Masyhur di berbagai belahan negara Islam majelis pembacaan Shahih al-Bukhari dan mengkhatamkan pembacaannya dengan perayaan.
Tidak dipungkiri bahwa Shahih al-Bukhari merupakan kitab primer dalam literasi Hadits. Bahkan ia menjadi rujukan pertama dibanding kitab-kitab kumpulan hadits lainnya.
Melihat dari fenomena yang terjadi di berbagai belahan dunia, ada dua bentuk khataman Shahih al-Bukhari.
Pertama adalah khataman dengan membaca Shahih al-Bukhari mulai awal hingga akhir halaman oleh beberapa orang secara bergantian dalam satu majelis, baik di surau, masjid, rumah yang dijadikan majelis ilmu atau lainnya. Model khataman ini masif dilaksanakan secara rutin di tiga bulan hijriyah yaitu Rajab, Sya’ban dan Ramadan, namun ada juga yang dilakukan setiap pekan.
Kedua adalah bentuk khataman Shahih al-Bukhari yang diinisiasi oleh seorang ulama alim ahli hadits dalam majelisnya. Beliau membaca dan menjelaskannya di hadapan santri dan para pendengar yang hadir. Bentuk yang demikian ini biasanya dilakukan setiap hari atau setiap pekan secara rutin. Majelis khataman bentuk ini setidaknya butuh setahun untuk menuntaskan bacaan. Di akhir majelis bentuk khataman ini, sang uama akan memberikan sanadnya kepada para santri dan para pendengarnya.
Kedua bentuk pembacaan Shahih al-Bukhari di atas menjadi magnet tersendiri bagi pecinta ilmu utamanya di sesi bacaan hadits-hadits akhir (khataman). Tidak sedikit dari majelis-majelis khataman tersebut, diakhiri dengan mendengarkan qasidah pujian untuk Nabi, sahabat atau para imam dan ulama, serta mauidoh hasanah dan perayaan khusus dengan jamuan makanan.
Baca juga: Akhir Hayat Imam Al-Bukhari dan Karamahnya Setelah Wafat
Khataman Shahih al-Bukhari tercatat tidak hanya diinisiasi oleh para ulama. Tercatat dalam al-Nūr al-Sāfir ‘an Akhbār al-Qarn al-‘Āshir karya Abdul Qadir bin Syekh Abdullah al-Idrus bahwa al-Fakhkhan penguasa Habasyah mengadakan acara khataman Shahih al-Bukhari pada bulan Rajab 974 H. Al-Fakhkhan menjamu semua hadirin dengan hidangan mewah di rumahnya. Khataman ini dipimpin oleh Qadi Jamaluddin Muhammad al-Muhayimi dan al-Fakhkhan sendiri turut membaca dan didengarkan oleh para hadirin.
Memang tidak dapat dilacak tentang siapa yang pertama kali memulai tradisi khataman kitab mulia ini. Namun jika merujuk pada siapa yang mengkaji dan mensyarah (menjelaskan) kitab hadits yang dihimpun Imam al-Bukhari ini, akan kita temukan ada Syekh Abu Sulaiman al-Khitabi (w. 388 H.) yang mensyarah Shahih al-Bukhari dengan nama A‘lâm as-Sunan. Lalu ada Syekh Ahmad ad-Dawudi (w. 402 H.) yang disebut oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani, telah menulis syarah Shahih al-Bukhari dengan judul kitab an-Nashîhah.
Menurut Abu Jamil Hasan al-‘Ilmi dalam Ummahât Kutub al-Hadîts wa Manâhij at-Tashnîf ‘inda al-Muhadditsîn bahwa syarah Shahih al-Bukhari pertama adalah milik al-Dawudi sebagaimana penukilan Ibnu Hajar dalam Fath al-Bârî. Ad-Dawudi menulis syarah ini pada 405 H. dan diberi judul ash-Sharîh. Namun kenyataannya bahwa al-Khitabi adalah orang yang pertama dengan A‘lâm as-Sunan yang ditulis pada 388 H. Al-Khitabi sendiri menulis syarah Shahih al-Bukhari usai mensyarah Sunan Abi Dawud.
Lalu ada Syarah Ibnu Baththâl karya Syekh Abul Hasan al-Baththal (w. 449 H.). Ibnu Hajar banyak menukil dalam karyanya dari dia. Kemudian ada Bahjat an-Nufûs karya Syekh Abu Muhammad Abdillah bin Abi Jamrah al-Andalusi (w.699 H.). Disusul kitab al-Kawâkib ad-Darârî karya Syamsuddin al-Kirmani (w. 786 H.).
Selanjutnya al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H.) juga tercatat sebagai penulis syarah Shahih al-Bukhari. Ada riwayat menyebutkan bahwa beliau telah mengkaji dan menjelaskan kitab Shahih al-Bukhari lebih dari seribu kesempatan pengajian dan berhasil membukukan penjelasan-penjelasan dalam pengajiannya tersebut dalam Fath al-Bârî, sebuah kitab syarah Shahih al-Bukhari yang diakui oleh asy-Syaukani tiada tandingan dan tidak perlu lagi ada syarah-syarah yang lain.
Baca juga: Meneladani Keulamaan Imam Al-Bukhari
Hal ini sebagaimana diceritakan oleh al-Kattani dalam Fihris al-Fahâris bahwa asy-Syaukani diminta untuk menulis syarah Shahih al-Bukhari oleh murid dan teman-temannya, namun beliau menjawab:
“لا هجرة بعد الفتح”. يعني به: «فتح الباري» للحافظ ابن حجر العسقلاني ولا يخفَى ما فيه من اللطف
“Tidak ada hijrah pasca Fathu [Makkah]” al-Hadits. Sedang maksud dari ucapannya itu adalah Fath al-Bârî milik al-Hafizh Ibnu Hajar. Tidak diragukan bahwa di situ (sudah) terdapat penjelasan yang detail”.
Namun demikian, tercatat hingga abad ke-13 telah ada 131 kitab—bahkan lebih—yang telah mensyarah dan menuliskan komentar ataas Shahih al-Bukhari. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Abul Hasan an-Nadwi dalam al-Imâm Muhammad bin Ismail al-Bukhari wa Kitabihi Shahih al-Bukhaari halaman 14-16 yang terbit di India tahun 1993.
Fakta ini menjadikan Shahih al-Bukhari sebagai satu-satunya kitab yang paling banyak diperhatikan dan diulas oleh para ulama dan cendekiawan muslim di dunia serta tradisi khataman kitab hadits itu senantiasa lestari di berbagai tempat di manca negara.
Baca tulisan menarik lainnya tentang Shahih al-Bukhari di sini.