Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Kisah

Deretan Ulama yang Membakar dan Mengubur Kitabnya Sendiri

Avatar photo
57
×

Deretan Ulama yang Membakar dan Mengubur Kitabnya Sendiri

Share this article

Ada banyak sekali khazanah dan kekayaan intelektual yang diwariskan oleh ulama terdahulu. Bahkan hingga kini hal tersebut menjadi sumbangsih besar yang masih bisa kita nikmati bersama. Tak terhitung jumlahnya, puluhan bahkan ratusan ribu buku dan karya telah mereka telurkan.

Namun di balik itu semua, ada beberapa kisah unik para ulama yang justru dengan sengaja memusnahkan hasil karyanya tersebut. hasil jerih payah intelektualnya itu mereka bakar, kubur begitu saja. Tentu terdapat berbagai alasan yang melatarbelakanginya. Bukan karena untuk menyembunyikan ilmu (Kitmanul ilmi) tentunya.

Ada yang dengan sengaja menyembunyikan eksistensi dirinya di balik karyanya tersebut, ada yang secara sadar melakukan itu sebagai upaya preventif penyelamatan pemahaman masyarakat dan lain sebagainya. Berikut penulis catat beberapa di antaranya:

  1. Karena kurang ikhlas

Muhammad al-Amin bin Muhammad al-Mukhtar asy-Syinqithi, salah seorang mufassir besar dari Mauritania, Afrika. Beliau adalah penulis dari Kitab tafsir Adhwâ’ al-Bayân.

Sebelum baligh beliau pernah menulis kitab kompilasi syair yang menerangkan tentang nasab-nasab dan kabilah orang Arab.

Baca juga: Ulama-ulama yang Menulis Kitab Spesial Untuk Sang Buah Hati

Untuk ukuran waktu itu, menulis kompilasi syair dalam umurnya yang masih bocah merupakan pencapaian yang luar biasa. Tidak sembarang orang bisa menulis syair atau puisi arab yang indah. Dibutuhkan kemampuan nahwu serta malakah atau kepekaan sastra ketika ingin menggubah syair dalam bahasa Arab.

Namun setelah ia mencapai umur baligh, beliau justru mengubur karangan tersebut. Alasan beliau mengubur semua hasil kerja intelektualnya adalah ada unsur lain ketika menulis kitab.

Beliau mengakui telah disusupi rasa gengsi dan ingin mengalahkan teman-teman sebayanya. Oleh sebab itu beliau memilih untuk mengubur semua karyanya, karena tidak benar-benar murni karena Allah semata.

Guru-gurunya sebenarnya sangat menyesalkan keputusan asy-Syinqithi. Seharusnya kalau urusan niat, menurut mereka masih bisa ditata ulang menjadi niat yang lebih tulus. Tanpa perlu harus mengorbankan salah satu karya penting yang pernah ia tulis.

  1. Takut Disalahgunakan Pihak Tak Bertanggung Jawab

Pemikiran orang selalu berubah. Hal tersebut juga dialami oleh Imam Sufyan Ats-Tsauri.

Sebagai salah seorang pakar hadis yang disegani kala itu, Sufyan Ats-Tsauri pernah begitu bersemangat dalam membukukan dan mengkodifikasikan hadis-hadis nabi. Namun di akhir-akhir, beliau menyesal tidak terlalu selektif dalam menulis hadis. Beliau menyadari banyak sekali hadis-hadis dhaif yang ia tulis dalam kitabnya.

Beliau akhirnya menyuruh beberapa muridnya untuk mengubur kitab-kitabnya yang banyak terkandung hadits dhaif. Ia khawatir hadis-hadis tersebut kelak menjadi fitnah. Apalagi jika hadis tersebut sampai pada orang yang salah, bukan tidak mungkin justru akan menjadi masalah di kemudian hari. Beliau sangat menyadari kesalahannya itu.

Ibnu Mulaqqin dalam Thabaqat al-Auliya’ mencatat penyesalan Sufyan ats-Tsauri:

حملني عليها شهوة الحديث

“Saya akui, dulu memang ketika menulis kitab tersebut didorong oleh besarnya ambisi saya akan hadis.”

Abu Kuraib (w. 248 H) berwasiat agar ketika ia wafat, beberapa kitabnya harus dikubur. Ubaidah As-Salmani salah satu tokoh fikih sentral masa tabi’in juga demikian. Dalam Taqyid al-Ilm Imam Khatib al-Baghdadi bercerita ketika Ubaidah as-Salmani hendak menemui ajalnya, ia mengumpulkan beberapa kitabnya. Lantas kemudian membasuhnya dengan air agar tulisannya luntur. Ia beralasan:

أخشى أن يليها أحدٌ بعدي فيضَعوها في غير مواضعها

“Saya takut, ketika buku ini dibawa oleh seseorang kemudian ia tidak mengaplikasikan sesuai isinya.”

Ulama lain yang juga pernah mengalami hal serupa juga banyak sekali. Bahkan Imam Adz-Dzahabi, dalam kompilasi biografi tokoh miliknya Siyar A’lam an-Nubala’ pun mengakui bahwa fenomena penguburan, pembakaran kitab oleh para ulama dengan alasan di atas sangat banyak sekali. Ia mengatakan:

 فعل هد بكتبه من الدفن والغسل والاحراق عدة من الحفاظ خوفا من أن يظفر بها المحدث قليل الدين فيغير فيها ويزيد فيها فينسب ذلك إلى الحفاظ

“Praktek mengubur, melunturkan, serta membakar kitab sudah banyak sekali dilakukan oleh para ulama. Mereka khawatir jika kitabnya akan dibawa oleh muhaddits yang tidak mempunyai integritas beragama yang baik. Mereka tidak segan akan mengubah dan menambah isinya kemudian menyandarkan hadis tersebut kepada para ahli hadits.”

  1. Untuk Menguji Keikhlasan

Untuk alasan yang satu ini mungkin kisahnya sudah masyhur di kalangan kita semua. Salah satu prinsip yang dengan teguh selalu menjadi pijakan para ulama dalam beribadah adalah memperhatikan unsur keikhlasan. Unsur ini juga sangat diperhatikan oleh para ulama ketika menulis sebuah kitab. Karena memang pada dasarnya menulis karya adalah salah satu manifestasi ibadah yang nyata

Para ulama tentu tidak mau jika karya mereka ternyata tercampur unsur-unsur yang menodai kesucian karyanya. Seperti pamer kehebatan, ajang saling adu gengsi dan kepintaran.

Mereka ingin karya itu murni karena Allah. Oleh sebab itu ada sebagian ulama yang secara sadar dan sengaja membuang kitabnya di lautan bebas. Mereka berdalih, jika memang mereka menulis itu ikhlas karena Allah. Tentu Allah akan menyelamatkan naskah tersebut dan memberi kemanfaatan yang lebih luas agar karya dan naskah itu dibaca oleh khalayak luas.

Di antara ulama yang pernah melakukan ini adalah Abu Abdillah Muhammad bin Muhammad bin Dawud ash-Shonhaji, atau yang lebih dikenal dengan Ibn Ajurum. Penulis dari kitab nahwu dasar yang sangat terkenal di pesantren: Matan Jurumiyyah.

Ketika selesai mengarang ini, beliau diriwayatkan justru melempar kitabnya ke laut. Sebagaimana ditulis oleh Imam Kafrawi dalam syarh Jurumiyyah:

اِنْ كَانَ خَالِصًا لِوَجْهِ اللهِ تَعَالَى فَلَا يَبْلُ  

Artinya, “Apabila (kitab ini) murni ikhlas semata karena Allah swt, maka (tentu) tidak akan basah.”

Benar saja, karena keikhlasannya dan tentu karena pertolongan Allah, kitab tersebut tidak basah sama sekali. Bahkan hingga saat ini justru kitab ini kemudian selalu membasahi dahaga ilmu para pencari ilmu di dunia.

Ulama lain yang juga melakukan hal serupa adalah Ibnu Ruslan penulis kitab Nadhom Zubad yang sangat masyhur itu. Usai menulis kitab tersebut, beliau membuangnya ke laut seraya berujar:

 “Ya Allah kalau kitab ini aku tulis dengan ikhlas karena-Mu maka munculkanlah ia kembali ke permukaan, sedangkan apabila tidak ikhlas, maka hilangkanlah!”

Baca juga: Karomah Ibnu Ruslan usai Menulis Nadzom az-Zubad

  1. Hijrah Menjadi Sufi

Beliau bernama lengkap Abu Sulaiman Daud bin Nashir Ath-Thaí. Beliau merupakan salah satu tokoh sufi yang begitu disegani. Ia juga salah satu pakar fikih pada masanya. Imam Abu Hanifah adalah salah satu teman dekatnya dalam diskusi ilmiah. Bahkan Abu Hanifah juga mengakui kapasitas keilmuan yang dimiliki oleh Dawud ath-Thai.

Ketika mulai bersentuhan dengan dunia tasawuf kemudian fokus menapak jalan suluk dalam mendekat kepada Allah, Dawud ath-Thai memilih meninggalkan semua atribut keilmuannya. Sekalipun saat itu di Kufah ia telah banyak dikenal masyarakat sebagai rujukan dalam bidang fikih.

Ibnu Katsir dalam Bidayah wa al-Nihâyah mengutip Sufyan bin Uyainah bercerita:

قال سفيان بن عيينة: ثم ترك داود الفقه، وأقبل على العبادة، ودفَن كتبه

 “Dawud ath-Thai meninggalkan karirnya sebagai ulama fikih, kemudian memfokuskan diri untuk beribadah. Lantas kitab-kitab miliknya pun dikubur di tanah.”

Dalam riwayat lain milik Ibnu Khalikan dalam Wafayat al-A’yan, semua kitab-kitabnya tidak ia kubur di tanah. Melainkan yang ia tenggelamkan semuanya di sungai Eufrat.

Kontributor

  • Ahmad Yazid Fathoni

    Santri, Pustakawan Perpustakaan Langitan, suka menggeluti naskah-naskah klasik.