Imam Syafi’i pernah tidak bisa tidur malam karena tidak memahami satu kata dalam al-Quran. Kata itu adalah kata دساها dalam surah as-Syams.
Imam Syafi’i kemudian minta izin dari majlis Imam Malik untuk mencari makna kata tersebut. Beliau pergi ke pedalaman Arab Badui yang dihuni suku Hudzail. Setelah seharian bertanya dan mencari ternyata qabilah Hudzail juga tidak tahu makna دساها.
Lalu Imam Syafi’i mencari orang yang paling banyak mengetahui tentang lahjat Arab, yaitu Sulaiman Ibn Muqatil murid dari Imam Jakfar as-Shadiq.
Imam Jakfar ash-Shadiq adalah orang yang paling alim dialek Arab. Selain ahli fikih dan hadis, beliau juga menguasai kimia, kedokteran falak dll. Ibnu Muqatil adalah murid paling dekat Imam Jakfar.
Lalu terjawablah makna kalimat دساها yang ternyata bahasa Sudan yang bermakna أغواها.
Baca juga: Deretan Ulama yang Membakar dan Mengubur Kitabnya Sendiri
Dari bertemu Ibnu Muqatil itulah Imam Syafi’i mengetahui luasnya ilmu Imam Jakfar, dan beliau termotivasi untuk mempelajari thib (kedokteran) dan firasat. Belajar al-Quran dan hadits untuk memahami agama, ilmu kedokteran untuk memahami badan, dan ilmu firasat untuk memahami sifat manusia, sangat menolong dalam berinteraksi.
***
Ibnu Jinni muda sudah punya majelis di kota Mosul. Suatu ketika ada orang yang bertanya di majelisnya tentang permasalahan dalam ilmu Sharaf tentang mengganti huruf waw menjadi alif.
Ibnu Jinni tak mampu menjawab. Lalu orang yang bertanya itu mengatakan:
تَزبّبْتَ و أنت حِصْرِم.
Zabib adalah anggur tua yang sudah kering yang kita kenal dengan kismis, sedangkan hisrim adalah butir anggur. Kalimat ini adalah sindiran kepada Ibnu Jinni bahwa dia sudah menjadi kismis sebelum waktunya. Sudah mengajar ketika masih mulai belajar.
Baca juga: Kisah Para Ibu Hebat Pencetak Ulama
Ibnu Jinni bertanya siapa orang itu? Dijawab, dia adalah Abu Ali al-Farisi, orang paling alim dalam Ilmu Bahasa Arab setelah Sibawaih.
Lalu Ibnu Jinni belajar kepadanya selama 40 tahun hingga beliau menjadi Imam dalam Sharf dan Ilmul Lughah. Kitab beliau dalam Ilmu Sharf: al-Muluky, al-Munshif dan kitab fenomenal: al-Khasais, yang membuktikan keistemewaan Bahasa Arab.
***
Imam Sibawaih memulai perjalanan ilmunya dengan belajar Fikih dan Hadits.
Suatu ketika hadir di majelis Hammad bin Salamah, Sibawaih ditegur karena salah membaca hadits.
Baca juga: Muslihat Syekh Sya’rawi Supaya Gagal Masuk Al-Azhar
Kesalahan itu membuat Sibawaih bersumpah agar tidak ada lagi yang menyalahkannya dalam membaca, lalu ia pergi ke pedalaman Arab untuk mendalami bahasa Arab dan mengambil kaidah Nahwu dan Sharf langsung dari orang-orang Arab yang fasih lalu kaidah itu beliau tuliskan dalam karyanya yang fenomenal ‘al-Kitab’ sidratul muntaha dalam Nahwu. Sampai sekarang tidak ada seorang pun yang menyalahkan satu permasalahan dalam al-Kitab kecuali datang ulama setelahnya untuk membantah dan membenarkan Imam Sibawaih.
***
Boleh jadi kesalahan dan kelemahan kita, kalau disikapi dengan baik, diperjuangkan dengan sungguh-sungguh untuk memperbaiki, kelemahan itu akan menjadi kekuatan dan keunggulan.
Lihatlah Ibnu Jinni yang menjadi Imam dalam Sharaf karena tak mampu menjawab pertanyaan! Lihatlah Sibawaih yang menjadi Imam dalam Nahwu ‘berkat’ kesalahan i’rab dalam membaca hadits.
Lihatlah as-Syafii yang menguasai ilmu thib dan firasat ‘karena’ tidak paham satu kata dalam al-Quran.
Rahmat Allah maha luas, Allah akan membukakan untuk siapa saja dengan syarat selalu berusaha.
فتح الله علينا فتوح العارفين