Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Kisah

Kisah Baqi bin Makhlad Belajar Hadits pada Ahmad bin Hanbal

Avatar photo
43
×

Kisah Baqi bin Makhlad Belajar Hadits pada Ahmad bin Hanbal

Share this article

Baqi bin Makhlad al-Andalusi mencontohkan kegigihan dan semangat dalam belajar. Perjuangannya belajar jadi kisah paling unik dan paling menakjubkan dalam menuntut ilmu.

Imam Baqi yang berasal Andalusia Spanyol itu melakukan perjalanan jauh ke timur (Bagdad) dengan berjalan kaki. Tujuannya bertemu dengan Imam Ahmad bin Hanbal.

Akan tetapi setibanya di Bagdad, ia mendapati guru yang ingin ditemuinya itu dikurung dan dilarang menemui orang.

Akhirnya dia membuat suatu siasat. Sebuah trik yang tidak akan pernah tergambar di otak manusia. Namun sejarah adalah ayah dari segala keajaiban dan keanehan.

Dia adalah al-Hafidz Abu Abdurrahman Baqi bin Makhlad al-Andalusi. Lahir pada tahun 201 H dan wafat pada 276 H.

Dia melancong ke Bagdad dalam usia belia, 20 tahun. Dia menceritakan pengalaman belajarnya sebagai berikut:

Ketika sudah mendekati Bagdad, sampai kepadaku kabar tentang cobaan yang menimpa Imam Ahmad bin Hanbal. Dilarang berkumpul atau bertatap muka dengannya.

Aku sangat bersedih karena kabar itu. Aku pun terus melanjutkan perjalanan hingga memasuki kota.

Segera aku menuju penginapan. Tidaklah aku mengunjungi tempat manapun setelah menaruh barang di penginpan kecuali langsung menuju masjid untuk mengikuti halaqah ilmu dan mendengar apa yang diajarkan disana.

Baca juga:

Kemudian aku terdorong mengikuti salah satu halaqah. Ada ulama di halaqah yang menyingkap keadaan ulama lainnya (ulama jarh wa ta’dil).

Duduklah aku di sana lalu aku berkata, “Siapa beliau?”

Orang di dekatku menjawab, “Beliau Yahya bin Mu’in.”

Aku melihat ada kesempatan untuk bisa duduk lebih dekat dengannya. Aku berdiri dan mengambil tempat lebih dekat.

Aku berkata, “Wahai Abu Zakaria, semoga Allah merahmatimu, aku adalah orang asing yang jauh dari rumah. Aku ingin bertanya, janganlah engkau menganggap ringan pertanyaanku ini.”

Beliau menyahut, “Katakanlah (soalmu)!”

Maka aku sebutkan beberapa orang yang aku temui dari ahli hadits.

Setelah menyampaikan pertanyaan, aku bertanya tentang Hisyam bin Umar, orang yang darinya aku banyak ambil hadits.

Beliau menjawab, “Abu al-Walid Hisyam bin Umar orang yang tekun shalat. Beliau orang Damaskus, Tsiqqah bahkan di atasnya lagi. Seandainya ada dosa besar di bawah pakaian beliau, atau misal beliau memikul dosa besar, tidaklah hal itu mencelakakan beliau, sebab besarnya kebaikan dan keutamaannya.”

Orang-orang di halaqah bersorak usai aku melontarkan pertanyaan. “Cukuplah bertanya! Semoga Allah merahmatimu, karena selainmu juga ingin bertanya,” kata mereka.

Tak menggubris mereka, sembari berdiri aku bertanya lagi, “Aku memintamu untuk mengungkap satu orang lagi, Ahmad bin Hanbal.”

Baca juga:

Beliau menatapku seakan takjub, kemudian berkata, “Orang seperti kita mengungkap sosok seperti Ahmad bin Hanbal?! Beliau imam kaum muslimin. Beliau yang terbaik dan paling mulia di antara mereka.”

Aku keluar dari halaqah sembari mencari jalan menuju rumah Sang Imam.

Sesampainya di sana, kuketuk pintu rumahnya. Imam Ahmad bin Hanbal membuka pintu. Beliau menatapku. Aku berkata, “Wahai Abu Abdullah, aku orang jauh dari rumah. Ini kali pertama aku memasuki negeri ini. Aku pelajar hadits dan pengumpulnya. Tidaklah aku bepergian kecuali hanya untuk menemuimu.”

“Masuklah kerumahku dan janganlah sampai ada sepasang mata pun yang melihatmu,” balas beliau.

“Darimana asalmu?” tanya beliau.

“Dari ujung barat.” Jawabku.

“Afrika ?” tebak beliau.

“Lebih jauh dari itu, Andalusia.” Jawabku.

Imam Ahmad bin Hanbal berkata, “Tempatmu sungguh jauh. Tidak ada hal yang paling aku senangi daripada membantu orang sepertimu dalam mendapatkan apa yang ia cari. Sayangnya kini aku sedang dalam keadaan diuji tentang sesuatu yang mungkin hal itu telah sampai kepadamu.”

“Iya, telah sampai kepadaku kabar tentangmu ketika aku telah dekat dengan negerimu.” sahutku.

Aku berkata lagi, “Wahai Abu Abdullah, ini pertama kali aku memasuki negeri ini. Aku bukan orang yang dikenali oleh penduduk. Jika engkau mengizinkanku datang menemuimu setiap hari dengan pakaian seorang pengemis dan bersikap selayaknya pengemis, lalu engkau keluar dari rumah ke tempat ini, kemudian engkau menyampaikan satu hadits saja dalam satu hari, cukuplah itu bagiku.”

Guru yang ingin ditemuinya itu menjawab, “Aku setuju. Dengan syarat kamu tidak boleh terlihat di halaqah manapun dan tidak juga terlihat bersama para ahli hadits.”

“Aku menyetujui syaratmu.” jawabku.

Baca juga:

Keesokan hari, kuambil tongkat dan kubawa bersamaku. Kututupi kepalaku dengan sobekan kain dan kusembunyikan kertas dan alat tulis di lengan baju.

Kemudian aku mendatangi pintu rumah Imam Ahmad sembari berteriak, “Tolong upahnya, wahai orang-orang yang dirahmati Allah!”

Itulah yang juga dilakukan para pengemis di sana kala itu. Imam Ahmad  keluar menemuiku dan memberiku dua-tiga hadits atau lebih, sampai terkumpul padaku kurang lebih sebanyak 300 hadits.

Kami berdua terus melakukan itu hingga Khalifah al-Makmun orang yang memberikan cobaan kepada Imam Ahmad meninggal dunia.

Setelahnya, umat Islam dipimpin khalifah berhaluan Ahlus sunnah. Sosok Imam Ahmad bin Hanbal terangkat lagi. Ramai orang menyebut namanya. Berbondong-bondong orang melakukan perjalanan jauh demi menimba ilmu kepadanya. Beliaulah orang yang paling mengetahui hakikat kesabaranku.

Sesudah itu, apabila aku menghadiri halaqah Imam Ahmad, beliau akan meluaskan tempat dan memberiku tempat duduk yang dekat dengannya. Lalu berucap kepada murid-muridnya para hhli hadits, “Seperti orang inilah yang disebut pencari ilmu.”

Beliau menceritakan kisahku kepada mereka.Kemudian memberikan sebuah hadits kepadaku, beliau membacakan kepadaku lalu kubacakan lagi kepadannya.

Hingga suatu saat, aku sakit sangat parah, seakan hampir mati. Aku tidak bisa ikut menghadiri halaqah. Ketika merasa tidak melihatku duduk belajar bersamanya, Imam Ahmad segera bertanya keadaanku. Diberitahukanlah kepadanya bahwa aku sakit. Beliau segera bangkit dari duduknya dan pergi menjengukku bersama para pengikutnya.

Aku terbaring di penginapan. Di bawahku terdapat bulu yang tebal, dan di atasku tertutup jubah. Buku kutaruh di atas kepalaku. Tiba-tiba penginapanku bergetar karena ramai penghuninya.

Aku mendengar mereka berkata, “Itu dia! Lihatlah ia! Imam kaum muslimin datang kemari!”

Pemilik penginapan mendatangiku dengan terburu-buru. Dia berkata, “Wahai Abu Abdurrahman, ini Abu Abdullah Ahmad bin Hanbal datang kemari untuk menjengukmu.”

Masuklah beliau ke kamarku, lalu duduk di dekat kepalaku. Rumah telah penuh dengan pengikut-pengikut beliau. Ruangan sudah tidak cukup sampai-sampai sebagian mereka berdiri di dalam rumah sembari memegang pulpen di tangan.

Imam Ahmad bin Hanbal berkata kepadaku, “Wahai Abu Abdurrahman bergembiralah dengan pahala dari Allah, di mana di hari-hari sehat tiadalah ada sakit di dalamnya, dan di hari-hari sakit tiadalah ada sehat di dalamnya. Semoga Allah memberikanmu kesehatan, dan memberimu usapan-Nya yang menyembuhkan.”

Aku melihat pena dari murid-muridnya tidak berhenti menulis apa yang sang Imam katakan.

Kemudian beliau keluar dari tempatku. Para penghuni penginapan berdatangan dan bersikap ramah kepadaku. Mereka melayaniku sembari mengharap balasan pahala. Ada yang datang membawakan kasur dan ada pula yang membawakan selimut. Ada juga yang datang membawa makanan-makanan lezat. Mereka mengurusku lebih baik daripada keluargaku sendiri usai aku dikunjungi seorang saleh.

Kisah Baqi bin Makhlad membuktikan besarnya tekad, semangat dan usaha ulama terdahulu dalam menuntut ilmu. Ujian berat tidak menyurutkan semangatnya. Dia berjalan kaki sejauh Andalusia-Bagdad, menyamar pengemis untuk mengambil satu-dua hadits dari Imam Ahmad bin Hanbal, hingga mendapat predikat istimewa dari sang guru. Wallahu khairu musta’an.

Kontributor

  • Ahmad Fauzan

    Asal dari Banjarmasin, alumni Pondok Modern Gontor, santri Rumah Syariah Mesir, sedang menyelesaikan studi S1 di Universitas Al-Azhar.