Mimbar menjadi media penting dalam dakwah
Nabi di Madinah. Mimbar juga berperan sebagai sarana andalan Nabi dalam mendidik
para sahabat. Tidak mengherankan jika mimbar termasuk bagian dakwah Islam yang mudah
dijumpai. Namun sayangnya, mimbar jarang disinggung, terutama dalam hadits
Nabi.
Peran penting mimbar seakan
terlupakan pada saat Nabi dan sahabat masih hidup. Sebab problem yang dihadapi
Nabi dengan para sahabat lebih terfokus pada substansi dakwah Islam. Setelah
beberapa dekade, barulah beberapa tabi’in mulai mempertanyakan akan eksistensi
mimbar.
Abu Hazim bin Dinar (w. 140 H),
salah seorang tabi’in meriwayatkan, bahwa ada beberapa orang mendatangi Sahal
bin Sa’ad Al-Sa’idy (w. 88 H). Ia termasuk sahabat yang panjang umur sehingga
banyak tabi’in yang bertanya kepadanya tentang mimbar Rasulullah.
Awalnya mereka mempertanyakan dari kayu
apa mimbar
Rasulullah dibuat. Karena mereka terus menanyakan dan memperdebatkan hal
tersebut, Sahal lantas berkata: “Demi Allah, sungguh aku tahu, dari kayu
apakah mimbar itu dibuat. Aku melihat hari pertama mimbar itu diletakkan
dan aku juga menyaksikan hari pertama Rasulullah duduk di atasnya.”
Sebelum memberikan jawaban konkrit, Sahal
menceritakan kronologi keberadaan mimbar tersebut: Saat itu, Rasululah mengutus
seorang (sahabat) untuk menemui wanita dari sahabati Anshar. Ia bernama
Alatsah. Sahabat tadi menyampaikan perintah Nabi: “Perintahkanlah budakmu si
tukang kayu itu untuk membuatkanku mimbar dari kayu yang aku pakai untuk duduk
di atasnya dan untuk berbicara di hadapan manusia.” Dari periwayatan
Al-Thabrani, nama budak tersebut adalah Ibrahim.
Wanita itu lantas memerintah
Ibrahim. Ia pun melaksanakan perintah majikannya. Sahal melanjutkan ceritanya:
“Ia mengerjakan mimbar itu dengan mengambil kayu tharfa’ dari hutan.” Mimbar Rasulullah tersebut dibuat
dari kayu tharfa’ yakni kayu yang paling bagus dan bentuknya panjang yang
berasal dari dalam hutan.
Dari hadits ini, terjawablah perselisihan
yang terjadi antara para tabi’in tentang bahan baku mimbar Rasulullah.
Ibrahim membuat mimbar tersebut
dalam 3 undak-undakan (tangga) pada tahun 8 Hijriah. Pada masa
kekhalifahan dinasti Umayyah, khalifah Marwan bin Muhammad (w. 132 H) –khalifah
terakhir– menambah tangganya menjadi 6 tingkat agar dapat melihat jamaah
yang jumlahnya lebih besar. Dalam perjalanan sejarahnya, terjadi perubahan
bentuk mimbar yang silih berganti, baik di masjid Nabawi maupun di Masjidil
Haram.
Fungsi Mimbar dalam Dakwah Islam
Sebagai umat Islam, hal yang
terlintas pertama kali dalam fikiran kita terkait fungsi mimbar pasti sebagai
tempat berdirinya khatib. Gambaran tersebut wajar karena perintah Rasulullah
kepada Alatsah sangat jelas; “Perintahkanlah budakmu si tukang kayu itu
untuk membuatkanku mimbar dari kayu yang aku pakai untuk duduk di atasnya dan
untuk berbicara di hadapan manusia.”
Secara mufakat, fungsi utama mimbar memang
sebagai tempat berdiri khatib. Selain itu, duduk yang merupakan aktifitas lain dalam
khutbah juga turut Rasulullah sebutkan. Sebab duduk merupakan syarat yang harus
dilaksanakan di antara kedua khutbah. Sejatinya mimbar Rasulullah saat itu sudah
bisa difungsikan sebagai tempat berdiri dan duduknya khatib sebagaimana
mimbar-mimbar sekarang.
Dalam prakteknya, posisi berdiri
merupakan posisi yang paling nyaman dalam menyampaikan dakwah. Rasulullah
merasakan hal yang sama. Sebab posisi lebih tinggi akan terasa berbeda dengan
posisi sejajar, terutama bagi jamaahnya.
Dengan letak Rasulullah yang lebih
tinggi dibanding jamaahnya, mereka bisa melihat Rasulullah dengan langsung
sembari mendengar sabda-sabdanya. Hal ini mengindikasikan beda posisi khatib yang
lebih tinggi memberikan efek nyaman tersendiri kepada para jamaah.
Di samping itu, mimbar juga
berfungsi untuk pengajaran shalat. Dalam lanjutan riwayat Abu Hazim, Sahal bin
Sa’ad melihat Rasulullah shalat dan bertakbir di atas mimbar yang dipesan
kepada Ibrahim, budak dari Alatsah. Rasulullah melengkapi shalatnya di atas
mimbar di tangga tertinggi. Namun pada saat sujud, Rasulullah turun dari mimbar
sembari mundur ke belakang kemudian kembali lagi.
Hal ini dilakukan karena mimbarnya
berukuran sempit yang tidak mungkin digunakan untuk bersujud di atasnya. Hadits
ini menunjukkan kebolehan melangkah bagi orang yang sedang shalat, baik itu
satu/dua/tiga langkah karena ada kepentingan di dalam shalat.
Setelah selesai shalat, Rasulullah
menghadap jamaahnya dan bersabda: “Wahai manusia! Sesungguhnya aku melakukan
ini agar kalian mengikuti aku dan mempelajari shalatku.”
Melalui hadits ini, kita bisa ambil
pelajaran bahwa Nabi pernah mengajari shalat kepada para sahabat lewat
ketinggian mimbar. Hal tersebut dilakukan Nabi karena jumlah sahabat semakin membludak,
terutama di akhir hayat beliau. Harapannya para sahabat dapat menyaksikan
shalat Nabi secara langsung sehingga mereka mampu mencontohnya.
Dengan demikian, mimbar merupakan
sarana untuk menyampaikan dakwah dan demonstasi shalat. Keberadaannya tetap
akan dibutuhkan layaknya meja dan kursi dalam ranah pendidikan formal. Walaupun
sekarang ini, pengajaran tentang Islam secara verbal berbanding sama melalui
media sosial. Namun mimbar tidak akan pernah tergantikan. Sebab mimbar menjadi
salah satu sarana dakwah yang langsung digunakan oleh baginda Rasulullah dan
menjadi bagian dari haditsnya. Wallâhu a’lam.