Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Cara Al-Azhar Menghidupkan Mazhab Hanbali

Avatar photo
19
×

Cara Al-Azhar Menghidupkan Mazhab Hanbali

Share this article

Varian fikih dalam Islam amat melimpah. Kalau dihitung sejak era Sahabat hingga abad 3 atau 4 H, maka akan ketemu kurang lebih sembilan puluh mazhab. Seiring berjalannya waktu, yang masih direstui untuk terus berjalan hanya empat mazhab populer. Lainnya gulung tikar.

Sejak dulu, ketika peradaban literasi Islam masih gagah, empat mazhab itu diberi porsi sepadan di kebanyakan madrasah. Namun demikian, kembang kempis mazhab ternyata juga dipengaruhi oleh kawasan.

Ada yang menyuburkan Hanafiyah seperti kawasan Mesopotamia dan Transoxiana. Ada yang tak bisa tumbuh kecuali Malikiyah seperti di kawasan Maghrib dan Afrika. Dan ada pula yang bisa menyuburkan keempatnya sekaligus seperti di Mesir.

Meski porsi jumlahnya tak sepadan, empat mazhab guru-murid itu tersebar ke seluruh Mesir. Namun sayangnya mazhab Hanbali kurang mendapat sambutan baik hingga terus menyusut. Bahkan nyaris saja punah setelah banyak masyayikh Hanabilah meninggal dunia tanpa regenerasi yang baik.

Baca juga: Tahapan Belajar Fikih Mazhab Syafi’i

Melihat fenomena ini, Al-Azhar harus berbuat untuk menghidupkan mazhab Hanbali kembali. Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar memberi pegumuman:

“Siapa yang ambil mazhab Hanbali, akan mendapat insentif 70 LE (mata uang Mesir tiap bulannya!” Angka 70 Junaih (Pound) tahun 70-an itu jelas angka besar.

Untuk diketahui, di Fakultas Syariah ada satu syarat diterima, yaitu memilih satu dari empat mazhab. Supaya pelajar belajar satu mazhab dengan serius sebelum berenang ke perbandingan mazhab.

Belakangan, beberapa orang dari Indonesia yang Syafi’iyah mencoba mengambil mazhab non-Syafi’i. Sebut saja mazhab Hanbali. Namun ditolak oleh pihak Fakultas. “Bangsamu Syafi’iyah, tak elok jika menyalahi mereka,” begitu kurang lebih alasannya.

Kejadian tahun tujuh puluhan abad 20 itu membuahkan hasil manis.

“Kini melimpah lagi masyayikh Hanabilah, para pengajar, juga asisten dosen [dan bahkan masyarakat luas],” Jelas Prof. Ahmad Ali Thaha Rayyan di salah satu mejelis Bukhari di Al-Azhar suatu ketika.

“Akhirnya Hanabilah kembali ke posisi yang layak kembali di Mesir,” lanjut  guru besar fikih perbandingan al-Azhar yang bermazhab Maliki itu.

Baca juga: Waliyullah dari Bangsa Gaib yang Bermazhab Hanafi

Saat Syekh Sudais berkunjung ke rumah beliau, Syaikhul Malikiyah yang wafat Februari 2021 lalu itu berkata pada Imam Masjid Makkah al-Mukarraah itu, “Syekh Sudais, kalian di Saudi membuat sentralisasi mazhab Hanbali dan mengebiri mazhab yang lain. Di Mesir, justru ketika Hanbali sedang ambruk, kita malah berbuat sesuatu supaya Hanbali bangkit lagi di posisi semula.”

Ada banyak prinsip dan pendapat Hanabilah yang tak ada di mazhab lain. Tentu itu menguntungkan proses elastisitas dan fleksibelitas syariat. Kian banyak opsi pendapat kuat, kian banyak jalan keluar. Bukankah begitu?

Kenyataannya memang tak ada, atau sekurang-kurangnya akan kesulitan, orang yang menjalankan syariat dengan pendapat muktamad mazhab saja.

Jika ulama yang multazim (kukuh) dengan mazhab tertentu tetap mengambil pendapat lemah dalam mazhabnya demi kemudahan umat sebagaimana kata Syekh Sulaiman al-Ahdal seperti yang dikutip oleh Syekh Mawawi al-Jawi di akhir kitab al-‘Iqd ats-Tsamin, “mengambil pendapat lemah dalam mazhab lebih utama dari pada mengambil pendapat mazhab lain,” tentu tak lain itu menunjukkan bahwa banyak ragam pendapat, entah di dalam satu mazhab atau dari banyak mazhab, kian memudahkan umat umat.

Kairo, Masjid Sidi Shaleh Al-Ja’fari, 11 Februari 2022

Kontributor

  • Alfan Khumaidi

    Alumni Blokagung yang kini berdomisili di Mesir. Meminati kajian keislaman dan aktif di PCI NU Mesir.