Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Rasionalisasi larangan mencela tuhan non-Muslim

Avatar photo
50
×

Rasionalisasi larangan mencela tuhan non-Muslim

Share this article

Ketika kita memiliki sesuatu, pasti kita akan bangga-banggakan. Dan tak jarang, saking bangganya atas yang dimiliki, lantas ia merendahkan atau melecehkan milik orang lain. Ini sudah lumrah, umumnya orang demikian adanya.

Konsep ini hampir merata dalam berbagai spektrum, tak terkecuali dalam ranah agama. Bahkan pada tataran yang paling prinsip, yaitu Tuhan. Artikel ini bertujuan untuk menumbuhkan sifat tenggang rasa dalam spektrum agama, supaya kita bisa hidup damai meski keberagaman menyelimuti mereka.

Dulunya, orang-orang Muslim melecehkan tuhan kafir Quraisy, bahkan Rasulullah Saw sendiri. Sampai-sampai kafir Quraisy geram, lalu mereka mengancam umat Islam bahwa mereka juga akan mencela tuhan mereka. Sehingga turunlah ayat 108 surat al-an’am, di mana Allah berfirman;

وَلَا تَسُبُّوا الَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ فَيَسُبُّوا اللّٰهَ عَدْوًاۢ بِغَيْرِ عِلْمٍۗ كَذٰلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ اُمَّةٍ عَمَلَهُمْۖ ثُمَّ اِلٰى رَبِّهِمْ مَّرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ

Artinya; Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan. Demikianlah, Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan tempat kembali mereka, lalu Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan.

Ketika menafsiri ayat ini, al-Hafidz Ibnu Katsir mengatakan;

يَقُولُ تَعَالَى نَاهِيًا لِرَسُولِهِ وَالْمُؤْمِنِينَ عَنْ سَبِّ آلِهَةِ الْمُشْرِكِينَ، وَإِنْ كَانَ فِيهِ مَصْلَحَةٌ، إِلَّا أَنَّهُ يَتَرَتَّبُ عَلَيْهِ مَفْسَدَةٌ أَعْظَمُ مِنْهَا، وَهِيَ مُقَابَلَةُ الْمُشْرِكِينَ بِسَبِّ إِلَهِ الْمُؤْمِنِينَ، وَهُوَ اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ. كَمَا قَالَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَلْحَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ فِي هَذِهِ الْآيَةِ: قَالُوا: يَا مُحَمَّدُ، لَتَنْتَهِيَنَّ عَنْ سَبِّكَ آلِهَتَنَا، أَوْ لَنَهْجُوَنَّ رَبَّكَ، فَنَهَاهُمُ اللَّهُ أَنْ يَسُبُّوا أَوْثَانَهُمْ.

Dalam ayat ini, Allah melarang Nabi Saw dan umatnya untuk mencela tuhannya non muslim, meskipun dalam mencelanya terdapat sebuah kemaslahatan. Sebab mencela tuhan mereka, berdampak pada pengolokan tuhan kita juga. Seperti halnya yang dikatakan oleh Ibnu Abbas, bahwa kafir Quraisy menyampaikan keberatan mereka atas pengolokan tuhannya. Jika tidak, niscaya mereka akan membalasnya. Sehingga, dari respon ini Allah melarang untuk mencela tuhan non muslim. (Tafsir al-quran al-adzim, PDF  6:108)

Sehingga, meski kita geram kepada mereka, kita tidak diperbolehkan mencela tuhan mereka. Dari kisah ini, muncul suatu metode hukum yang bernama sadd al-dzari’ah, yakni menutup potensi terjadinya sesuatu yang tidak diperbolehkan. Ini merupakan salah satu hujjah yang dipedomani oleh Madzhab Maliki, adapun Madzhab Syafi’i tidak memakainya.

Hanya saja, dalam literaturnya ada beberapa nomenklatur yang secara substansial sama dengan hujjah tersebut. Semisal dalam kitab fikih mereka ditemukan redaksi hasman li al-bab, tardan li al-bab, dan saddan li al-bab. Dan dalam kaidah fikih, ada sebuah adagium yang terkenal sekali. Yaitu menolak kerusakan lebih didahulukan dari pada mendatangkan kemaslahatan.

Sekilas terlihat membingungkan, katanya maslahat, namun dilarang untuk mencelanya. Kegalauan ini dijawab oleh Al-Zamakhsyari, beliau mengatakan;

فَإنْ قُلْتَ: سَبُّ الآلِهَةِ حَقٌّ وطاعَةٌ، فَكَيْفَ صَحَّ النَّهْيُ عَنْهُ، وإنَّما يَصِحُّ النَّهْيُ عَنِ المَعاصِي؟ قُلْتُ: رُبَّ طاعَةٍ عُلِمَ أنَّها تَكُونُ مَفْسَدَةً، فَتَخْرُجُ عَنْ أنْ تَكُونَ طاعَةً، فَيَجِبُ النَّهْيُ عَنْها لِأنَّها مَعْصِيَةٌ، لا لِأنَّها طاعَةٌ.

Padahal mengolok tuhan mereka lumrah, dan bernilai ketaatan. Namun mengapa ini dilarang, Bukankah larangan itu hanya untuk perbuatan maksiat, bukan pada sesuatu yang bernilai ketaatan? Karena harus anda pahami bahwa kadang kala suatu ketaatan bisa menjadi sebuah kerusakan, sehingga tiadalah taat dalam hal tersebut. Maka sama halnya dengan konteks ini, tentunya ini dilarang karena ada sebuah kemaksiatan (dicelanya Allah), bukan karena dilarang untuk taat.(Jarullah Al-Zamakhsyari, Al-Kasyyaf, PDF)

Bahkan, larangan ini dipertegas oleh Ibnu al-Faras, bahwa ketika ditakutkan adanya balasan ejekan dari non muslim, maka kita tidak diperbolehkan untuk mencela tuhan mereka. Ini merupakan tendensi dari konsep sadd al-Dzariah. (Imam al-Qasimi, Mahasin al-Tawil, PDF)

Imam al-Qurthubi juga dengan lugas menyatakan bahwa pelarangan ini masih berlaku, sehingga kita tidak diperbolehkan untuk mengolok apa-apa yang terkait dengan atribut keagamaan mereka. Semisal nama agama, tempat ibadah, logo keagamaan dan sebagainya. Dan bahkan kita tidak diperbolehkan melakukan sesuatu yang berpotensi membuat mereka mengejek kita, sebab ini dianggap sebagai pemantik kemaksiatan. (Al-Jami’ li ahkam al-quran, PDF)

Mungkin larangan ini sedikit menjanggal di kepala, kenapa kita dilarang untuk mencela tuhan non muslim. Agaknya kejanggalan ini akan terasionalisasi dengan kisah berikut;

جَاءَ فِي الصَّحِيحِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلم قال: “مَلْعُونٌ مِنْ سَبِّ وَالِدَيْهِ“. قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَكَيْفَ يَسُبُّ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ؟ قَالَ: “يَسُبُّ أَبَا الرَّجُلِ فَيَسُبُّ أَبَاهُ، وَيَسُبُّ أُمَّهُ فَيَسُبُّ أُمَّهُ“.

“Termasuk dosa besar adalah seseorang mencaci maki kedua orangtuanya.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah seseorang bisa mencaci maki kedua orangtuanya?” Rasulullah Saw menjawab, “Benar. Seseorang mencela bapak orang lain, lalu orang lain tersebut mencela bapaknya. Dan seseorang mencela ibu orang lain, lalu orang lain tersebut mencela ibunya.”

Jadi, anda milih mana. Sakit hati karena kepemilikan atau idola kita disakiti, dan dalam konteks ini adalah tuhan yang sebegitu sakralnya. Atau anda kuat dengan balasan celaan mereka pada kita. Dalam konteks orang tua saja, kita pastinya akan memilih menahan diri untuk tidak mencela, apalagi ini dalam ranah yang lebih besar dan sangat sakral. Terkait pesan dari ayat ini, Al-Razi mengatakan;

وفي الآيَةِ تَأْدِيبٌ لِمَن يَدْعُو إلى الدِّينِ؛ لِئَلّا يَتَشاغَلَ بِما لا فائِدَةَ لَهُ في المَطْلُوبِ؛ لِأنَّ وصْفَ الأوْثانِ بِأنَّها جَماداتٌ لا تَضُرُّ ولا تَنْفَعُ، يَكْفِي في القَدْحِ في إلَهِيَّتِها، فَلا حاجَةَ، مَعَ ذَلِكَ، إلى شَتْمِها.

Sesiapa yang hendak menyerukan nilai agama Islam, seyogyanya ia tidak melakukan sesuatu yang tidak ada faidahnya. Karena berhala (tuhan kafir quraisy) hanyalah sebatas entitas yang mati, tidak bisa memberikan kemanfaatan dan bahaya. Maka cukuplah kita kritik, tidak perlu dicela. (Tafsir al-Razi, PDF)

Maka dari itu, mari kita menjaga diri. Sungguh tidak ada faidahnya untuk mencela mereka, dan tentunya agar supaya tuhan kita tidak dicela oleh mereka. Kadang kala, ekspresi rasa bangga atau suka, lebih maslahat untuk tidak difrontalkan. Jika memang mencintai Allah, maka jaga lisanmu untuk mengolok-olok tuhan mereka. Bisa dong, mengidolakan atau mencintai sesuatu, tanpa merendahkan sesuatu yang lain. Salam kalimatun sawa’, dengan saling bertenggang rasa, kita bisa  lebih bahagai dan aman sentosa.

Kontributor

  • Ahmad Hidhir Adib

    Asal dari Pasuruan. Sekarang menempuh studi program Double degree di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang pada program studi PAI dan Fikih Muqaran dan tinggal Wisma Ma’had Aly UIN Malang.