakan kamu sekalian dari seorang pria dan
seorang wanita dan kami menjadikan kamu berbagai bangsa dan suku, agar kamu
saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di
sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa”. (Q.S. al-Hujurat, 13).
Kita
semua adalah saudara. Kita semua adalah manusia yang diciptakan Allah swt,
bersuku-suku, berbangsa-bangsa, untuk saling mengenal. Kemuliaan manusia bukan
karena ras dan kebangsaannya, namun terletak pada seberapa banyak melakukan
kebajikan (ketakwaan). Sebagaimana Firman Allah dalam ayat di atas, sangat
jelas meletakkan dasar kehidupan kemanusiaan dalam bingkai kesetaraan. Manusia
diperintah untuk berlomba-lomba di dalam kebaikan dan ketakwaan. “Dan bagi
tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka
berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti
Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah
Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. al-Baqarah, 148).
Perlombaan
dalam kebajikan inilah yang senantisa dipraktikan oleh Rasulullah Muhammad saw.
Rasulullah saw dalam praktik hidup tidak pernah membedakan Muslim dan
Nonmuslim. Rasulullah saw selalu meletakkan dalam konteks kemanusiaan utama.
Artinya, Rasulullah saw membangun kehidupan yang beradab tanpa membedakan dia
menganut agama apa.
Hal
tersebut selaras dalam keagungan beliau sebagai seorang Rasul yang diutus untuk
menyempurkan akhlak. Akhlak beliau menjadi cerminan kehidupan kemanusiaan yang
adil dan beradab. Beliau tidak membedakan manusia berdasarkan agama. Bahkan
Muhammad saw memandang semua sama. Semua adalah manusia yang mempunyai hak
hidup. Rasulullah saw menolak untuk mengutuk seseorang yang dibenci. Beliau
adalah pribadi yang mulia, yang mampu menahan emosi dan senantisa menebarkan
rahmat bagi semua. Rasulullah saw bersabda, sesungguhnya Allah mengutusku
bukan sebagai penghujat atau pelaknat tapi sesungguhnya aku diutus sebagai
orang yang menebar rahmat (HR. Muslim).
Hadis
di atas menjelaskan bahwa setiap muslim selayaknya menjadi juru damai bagai
semua. Setiap muslim mempunyai tugas kemanusiaan menebarkan rahmat bagi semua.
Rahmat itu dapat berupa perkataan yang baik. Setiap muslim dilarang menjadi
penghujat. Menghujat orang lain menciderai kemanusiaan. Menghujat orang lain
tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Bisa jadi dari hujatan itu akan muncul
permusuhan yang lebih besar. Oleh karena itu, setiap muslim perlu menahan diri
untuk tidak menghujat. Menahan diri itu merupakan proses menyelamatkan
kehidupan dari kerusakan yang lebih besar.
Menebarkan
rahmat bagi semua pun menjadikan kehidupan mempunyai nilai. Artinya, kehidupan
akan jauh dari kebencian dan permusuhan. Dua hal inilah yang akan merusak sendi
kehidupan. Kebencian akan menimbulkan prasangka buruk. Prasangka buruk hanya
akan mendatangkan penyabit bagi diri sendiri dan orang lain. Sedangkan
permusuhan akan menimbulkan tindakan anarkis (main hakim sendiri, baik dalam
bentuk yang lunak hingga yang ekstrim seperti membunuh). Membunuh merupakan
perilaku buruk manusia. Membunuh satu manusia berarti sama dengan membunuh
seluruh kehidupan ini, dan sebaliknya, menyematkan satu kehidupan berarti
menumbuhkan kehidupan.
Allah
swt berfirman dalam Surat al-Maidah (Q.S. 5:32). “Oleh karena
itu kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa barang siapa yang membunuh
seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan
karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh
manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia,
maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan
sesungguhnya telah datang kepada mereka Rasul-rasul kami dengan (membawa)
keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak di antara mereka sesudah itu
sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi”.
Mewujudkan Ketakwaan dalam Laku
Mari
meledani Rasulullah Muhammad saw dalam praktik kehidupan. Beliau telah
mewariskan sikap baik kepada siapa saja. Bahkan saat beliau khutbah wada’
beliau kembali menegaskan bahwa kemuliaan manusia itu terletak pada
ketakwaannya.
“Wahai
manusia, ingatlah, sesungguhnya Tuhanmu adalah satu, dan nenek moyangmu juga
satu. Tidak ada kelebihan bangsa Arab terhadap bangsa lain. Tidak ada kelebihan
bangsa lain terhadap bangsa Arab. Tidak ada kelebihan orang yang berkulit merah
terhadap orang yang berkulit hitam. Tidak ada kelebihan orang yang berkulit
hitam terhadap yang berkulit merah. Kecuali dengan takwanya..” (HR. Ahmad, al-Baihaqi, dan al-Haitami).
Ketakwaan
menjadi sumbu penting dalam kehidupan. Bagaimana mewujudkan ketakwaan dalam
laku kehidupan ini? Salah satunya sebagaimana praktik hidup Rasulullah saw
adalah tidak membedakan agama dalam relasi kemanusiaan yang beradab. Rasulullah
saw mencontohkan hidup baik dengan cara menghormati orang lain dengan cara
beradab. Suatu ketika ada jenazah yang diangkat dan berjalan menuju liang
kubur. Saat itu Rasulullah saw sedang duduk bersama sahabat. Melihat ada
jenazah itu Rasulullah saw kemudian berdiri dengan rasa penuh hormat.
Sahabatkan pun kemudian “menegur” Rasulullah saw. “Ya Rasul, itu adalah jenazah
seorang Yahudi”. Rasulullah saw menjawab dengan singkat “bukankah ia juga
manusia?”.
Praktik
baik Rasulullah saw itu menjadi teladan bahwa kehidupan kemanusiaan yang mulia
adalah dalam membangun relasi dengan sesama. Rasululllah saw tidak pernah
membedakan itu. Rasulullah saw menghormati siapa saja, termasuk umat Yahudi dan
Nasrani.
Kemanusiaan
perlu dibangun atas dasar saling menghormati satu sama lain. Tanpa hal itu,
kemanusiaan hanya akan dikotori oleh perilaku buruk yang memungkinkan manusia
tercerai-berai. Retaknya hubungan sosial seringkali dilatarbelakangi oleh ketidakmampuan
melihat dan menyikapi perbedaan-perbedaan. Bukankah perbedaan itu adalah
sunnatullah? Mengapa kita seringkali meributkan hal itu? Bukankah kita
selayaknya menjadikan perbedaan itu sebagai sebuah cara kita saling mengenal
dan bekerjasama? Perbedaan bukanlah halangan bagi manusia untuk saling mengenal
dan bekerjasama. Bahkan dengan perbedaan itu, manusia dapat saling menguatkan
dan membangun hubungan sinergis-harmonis (unity in diversity).
Pada
akhirnya, mari mewujudkan hidup baik dengan meledani kehidupan Rasulullah saw.
Rasulullah saw telah memberikan teladan yang dipandu dari Wahyu Allah.
Menjadikan Rasulullah saw sebagai kiblat dalam hubungan baik sesama manusia
dapat menyelamatkan manusia dari kehancuran. Sebaliknya mengingkari–untuk
tidak menyebut menolak–praktik baik Muhammad saw hanya akan mempercepat laju
kehancuran kemanusiaan dan dunia fana ini.
Rasulullah
saw telah mengajarkan dan mempraktikan kehidupan harmonis dalam relasai
antaragama dan bangsa. Rasulullah saw mendobrak dan menghancurkan sekat primordialisme
dengan berdiri tegak di atas kemanusiaan mulia. Rasulullah saw telah meletakkan
dasar kehidupan harmonis tanpa sekat suku, agama, ras, dan antargolongan
(SARA). Sudah selayaknya sebagai ummat Muhammad saw, kita meneladaninya dan
menjadikan kehidupan berwarna dengan saling berkontribusi dan berkolaborasi
mewujudkan tata kehidupan penuh makna. Semoga kita dapat meneladani perilaku
Rasulullah saw ini, dan kita mendapatkan syafaatnya di dunia dan di akhirat
kelak. []