Tokoh
Meneladani Keulamaan Imam Al-Bukhari
Tirakat Imam Al-Bukhari Menulis Hadits
Kitab paling shahih setelah Al-Qur’an adalah kitab Al-Jami’ Ash-Shahih karya Imam Al-Bukhari. Ini disepakati hampir oleh semua ulama dari timur hingga barat Islam. Dengan kata lain, pengarangnya adalah ulama yang diakui kehebatannya dalam bidang ilmu hadits. Shahih Al-Bukhari ditulis dengan sangat teliti dan kecermatan tingkat tinggi sehingga posisinya menempati baris kedua setelah Al-Qur’an.
Pencapaian semacam ini tidak dicapai dengan mudah. Sekretaris pribadinya, Muhammad bin Abu Hatim, bercerita: jika kami dalam perjalanan maka kami tinggal dalam satu kamar, tak pernah berpisah dengan Imam Al-Bukhari kecuali waktu ke kamar kecil. Saya melihat Al-Bukhari dalam semalam bisa terbangun 15 kali hingga 20 kali; mengambil kembali tintanya, menyalakan lentera, mengoreksi kembali hadits yang ditulis, mengedit dan menandainya kemudian berbaring kembali.
"Saat saya menegur," kata sekretarisnya, “Kenapa tidak membangunkan saya, wahai Imam!” Beliau menjawab, “Kamu masih muda, saya tak mau mengganggu tidurmu.”
Belum lagi usaha spritual berupa shalat istikharah dua rakaat setiap akan membubuhkan satu hadits ke dalam maha karyanya, Al-Jami’ As-Shahih. Buku paling fenomenal ini ditulis dalam jangka waktu 16 tahun, menemani penulisnya dalam perjalanan maupun saat di rumah. Potret keseriusan seorang penulis yang tiada duanya.
Al-Bukhari pernah berkisah sendiri: saat saya berguru pada Adam bin Abi Iyash (w. 220 H) saya mengalami kesulitas ekonomi hingga terpaksa harus makan rumput karena kelaparan. Di hari ketiga ada seseorang yang berbaik hati memberiku uang. Yang perlu diingat, bahwa Al-Bukhari sebenarnya bukan berasal dari keluarga miskin. Dia mewarisi kekayaan ayahnya namun memilih hidup zuhud dan menyedekahkan seluruh harta kekayaannya. Kadang dalam sehari Al-Bukhari hanya makan 2-3 lauz (sejenis kacang) untuk mengganjal perutnya.
Pernah suatu saat dia sakit parah, tabib memeriksa air seninya kemudian berucap “ini mirip dengan air seni para rahib yang tak pernah makan dengan lauk pauk.”
Al-Bukhari sebagaimana pendahulunya berkeliling dunia demi mengumpulkan hadits-hadits Nabi Saw. Menurut pengakuannya sendiri, “Saya telah berkeliling ke Syam, Mesir dan Al-Jazirah (kawasan sepanjang sungai Tigris dan Eufrat) sebanyak dua kali, ke Bashrak-Irak empat kali, ke Hijaz enam kali, dan tak terhitung berapa kali ke Kufah dan Baghdad untuk menemui muhaddisin.”
Baca juga: Kesalahan Memaknai Hadits “Sampaikanlah Dariku Walau Hanya Satu Ayat”
Etika Imam Al-Bukhari dalam Kritik Hadits
Kritik dalam ilmu hadits disebut dengan Jarhu wa ta’dil untuk menentukan kredibelitas seorang rawi. Selain muhadits, imam Al-Bukhari juga pakar dalam bidang ini. Namun kepakarannya tak lantas membuatnya sombong.
Al-Hafiz Ibn Hajar mengomentari profil Al-Bukhari dalam hal ini dengan “Al-Bukhari sangat berhati-hati tatkala mengritik rijal (para rawi). Sering kali dia hanya menulis: para imam tidak berkomentar mengenai profil fulan, atau fulan masih diperdebatkan, atau riwayat fulan ditinggalkan. Amat jarang Al-Bukhari menjudge seorang rawi dengan kata-kata: kazzab (pembohong) atau wadda’ (tukang ngarang hadits palsu).”
Keilmuan ulama terdahulu berbanding lurus dengan akhlak dan budi pekertinya. Ini yang dilupakan orang modern. Bahkan Al-Bukhari bersaksi untuk dirinya “saya tak memiliki musuh kelak di akhirat”. Artinya, dia tak memiliki permusuhan dengan siapapun, kebencian kepada siapapun, dan siapapun yang berbuat salah padanya pasti sudah dimaafkan.
Jarhu wa ta’dil dibenarkan dalam ilmu hadits bahkan diwajibkan demi menjaga validitas hadits Rasulullah dari para pembohong. Kritik hadits menjadi anak turunan dari studi ilmu hadits yang menjadi konsentrasi ulama dari sejak dulu. Kritik dibenarkan selama tidak menyerang aib pribadi. Jadi harus dalam batasan tertentu. Selebihnya Al-Bukhari terkenal anti menggosip, “Saya tak pernah meng-ghibah (gosip) sama sekali semenjak saya tahu bahwa gosip diharamkan”. Di kesempatan lain dia berharap “Semoga saya berjumpa dengan Allah kelak tanpa beban hisab berupa menggosip seseorang.”
Baca juga: Kitab Rujukan Hadis Utama dalam Islam
Kecintaan Al-Bukhari pada Al-Qur’an
Sekretaris pribadi Al-Bukhari bercerita: suatu ketika Al-Bukhari diundang ke sebuah taman. Di sana mereka shalat dzuhur berjemaah. Selesai shalat, Al-Bukhari melanjutkan shalat sunnah. Selesai salam dia mengangkat bagian bawah jubahnya seraya berucap, “Apa di balik jubahku ada sesuatu?”
Ternyata, mereka menemukan lebih dari 17 sengatan lebah hingga tubuhnya bengkak. Sebagian yang hadir bertanya “Kenapa tidak membatalkan shalat, wahai Imam?”
“Saya sedang membaca surat yang sangat saya cintai,” jawab Imam Al-Bukhari.
Cerita ini mengisyaratkan pada kita tentang betapa khusuknya Imam Al-Bukhari dalam shalat sekaligus perhatiannya pada Al-Qur’an dan tadabbur makna yang terkandung di dalamnya. Imam Ad-Darimi (w. 255 H) mendeskripsikan sosok Al-Bukhari dalam hal ini: “Jika Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari membaca Al-Qur’an maka hati, pandangan dan pendengarannya sibuk menyelami makna Al-Quran, menyelami tafsir dan hukum halal-haram.”
Kenyataan ini menegaskan bahwa ulama kita dulu, tak hanya mendalami satu bidang ilmu dan mengenyampingkan ilmu yang lainnya. Imam Al-Bukhari memang terkenal sebagai muhaddis tapi bukan berarti tak mendalami Al-Qur’an beserta tafsirnya. Ulama masa kini harus meneladani Al-Bukhari, baik dalam kecintaannya pada hadits; di mana dia mengunjungi hampir semua negeri Islam, terbangun hingga 20x dalam semalam untuk mengoreksi catatannya, maupun kekhusu’annya dalam shalat.
Imam Al-Bukhari sendiri lahir pada 194 H di kota Bukhara, Uzbekistan. Umur 16 tahun memulai petualangan ilmiahnya dalam mengumpulkan hadits hingga wafat pada 296 H di Samarkand, kemudian dikebumikan di Khartank, Uzbekistan. Semoga rahmat Allah menyertai Imam Agung ini, Amin.
Kiai muda asal Madura. Mengkaji sejumlah karya Mbah Kholil Bangkalan. Lulusan Al-Azhar, Mesir. Katib Mahad Aly Nurul Cholil Bangkalan dan dosen tasawuf STAI Al Fithrah Surabaya