Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Esai

Imam Sya’rani Membela Mazhab Fikih dari Gerakan Anti Mazhab

Avatar photo
33
×

Imam Sya’rani Membela Mazhab Fikih dari Gerakan Anti Mazhab

Share this article

Dewasa ini kita disuguhi sebuah fenomena munculnya aliran anti mazhab yang mengajak umat Islam untuk berlepas diri dari semua mazhab dan tidak terbelenggu dengan sekte tertentu, terlebih dalam persoalan fikih.

Berdalih pemurnian agama, gerakan anti mazhab ini menyuarakan semboyan kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah yang sesuai dengan pemahaman para sahabat dan salafus saleh, bukan pemahaman para pemuka mazhab.

Kemunculan Gerakan Alla Mazhabiyah (Anti Mazhab)

Jika kita runut ke belakang, gerakan anti mazhab sejatinya sudah dikumandangkan sejak dahulu oleh ulama-ulama terkemuka seperti Ibnu Hazm, Ibnu Taimiyah dan Ibnu al-Qayyim. Namun, gerakan tersebut baru menemukan momentumnya setelah dikenalkan kembali oleh Muhammad bin Abdul Wahhab, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha dan Jamaluddin al-Afghani. Di tangan para tokoh pembaharu inilah, gerakan anti mazhab mulai dikenal di berbagai belahan dunia.

Dalam pandangan mereka, mazhab-mazhab fikih yang muncul dan berkembang sejak abad ke 3 Hijriah merupakan satu bid’ah sesat yang tak pernah ada di masa Nabi dan para sahabat. Lebih dari itu, mereka menuding lahirnya mazhab fikih tidak lain merupakan sebuah agenda politik yang dirancang oleh para penguasa. Dengan demikian berpegang pada satu mazhab bukanlah hal yang dipandang perlu bagi setiap individu umat Islam. Kalaupun ada mazhab yang harus diikuti, maka jawabannya adalah mazhab yang diusung oleh Baginda Nabi Muhammad saw. Karena hanya beliau yang mendapat garansi tidak pernah salah (maksum) dari Allah swt,. Selebihnya, memiliki potensi benar dan salah yang sama rata, tak terkecuali para pendiri mazhab.

Syekh Muhammad Said Ramadhan al-Buthi (w. 1434 H/ 2013 M), salah satu ulama besar asal Suriah yang syahid di tangan ISIS akibat serangan bom bunuh diri, dalam bukunya ‘Alla Mazhabiyah’ menceritakan satu pendapat yang biasa digunakan oleh aliran anti mazhab untuk meneguhkan ideologi mereka.

وينقل عن الدهلوي كلاما يؤيد قوله ويروي عنه انه قال من أخذ بجميع أقوال امام من الأئمة الاربعة ولم يعتمد على ما جاء في الكتاب والسنة فقد خالف الاجماع واتبع غير سبيل المؤمنين

Artinya: Guna memperkukuh paham yang dianut, mereka kutip perkataan Waliyullah ad-Dahlawi. Suatu ketika beliau pernah berkomentar, “Sesungguhnya orang yang terikat dengan salah satu imam mazhab dan abai kepada al-Qur’an dan Sunnah, telah menyalahi konsensus ulama dan berada di jalur yang berbeda dengan orang-orang mukmin”. 

Melalui petikan teks tersebut, kita bisa amati betapa mereka berhaluan bahwa taklid kepada imam mazhab merupakan tindakan yang bertolak belakang dengan teks-teks keagamaan. Mereka membangun opini, para imam telah menyempal dari syariat lantaran dalam fatwa-fatwanya tidak lagi peduli terhadap al-Qur’an dan hadis.

Untuk menyikapi fenomena di atas, alangkah baiknya bila kita sejenak meluangkan waktu untuk ngaji kepada Imam Abdul Wahhab asy-Sya’rani melalui karya monumentalnya, al-Mizan al-Kubra.

Pembelaan Imam Sya’rani dalam al-Mizan al-Kubra

Imam Abdul Wahab bin Ahmad asy-Sya’rani (w. 973 H) adalah seorang ulama besar, ahli hadits, fikih dan pakar di berbagai disiplin ilmu lainnya. Selain itu, ia dikenal sebagai sufi besar yang bergelar wali qutub di zamannya.

Dalam bidang akidah, Imam Sya’rani bermazhab Asya’irah, sementara dalam fikih ia berkiblat kepada mazhab Syafi’i. Ia habiskan semua karir intelektualnya di Mesir. Belajar dan menimba ilmu kepada ulama-ulama di negara yang masyhur sebagai pusat peradaban keilmuan Islam.

Sebagai salah satu ahli fikih kawakan, dia menulis sebuah kitab dengan judul “al-Mizan al-Kubra”. Kitab ini tergolong unik dan menarik, sebab sejatinya ia merupakan kitab bergenre fikih perbandingan mazhab (al-fiqh al-muqaran). Tetapi jauh sebelum menjabarkan ragam pendapat para ulama, penulisnya berusaha mengulas argumentasi-argumentasi yang melandasi pernyataan “semua mazhab berada dalam jalur kebenaran”. Jargon ini kemudian disebar ke sekujur teks dalam pendahuluan yang menghabiskan hampir separuh kitab demi mengekspresikan pembelaannya terhadap semua mazhab.

Menariknya, ulama kelahiran Mesir yang hidup di abad ke 10 Hijrah tersebut membangun narasi pembelaannya bukan hanya dengan nalar ilmiah saja, tetapi juga dengan nalar irfani (sumber pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman hidup, experience in the world) yang ia dapati ketika menapaki laku sufi di bawah pantauan Syekh Ali al-Khawash. Dengan tanpa keraguan ia sampaikan, semua mazhab berada dalam jalur kebenaran. Hal ini karena formulasi hukum yang telah dirumuskan para ulama disadur langsung dari ‘Ain asy-Syari’ah al-Muthohharoh, sumber syariat yang suci.

Baca juga: Meneladani Imam Sya’rani, Belajar Dulu Sebelum Bertarekat

Lumrahnya seorang yang diberi karunia kasyf oleh Allah enggan menceritakannya di hadapan publik. Tetapi Imam Sya’rani melakoni peran yang berbeda dari lainnya. Ia secara transparan menceritakan kisah-kisah spiritual yang dialaminya di berbagai kesempatan. Mengenai ini ia pernah menyampaikan dalam al-Mizan al-Kubra:

ومن جملة الاغراض الصحيحة ذكر العالم مناقبه في العلم والعمل ليعرفه الناس فيأخذون عنه العلم ويعتقدونه ويذكرون مناقبه في طبقات العلماء الذي هو منهم 

Artinya: Di antara sekian banyak tujuan baik yang hendaknya dilakukan adalah kisah dari seorang alim ihwal rekam jejaknya dalam mencari ilmu dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Rasanya ini perlu disampaikan oleh pribadi masing-masing alim, agar supaya orang-orang yakin dan mau menimba ilmu darinya. Selanjutnya, kisah itu kemudian diabadikan oleh generasi-generasi penerus dalam buku-buku sejarah para ulama.

Dari aspek lain, di bagian awal kitab tersebut, Imam asy-Sya’rani berupaya mengutarakan alasan terkait keyakinannya bahwa semua mazhab itu benar. Ia menulis:

فإن الشريعة كالشجرة العظيمة المنتشرة واقوال علمائها كالفروع والأغصان فلا يوجد لنا فرع من غير اصل ولا ثمرة من غير غصن كما لا توجد ابنية من غير جدران

Artinya: Sejatinya syariat itu laksana pohon besar yang menjulai, sedangkan aqwal ulama adalah dahan dan batangnya. Sehingga tidak mungkin ada dahan tanpa batang dan buah tanpa tangkai sebagaimana pula tidak mungkin ada bangunan tanpa tembok.

Langkah Imam asy-Sya’rani mengibaratkan syariat sebagai sebuah pohon besar dan pendapat ulama sebagai dahan dan batangnya ini menarik. Dia membangun narasi bahwa dari manapun kita mengambil aqwal para ulama, semuanya itu satu kesatuan yang berkait kelindan.

Di tempat yang sama, Imam Sya’rani menyatakan orang yang menolak pernyataan di atas dan berasumsi bahwa aqwal para ulama melenceng dari jalur syariat seolah ia berikrar dengan kebodohannya sendiri. Sebab seteliti apapun, ia tidak akan pernah mendapati kalam ulama yang berseberangan dengan al-Qur’an dan Sunnah.  

ومن نازعنا في ذلك فاليأت لنا بقول من اقوالهم  خارج عنها ونحن نرد على صاحبه كما نرد على من خالف قواعد الشريعة باوضح دليل وبرهان

Artinya : Siapapun yang tidak sepakat dengan saya, silakan datangkan pendapat yang anda anggap keluar dari syariat, saya akan membantahnya dengan argumen yang amat kokoh dan tak mudah dipatahkan.

Baca juga: Lubab Al-I’rab, Kitab Nahwu yang Ditulis Imam Sya’rani dalam Sehari

Asy-Sya’rani kemudian memberi petuah kepada sekalian pembaca agar lebih berhati-hati dan menjaga adab terhadap para imam.  Ia berpesan:

وكل من لم يصل الى هذا الاعتقاد من طريق الكشف والعيان وجب عليه اعتقاد ذلك من طريق التسليم والايمان

Artinya : Bila anda tidak sampai pada keyakinan ini (semua mazhab benar) dengan metode kasyf (tersingkapnya tabir ilahi), setidaknya anda harus meyakininya dengan pasrah tanpa harus mempertanyakannya.

Dari sini juga, Imam Sya’rani hendak menekankan bahwa untuk memiliki keyakinan utuh terhadap kebenaran mazhab-mazhab fikih kita bisa menempuh dua jalan.

Pertama, melalui jalur kasyf yang tidak bisa dijangkau oleh sembarang orang. Keyakinan pada segmen ini adalah keyakinan yang bersifat eksklusif, diperoleh setelah sekian lama menempuh laku sufi di bawah bimbingan intens dari seorang mursyid

Kedua, pasrah begitu saja dan berusaha berbaik sangka kepada para pendiri mazhab. Keyakinan semacam ini, mestinya tertanam kuat di hati kebanyakan orang. Dengan begitu, ia tidak akan melakukan hal-hal ceroboh sebagaimana yang dilakukan oleh para penganut aliran anti mazhab.

Sesaat sebelum mengakhiri ulasan mengenai pembelaannya, murid kinasih Syekh Ali al-Khawash itu, memberikan visualisasi dengan menggambar sketsa beberapa kubah yang konon disiapkan khusus untuk para imam mazhab di surga kelak. Berikutnya ia katakan :

ما رسمت هذه القباب بعقلي وانما رسمتها على صورة ما رأيتها في الجنة في بعض الوقائع

Artinya : Aku menggambar kubah-kubah ini bukan dengan imajinasiku semata, tetapi berdasarkan kepada apa yang pernah aku lihat (dalam mimpi) di surga.

Dari pengakuan Imam Sya’rani di atas, kita bisa tahu bahwa mazhab-mazhab yang didirikan oleh para mujtahid tidaklah sembarangan. Ia lahir dari orang-orang istimewa yang ilmu, perjuangan dan kedekatannya dengan Allah swt tidak biasa. Wallahu a’lam bis shawab.

 Ma’had Aly Situbondo, 30 Januari 2022.

Kontributor

  •  Wandi Isdiyanto

    Saat ini menjadi tenaga pengajar Ma'had Aly Situbondo. Tinggal di Banyuwangi Jawa Timur. Meminati kajian tafsir, hadits, fikih, ushul fikih dan sejarah.