Ada
seorang ahli hadits naik sebuah perahu. Di dalam perahu itu ia bertemu seorang
Nasrani. Keduanya kemudian memutuskan untuk makan bersama.
Setelah
selesai makan, si Nasrani mengeluarkan wadah berisi minuman. Setelah
meminumnya, ia menawarkan minuman itu kepada si ahli hadits yang langsung
menerimanya tanpa sungkan.
Si
Nasrani itu berkata, “Ya ampun! Yang aku lakukan hanya menawarkan minuman
sebagaimana yang dilakukan orang-orang. Minuman yang kau teguk tadi adalah
khamar.”
Si
ahli hadits tadi bertanya, “Memangnya kamu tahu dari mana itu khamar?”
Si
Nasrani menjawab, “Budak milikku membelinya dari orang Yahudi, dan dia menyebut
bahwa minuman itu khamar.”
Mendengar
itu si ahli hadits buru-buru menghabiskan minuman tersebut dan berkata kepada
si Nasrani, “Heh dungu! Kami ini ahli hadits, yang biasa melemahkan (menganggap
dha’if) haditsnya Sufyan bin Uyainah dan Yazid bin Harun. Lantas kamu berharap kami percaya cerita yang
diriwayatkan seorang Nasrani, dari budaknya, dari orang Yahudi pula! Demi
Allah, saya meminumnya karena sanadnya dhaif. Itu saja!!”
Kisah di atas diambil dari kitab Hadaiq al-Azhar
karya Ibnu Ashim al-Gharnathi (w. 1426 M), seorang ulama besar dan ahli fikih
mazhab Maliki dari Granada, al-Andalus.
Ibnu
Ashim al-Gharnathi merupakan murid dari salah satu raksasa fikih tersohor di
al-Andalus, yaitu Abu Ishaq asy-Syathibi (w. 1388 M), penulis buku babon dalam
ilmu Ushul Fikih berjudul Kitab al-Muwafaqat fi Ushul al-Fiqh.