Imam Abu Hanifah punya tiga murid utama: Abu Yusuf, Abu Zufar Bin Hudzail, dan Muhammad Hasan Syaibani.
Abu Yusuf ketika kecil bukanlah dari keluarga berada. Ketika disuruh bapaknya bekerja, dia melipir mampir ke majelis Abu Hanifah, lalu menyukai fikih.
Suatu ketika setelah selesai majelis Abu Hanifah, ayahnya Tanya, “Kamu dari mana?”
“Dari majelis Abu Hanifah”
“Kamu jangan lagi ke sana,” kata ayahnya, “Abu Hanifah kaya, berkecukupan, sedangkan kita makan saja susah, kamu harus kerja.”
Abu Yusuf pun mulai jarang ke majelis Abu Hanifah. Hal itu ternyata diperhatikan oleh Imam Abu Hanifah. Ketika bertemu Abu Yusuf, beliau bertanya, “Kamu kenapa tidak kelihatan lagi di majelis?”
“Saya harus kerja, Syekh,” jawab Abu Yusuf, “Keadaan saya tidak memungkinkan hadir majelis.”
“Berapa pendapatanmu sehari? Saya akan memberimu lebih besar, hadirlah di majelis ilmu,” Lalu Imam Abu Hanifah memberinya 100 dirham. Setiap Abu Yusuf kehabisan uang, beliau selalu memberikan 100 dirham, tanpa bertanya apakah uang Abu Yusuf sudah habis.
Ketika ayahnya meninggal, ibunya meminta Abu Yusuf untuk bekerja, lalu Abu Hanifah bilang, “Jangan halangi Abu Yusuf dari majelis, nanti saya yang menanggung kebutuhannya. Saya melihat Abu Yusuf makan falujaj bil fustuq (kue paling mewah zaman itu).”
Imam Abu Hanifah tak mempunyai kerabat. Ketika hendak meninggal beliau memanggil murid-muridnya lalu membagikan hartanya, semua dapat kecuali Abu Yusuf. Melihat wajah sedih Abu Yusuf, Imam Abu Hanifah memanggil dan berbisik,
إن للخفاش مني كمني الرجل
“Kelelawar punya mani sebagaimana maninya laki-laki.”
Abu Yusuf heran, teman-temannya dapat harta dan ia hanya dapat ‘wasiat’ kelelawar. Apa perlunya kelelawar? Tapi karena adab dengan guru beliau ridha terhadap bagiannya.
Imam Abu Hanifah meninggal, dan Abu Yusuf semakin terkenal dengan kealimannya. lalu menjadi Qadhi (hakim negara), ketika diundang khalifah untuk makan, dihidangkanlah kue dan manis-manisan.
Abu Yusuf bertanya kepada khalifah, “Apa nama makanan ini?”
“Falujaj bil Fustuq,” ujar Khalifah.
Abu Yusuf pun tertawa.
Khalifah bertanya, kenapa Abu Yusuf tertawa. Karena khalifah memaksa akhirnya Abu Yusuf bercerita.
Abu Yusuf langsung tertawa, terngiang perkataan gurunya Imam Abu Hanifah kepada ibunya ketika kecil, “Saya melihat Abu Yusuf makan Falujaj bil Fustuq”.
***
Suatu ketika kerajaan geger. Khalifah menemukan cairan aneh di ranjang istrinya, Zubaidah, semua dokter sepakat itu adalah air mani. Khalifah sangat marah. Tapi khalifah juga sangat mencintai istrinya dan ia bersumpah tidak berzina. Semua orang sepakat hanya Abu Yusuf yang dapat memecahkan masalah ini.
Ketika sampai ke istana, Abu Yusuf bilang, bongkarlah atap kamar permaisuri. ketika dibongkar ternyata ada beberapa kelalawar di sana. Lalu Abu Yusuf bilang, “Guru saya Abu Hanifah berkata, ‘Kelalawar punya mani seperti mani laki-laki.’”
Khalifah tertawa. Permaisuri yang mendengarkan dari balik dinding sangat senang. Akhirnya Abu Yusuf diberi hadiah yang melimpah.
Lihatlah perhatian Abu Hanifah kepada muridnya! Ketika murid memerlukan harta, beliau infakkan hartanya. Ketika murid memerlukan ilmu, beliau wasiatkan ilmunya.
Mendengar cerita ini Khalifah mengomentari, “Sungguh ilmu bermanfaat di dunia dan di akhirat. Rahimallah Aba Hanifah (semoga Allah merahmati Abu Hanifah).”
***
Imam Syafi’i punya murid Rabi’ bin Sulaiman. Rabi’ merupakan sosok yang ‘lambat’ dalam memahami pelajaran. Hingga Imam Syafi’i dalam satu masalah harus mengulangi 40 kali, namun Rabi belum juga faham. Lalu Rabi’ pergi dari majelis karena malu.
Imam Syafi’i mendatanginya diam-diam, memanggil Rabi untuk mengulangi pelajaran hingga paham. Kemudian Imam Syafi’i berkata, “Wahai Rabi’ seandainya aku mampu untuk menyuapkan ilmu ke mulutmu, maka akan aku lakukan.”
Karena perhatian ini, Rabi’ menjadi Imam Mazhab setelah Imam Syafi’i.