Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Kisah

Berkah Berkeluarga Orang Alim

Avatar photo
48
×

Berkah Berkeluarga Orang Alim

Share this article

Jika
ada penuntut ilmu yang keluarganya mendapatkan manfaat langsung dari ilmunya,
maka itulah tanda bahwa ilmunya berkah.

Dahulu,
ketika ada perempuan yang ingin bertanya sesuatu mengenai masalah agama, ia
tidak langsung bertanya kepada para masyaikh, tapi ia bertanya kepada istri
atau anak perempuan masyaikh tersebut.

Karena
dahulu biasanya para istri masyaikh belajar dari suaminya yang
sudah alim.

Dikisahkan
dahulu bahwa seorang faqih mazhab Syafi’i menikahi seorang anak perempuan dari
Imam Abu Ishaq Asy-Syairazi. Singkat cerita, suatu kali ada seorang yang
bertanya kepada faqih tadi. Kemudian beliau terus terang bahwa ia tidak tahu
jawabannya. Setelah itu, dari dalam kamar, istri faqih tadi mengetuk pintu,
memberikan sebuah isyarat memanggil suaminya.
Setelah
balik dari kamar istrinya, faqih tadi tersenyum dan mengatakan,

هذا بركة الزواج من بنات الأشياخ

“Ini
berkahnya nikah sama putri masyaikh
.

Ternyata
istri beliau memberitahu jawaban atas kasus tadi, mengutip kalam ayahnya
, Imam
Abu Ishaq
.

Saya
mendengar kisah di atas dari pengajian
Syeikh
Dr. Abdus Salam Syuwai’ir.

Ilmu yang
bermanfaat kepada keluarga sendiri ini adalah di antara tanda-tanda keberkahan
ilmu
. Bukan tanda yang harus ada, di sana ada tanda-tanda yang lain,
sehingga kita tidak bisa dengan sederhana menilai keberkahan ilmu seseorang
dengan hanya melihat perilaku anak istrinya.

Seorang
alim mungkin sudah berusaha mendidik dan mendoakan keluarganya, tapi perlu
diingat, hidayah tetap berada di genggaman Allah Swt.

Dalam
atsar disebutkan,

أزهد الناس في العالم أهله وجيرانه

Orang-orang yang paling merasa cukup dan tidak membutuhkan ilmunya orang alim adalah para keluarga dan
tetanggannya sendiri
.”

Sekarang,
masalahnya kembali ke orang-orang terdekat dari orang alim tersebut
. Biasanya karena sudah terlalu dekat dan berbaur dengannya, haibah
seorang alim tadi sedikit terkikis, sehingga mereka merasa biasa-biasa dengan
alim tersebut, dan ini membuat mereka kurang termotivasi untuk mengambil
mutiara ilmu dari alim itu, padahal orang-orang dari jauh siap datang untuk
belajar dengan alim tersebut
.
I
ni sudah menjadi tabiat
sebagian manusia.

القرب حجاب

“Kedekatan
itu terkadang menjadi hijab

(tabir penghalang)
.”

Karena
sudah sering melihat masjid Azhar, beberapa mahasiswa al-Azhar merasa
biasa-biasa saja ketika shalat dan hadir kajian di sana.
Saking
merasa biasa-biasa, sebagian hampir meninggalkan kajian di sana, padahal di
luar Mesir ada ribuan penuntut ilmu yang sangat berharap bisa menginjakkan kaki
dan hadir di kajian masjid
al-Azhar.

Begitu
juga perasaan orang yang tiap hari memandang Ka’bah (penduduk sekitar masjidil
Haram), adakalanya akan berbeda dengan orang yang sekali-kali melihat Ka’bah. Bahkan
banyak sekarang para tetangga Ka’bah yang hampir jarang sekali berjamaah di Masjidil
Haram, karena al-qurbu hijab, padahal di luar Makkah sana ada jutaan
orang yang sangat berharap bisa shalat jamaah di sana yang kata Nabi setara
seperti 1000 kali shalat di masjid yang lain. Semoga kedekatan ini tidak menjadi
hijab bagi kita.

Semoga
tidak terjadi,

أزهد الناس في علماء مصر أهلها

“Orang
yang paling tidak membutuhkan ulama Mesir adalah penduduknya sendiri.”

Kembali
ke awal, bahwa di antara bentuk berbakti kepada orang tua adalah dengan “mengajarkannya”
hal-hal yang penting dalam agama, doa-doa, dan amalan-amalan fadhilah yang
lain, tentunya dengan adab, sopan, dan lemah-lembut.
Begitu
juga ke keluarga yang lain.

Kontributor

  • Amru Hamdany

    Mahasiswa Fakultas Syariah Islamiyah, Universitas Al-Azhar Kairo Mesir. Asal dari Lombok, Nusa Tenggara Barat. Suka mengkaji fikih.