Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Ibadah

Iktikaf: Niat, Tata Cara dan Keutamaannya yang Selaras Memerdekakan Budak

Avatar photo
24
×

Iktikaf: Niat, Tata Cara dan Keutamaannya yang Selaras Memerdekakan Budak

Share this article

Sering kita mendapati di beberapa masjid kampung di atas pintu masuk masjid tertulis kaligrafi:

نويت الإعتكاف سنة لله تعالى

“Aku berniat iktikaf sunnah karena Allah Ta’ala.”

Sebuah niat iktikaf yang mengingatkan setiap jamaah untuk tidak lupa melafalkannya baik secara lisan maupun di kalbunya.

Iktikaf merupakan sebuah ibadah khusus yaitu berdiam diri berniat ibadah Allah swt. Ia cukup mudah dan ringan dilakukan. Ia juga mempunyai faedah agung, sebagaimana Baginda Nabi Muhammad saw. bersabda:

من اعتكف في المسجد فواق ناقة فكأنما اعتق نسمة

“Sesiapa yang beriktikaf di masjid sepanjang masa satu perasan seseorang (kala memeras susu seekor unta saja) maka sesungguhnya ia seakan telah memerdekakan seorang budak.

Tata Cara Iktikaf

Mudah dan ringannya ibadah ini termaktub tentang bagaimana rukun yang dimilikinya. Syekh Muhammad Amin al-Kurdi dalam Tanwir al-Qulub memaparkan bahwa rukun iktikaf adalah: niat, ada di masjid (mushola) dan lebih utama lagi di Masjid Jami’ (yang digunakan untuk shalat Jum’at), dan berdiam barang sejenak.

Masa Iktikaf tak terbatas, yang setidaknya minimal masanya bagi Mazhab Syafi’i adalah sepanjang seseorang melafalkan kalimat سبحان الله. Seseorang akan dihukumi selesai iktikaf sesuai niatnya atau sebab dengan keluarnya seorang yang iktikaf dari masjid tanpa uzur, juga sebab murtad (na’udzubillah), mabuk, gila yang disengajakan sebab gila dan mabuknya tersebut. Begitu juga jimak, keluarnya mani yang membatalkan puasa, haid serta nifas.

Keutamaan Iktikaf ini akan terbilang lebih (sunnah muakkad) jika dilakukan pada bulan Ramadhan dengan niat mengikuti sunnah Baginda Nabi saw., tepatnya pada 10 hari akhirnya.

Keutamaan Iktikaf

Diceritakan dalam sirah Nabi saw. bahwa beliau senantiasa istiqamah beriktikaf di 10 hari akhir bulan Ramadhan dan tidak pernah sekalipun meninggalkannya sejak datang hijrah di Madinah hingga beliau wafat.

Bagi Imam Malik dan Imam Syafi’i, iktikaf dapat dilakukan di masjid manapun. Hal ini sebab merujuk pada QS. al-Baqarah [2] : 187 yang menunjukkan keumuman lafal masjid:

وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ ۗ

“(Tetapi) janganlah kamu gauli mereka (maksudnya: istri-istri kalian) itu, saat kalian sedang beriktikaf dalam masjid.”

Namun bagi Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hanbal, tempat yang sah digunakan sebagai tempat iktikaf adalah masjid yang biasa digunakan untuk shalat 5 waktu berjamaah plus digunakan untuk shalat Jum’at.

Iktikaf Menurut Empat Mazhab

Secara terperinci, Wahbah Zuhaili memaparkan dalam al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu: Ulama Hanafiyyah mengesahkan iktikaf yang dilakukan di tempat yang umumnya digunakan untuk shalat berjamaah, yang di situ dikumandangkan azan-iqamah walau bukan Masjid Jami’, hal ini sependapat dengan Ulama Syafiiyah. Sedang Ulama Malikiyyah berpendapat bahwa iktikaf hanya sah dilakukan di Masjid Jami’. Dan Ulama Hanbali berpendapat semua tempat yang biasa digunakan untuk shalat berjamaah dapat digunakan sebagai tempat iktikaf tapi kalau iktikaf wajib/nadzar maka hanya sah jika dilakukan di Masjid Jami’.

Maka, merujuk pada pendapat Imam Malik, Imam Syafi’i, mayoritas ulama Hanafiyyah, Syafi’iyah dan Hanbali: segala tempat yang umumnya digunakan untuk shalat itu boleh digunakan untuk iktikaf. Jadi mushola-mushola yang menyebar di dusun, desa dan bahkan tersedia di mall-mall itu dapat digunakan sebagai tempat iktikaf.

Bagi para wanita, menurut Imam Syafi’i dalam al-Umm diperkenankan iktikaf di rumah atau di manapun mereka ingin. Begitu juga para musafir dan budak:

وَالْمَرْأَةُ وَالْعَبْدُ وَالْمُسَافِرُ يَعْتَكِفُونَ حَيْثُ شَاءُوا؛ لِأَنَّهُمْ لَا جُمُعَةَ عَلَيْهِمْ

“Seorang wanita, budak dan seorang musafir dapat iktikaf di manapun mereka ingin, sebab mereka terbilang golongan yang tidak wajib shalat Jum’at”.

Sebagaimana juga ulama Hanafiyyah yang menyatakan sah bagi para wanita untuk iktikaf di mushola/tempat yang biasa mereka gunakan shalat di rumah. Bahkan makruh tanzih bagi para wanita iktikaf di Masjid. Namun bagi ulama Hanbali, setiap seseorang yang tidak wajib shalat Jum’at dibolehkan untuk iktikaf di masjid/tempat yang biasa digunakan shalat manapun, tapi bagi wanita tetap tidak sah iktikaf di masjid rumahnya sebab secara fisik dan hukumnya, mushola/masjid rumah bukanlah masjid.

Yang perlu diketahui bahwa tujuan dari iktikaf adalah taqarrub ila Allah (mendekatkan diri kepada Allah. Diamnya yang barang sejenak seorang yang iktikaf taqarrub ini mempunyai pahala sebesar memerdekakan budak. Apalagi saat iktikaf dilakukan, ia juga sambil shalat, puasa, membaca al-Quran, zikir, shalawat, bersedekah, mengkaji ilmu-ilmu syariah, atau melakukan hal baik lainnya. Tentu pahala yang didapat akan berlipat sebab iktikaf itu sendiri dan ibadah atau perbuatan baik yang membarenginya tadi. Wa Allah A’lam.

Kontributor

  • Bakhrul Huda

    Kord. Akademik Ma'had Jami'ah UINSA Surabaya dan Tim Aswaja Center Sidoarjo.