Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Kenapa memahami Al-Quran dan Hadits tidak seperti kalam bahasa Arab lainnya?

Avatar photo
37
×

Kenapa memahami Al-Quran dan Hadits tidak seperti kalam bahasa Arab lainnya?

Share this article

Al-Quran dan hadits disabdakan secara bertahap dalam kisaran waktu 23 tahun sepanjang masa kerasulan. Sepanjang waktu itu, ayat dan hadits disabdakan dalam kondisi yang beragam. Ada kondisi sebelum hijrah, juga setelah hijrah. Ada kondisi damai dan kondisi kacau. Dan seterusnya.

Al-Quran dan hadits adalah rangkaian yang tidak terpisahkan dari awal hingga akhir. Sehingga tidak bisa hanya mencomot satu bagian dan mengabaikan yang lain. Dengan keragaman seperti itu, lalu mana bisa secara tiba-tiba kita memahami satu dua ayat atau hadits dan menarik kesimpulan darinya?

Teringat 3 kaidah umum dalam memahami Al-Quran maupun hadits yang dituliskan Dr. Usamah Al-Azhari di bagian akhir bukunya; Al-Haqqul Mubin yang intinya:

Ketika hendak memahami suatu tema dalam Al-Quran maupun hadits, perhatikan 3 hal ini:

Pertama, kita perlu mengumpulkan semua ayat atau hadits yang bertemakan sama. Jangan sampai memisahkan satu bagian dari yang lainnya.

Selaras dengan hal ini, dalam ngaji ushul fikih dulu, Dr. Mahmud Abdurrahman menjelaskan bahwa untuk memahami satu tema hadits, perlu mengumpulkan semua hadits dengan tema yang sama. Cara demikian juga yg diajarkan di kampus al-Azhar ketika hendak menyusun tafsir tematik (maudhu’i).

Kedua, menyusun dengan benar dari semua yang sudah terkumpul.

Tentu saja dalam Al-Quran dan hadits terdapat naasikh mansukh, makki dan madani. Setelah penyusunan itu kemudian memadukan antara ayat/hadits yang mutlak dan muqayad, mujmal dan mubayyin, aam dan khos dan seterusnya.

Ketiga, mengetahui arti dari lafal dan juga mengetahui maksudnya.

Untuk mengerti arti lafal diperlukan ilmu lughoh dan keluarganya dan untuk mengetahui maksud lafal itu, menggunakan ilmu ushul fikih juga mantik.

***

Suatu ketika Imam Syafi’i duduk di majelisnya di masjid, datanglah seorang yang sudah tua bertanya kepadanya, “Engkau mengatakan bahwa ijmak adalah hujjah yang harus diikuti. Benar? Sebutkan ayat yang menunjukkan itu! Jika tidak, bertobatlah engkau. Kuberi waktu 3 hari.”

Setelah itu Imam Syafi’i tidak keluar rumah dan berulang-ulang membaca Al-Quran dari awal hingga akhir selama tiga hari untuk menemukan dalil ijmak. Hingga beliau sampai pucat menguning.

Pada sore hari ketiga, beliau di masjid dan benar saja, didatangi orang tua yang sebelumnya bertanya. “(Aku menagih) hajatku.”

Lantas Imam Syafi’i membacakan ayat:

وَمَنْ يُّشَاقِقِ الرَّسُوْلَ مِنْۢ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدٰى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيْلِ الْمُؤْمِنِيْنَ نُوَلِّهٖ مَا تَوَلّٰى وَنُصْلِهٖ جَهَنَّمَۗ وَسَاۤءَتْ مَصِيْرًا

“Siapa yang menentang Rasul (Nabi Muhammad) setelah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan dalam kesesatannya dan akan Kami masukkan ke dalam (neraka) Jahanam. Itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. an-Nisâ` [4]:115)

Beliau berkata, “Ada ancaman neraka bagi yang tidak mengikuti jalan orang-orang mukmin. Berarti mengikuti jalan itu (ijmak) pastilah wajib.”

Beliau memahami secara utuh Al-Quran dari awal hingga akhir hingga akhirnya menarik kesimpulan atau melahirkan ijtihad tentang menjadi kehujjahan ijmak.

Kisah itu ada dalam Manaqib Imam Syafi’i karya Imam Baihaqi dan sering dikisahkan guru kami Dr. Mahmud Abdurrahman dalam ngaji ushul fikih.

***

Tangga pertama memahami wahyu dan hadits adalah mencari bantuan para mufasir, pensyarah hadits dan tentu saja para ulama fikih yang telah mengabdikan hidup untuk memahami Al-Quran dan Hadits.

Kontributor

  • Hafidz Alwi

    Asal Malang Jawa Timur. Pernah belajar di pesantren Lirboyo. Sekarang sedang menempuh pendidikan di Al-Azhar jurusan Tafsir. Berkhidmah di PCINU Mesir. Penulis adalah penerjemah video Youtube Sanad Media.