Artikel

Amaliah Hari Asyura, Dalil dan Keistimewaanya

28 Aug 2020 03:00 WIB
1412
.
Amaliah Hari Asyura, Dalil dan Keistimewaanya

Bulan Muharam adalah salah satu dari empat bulan istimewa yang dimuliakan oleh Allah SWT. Salah satunya karena di dalamnya terdapat hari Asyura, atau tanggal 10 bulan Muharram.

Selain bulan suci Ramadlan, memang ada empat bulan dalam Islam yang dimuliakan Allah SWT. Empat bulan (arba’atun hurum) itu yaitu bulan Dzulqa’dah, Dzulhijah, Muharam, dan Rajab. Keterangan seputar itu termaktub dalam QS al-Taubah ayat 36.

اِنَّ عِدَّةَ الشُّهُوْرِ عِنْدَ اللّٰهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِيْ كِتٰبِ اللّٰهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ مِنْهَآ اَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۗ

“Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah SWT itu ada dua belas bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antara dua belas itu ada empat bulan yang dimuliakan.”

Bulan Muharam menjadi bulan yang istimewa karena memang di bulan ini terjadi beberapa peristiwa istimewa dalam Islam. Sebut saja (di antaranya) karena di bulan ini Allah SWT menyelamatkan Bani Israil dari musuhnya, pun di bulan ini juga Allah memberikan jaminan pengampunan kepada Nabi Muhammad SAW, atas semua yang sudah terjadi maupun yang belum terjadi. Hal ini sebagaimana keterangan dalam sebuah Hadits sahih. 

Pada zaman Rasulullah SAW masih hidup, demi menghormati bulan-bulan yang dimuliakan (termasuk bulan Muharam) ini, peperangan harus dihentikan dan ditiadakan. Bahkan ada ketentuan, siapa yang melakukan kebaikan pada bulan-bulan mulia tersebut, maka pahalanya akan dilipatgandakan oleh Allah SWT, dan sebaliknya, bahwasanya perilaku maksiat pada bulan-bulan mulia ini siksanya juga akan dilipatgandakan.

   وَمَعْنَى الْحُرُمِ: أَنَّ الْمَعْصِيَةَ فِيهَا أَشَدُّ عِقَابًا، وَالطَّاعَةَ فِيهَا أَكْثَرُ ثَوَابًا  

“Yang dimaksud dengan bulan-bulan yang dimuliakan di sini, bahwa sesungguhnya maksiat dalam bulan mulia ini siksanya lebih berat, dan perbuatan taat di dalam bulan ini pahalanya akan dilipatgandakan” (Fakhruddin al-Razi, Tafsir Al-Râzi, [Daru Ihya’ al-Turats al-Arabiy: Beirut, 1420 H], juz 16, halaman 14).

Melaksanakan ibadah puasa di bulan Muharam juga lebih diutamakan Rasulullah SAW dibanding bulan-bulan lain, sebagaimana perkataan beliau:

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ

“Puasa paling utama setelah puasa Ramadlan adalah (puasa bulan) Muharam, adapun shalat yang paling utama setelah shalat fardlu adalah shalat malam.” (HR. Muslim)

Selain keterangan di atas, bulan Muharam diistimewakan juga karena di bulan ini terdapat momen teristimewa yang biasa disebut dengan hari Asyura; yaitu hari yang disitimewakan yang bertepatan dengan tanggal sepuluh bulan Muharam. Hari Asyura ini sendiri berasal dari diksi bahasa Arab ‘asyr; yang berarti sepuluh.

Di hari Asyura ini, terjadi peristiwa-peristiwa penting dalam agama Islam yang sudah masyhur, di antaranya adalah momen Nabi Adam AS bertobat kepada Allah dari dosa-dosanya, serta momen tobatnya diterima, momen berlabuhnya kapal Nabi Nuh di bukit Zuhdi usai dunia dilanda banjir yang membinasakan.

Selamatnya Nabi Ibrahim AS dari api raja Namrud yang membakar, momen Nabi Yunus AS keluar dari perut ikan Hiu, Nabi Yusuf AS dibebaskan dari penjara Mesir karena terkena fitnah, Nabi Ayub AS disembuhkan Allah dari penyakit yang menjijikkan atau momen Nabi Musa AS dan umatnya selamat dari pengejaran Firaun di Laut Merah.

Amaliah Hari Asyura

Ada banyak anjuran untuk memuliakan dan mengisi hari Asyura ini dengan ibadah-ibadah tertentu. Salah satu amaliah hari Asyura adalah dengan berpuasa. Rasulullah SAW sendiri bahkan pernah mewajibkan puasa Asyura.

Anjuran wajib untuk berpuasa Asyura ini datangnya sebelum kewajiban berpuasa Ramadlan. Yaitu disampaikan Rasulullah pada awal tahun kedua beliau tinggal di Madinah. Tujuh bulan setelahnya (18 bulan setelah tinggal di Madinah), Nabi Muhammad baru menerima wahyu perintah puasa Ramadlan (QS. Al-Baqarah: 183).

Dalam sebuah Hadits Sahih di kitab Sahih Bukhari disebutkan, bahwasanya setelah adanya kewajiban puasa Ramadlan, Rasulullah SAW tidak lagi mewajibkan puasa Asyura, tapi membebaskan umatnya, antara melaksanakan puasa Asyura atau tidak:

انَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِصِيَامِ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانَ كَانَ مَنْ شَاءَ صَامَ وَمَنْ شَاءَ أَفْطَرَ

“Sayidah Aisyah RA berkata, bahwasanya dahulu Rasulullah SAW memerintahkan untuk berpuasa di hari Asyura. Kemudia setelah puasa Ramadhan diwajibkan, maka siapa yang ingin berpuasa di hari Asyura ia boleh berpuasa, dan siapa yang ingin tidak berpuasa, maka ia juga boleh tidak berpuasa (berbuka)”. (HR. al-Bukhari No 1897)

Sementara anjuran kesunahan melaksanakan puasa Asyura tertuang dalam Hadits Ibnu Abbas yang menerangkan, bahwa tidak ada puasa sunah yang lebih diutamakan oleh Rasulullah SAW melebihi puasa Asyura.

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ –رضى الله عنهما– قَالَ مَا رَأَيْتُ النَّبِىَّ –صلى الله عليه وسلم– يَتَحَرَّى صِيَامَ يَوْمٍ فَضَّلَهُ عَلَى غَيْرِهِ ، إِلاَّ هَذَا الْيَوْمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَهَذَا الشَّهْرَ . يَعْنِى شَهْرَ رَمَضَانَ

“Dari Ibnu Abbas RA ia berkata, saya tidak pernah melihat Rasulullah SAW memperhatikan puasa satu hari yang diutamakannya melebihi atas yang lainnya selain puasa hari ini, yaitu hari Asyura dan bulan Ramadlan.” (HR. Bukhari)

Anjuran untuk berpuasa hari Asyura itu juga telah masyhur sebagaimana diceritakan dari Sahabat Ibnu Abbas, dalam sebuah Hadits sahih di kitab Sahih Bukhari, beliau berkata:

    قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ المَدِينَةَ فَرَأَى اليَهُودَ تَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ، فَقَالَ: «مَا هَذَا؟»، قَالُوا: هَذَا يَوْمٌ صَالِحٌ هَذَا يَوْمٌ نَجَّى اللَّهُ بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ عَدُوِّهِمْ، فَصَامَهُ مُوسَى، قَالَ: «فَأَنَا أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْكُمْ»، فَصَامَهُ، وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ  

“Nabi Muhammad SAW datang ke kota Madinah. Nabi kemudian melihat orang Yahudi puasa pada hari Asyura. Lalu Nabi Muhammad bertanya, ‘Ada kegiatan apa ini?’ Lalu mereka menjawab, ‘Hari ini adalah hari baik yaitu hari dimana Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuh mereka, kemudian Nabi Musa melakukan puasa atas hari tersebut.’ Nabi Muhammad SAW lalu berkata, ‘Saya lebih berhak atas Musa daripada kalian’. Nabi kemudian berpuasa untuk Asyura tersebut dan menyuruh kepada para Sahabat untuk menjalankannya.” (HR Bukhari: 2004)

Selain melakukan puasa pada tanggal 10 Muharram, amaliah hari Asyura lainnya adalah berpuasa pada tanggal 9 Muharam (puasa Tasu’a) yang mana anjuran ini bertujuan agar kita tidak menyerupai puasanya kaum Yahudi. Keterangan tentang hal ini diriwayatkan oleh Imam Baihaqi, yang menyebutkan bahwa kita dianjurkan pula untuk berpuasa di hari Tasu’a (9 Muharam):

  صُوْمُوْا التَّاسِعُ وَالْعَاشِرُ وَلَا تُشَبِّهُوْا بِالْيَهُوْدِ

“Berpuasalah pada hari Tasu’a dan Asyura, dan janganlah kalian menyerupai kaum Yahudi.”

Dalam satu keterangan lain, diriwayatkan oleh Sahabat Abdullah bin Abbas RA, bahwa beliau berkata: “Nabi Muhammad SAW, beliau bersabda, 'Jika aku masih hidup hingga tahun depan, pasti aku akan berpuasa pada hari kesembilan Muharam; Tasu’a.’” (HR Muslim).

Diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad dari sahabat Ibnu Abbas RA, secara marfu' (disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW) bahwa beliau berkata, "Puasalah pada hari Asyura dan bedakanlah diri kalian dengan kaum Yahudi. Puasalah sehari sebelumnya atau setelahnya."

Dalam disiplin ilmu fikih, Imam Syafi'i sebagaimana dalam kitabnya al-Um menegaskan bahwa kesunahan berpuasa di bulan Muharam ini ada 3 hari, yaitu kesunahan puasa Asyura, puasa Tasu'a dan puasa hari kesebelas Muharam.

Maka dari sini bisa diambil konklusi hukum, bahwa dalam konteks puasa Muharam, level yang paling utama pahalanya adalah seseorang yang melaksanakan puasa Tasu’a, Asyura dan puasa hari kesebelas, lalu level di bawahnya adalah orang yang melaksanakan puasa Tasu’a dan puasa Asyura saja, lalu level ketiga (terendah) adalah orang yang hanya melaksanakan puasa Asyura sahaja.

Sementara untuk hikmah dari puasa Asyura, disebutkan bahwasanya puasa Asyura dapat menghapus dosa setahun sebelumnya, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

سُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ فَقَالَ يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ

Rasulullah SAW ditanya tentang puasa Asyura, beliau menjawab, “Puasa Asyura dapat menghapus dosa setahun sebelumnya.” (HR. Muslim).

Yang dikehendaki dengan dihapusnya dosa-dosa dalam Hadits di atas adalah dosa-dosa kecil dan selain hak adami. Apabila seseorang tidak memiliki dosa, maka ganjaran atas puasa yang telah dilakukannya adalah dengan ditambahkan kebaikannya dan diangkat derajatnya.

Adapun untuk niat puasa Tasu’a, bisa menggunakan niat yang mudah dan simpel berikut ini:

نَوَيْتُ صَوْمَ تَاسُعَاء سُنَّةَ ِللهِ تَعَالَى

"Nawaitu shauma Tasu'a sunnata lillahi ta’ala; saya niat puasa hari Tasu’a, Sunah karena Allah Ta’ala.”

Atau boleh juga bacaan niat puasa Tasu’anya menggunakan:

 نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ سُنَّةِ التَا سُوعَاء لِلهِ تَعَالَى

“Nawaitu shauma ghadin ‘an ada-i sunnatit Tasu‘a lillahi ta‘ala; aku berniat puasa Sunah  Tasu‘a esok hari karena Allah SWT."

Sedangkan untuk niat puasa Asyura adalah:

 نَوَيْتُ صَوْمَ فِيْ يَوْمِ عَاشُوْرَاء سُنَّةً لِلَّهِ تَعَالَى

“Nawaitu shauma fii yaumi Asyuro sunnatan lillaahi ta’aalaa; aku niat puasa sunah Asyura Sunah karena Allah Ta’ala.”

Atau boleh juga niat puasa Asyura menggunakan niat yang lebih kamil berikut ini:

نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ سُنَّةِ ِعَا شُورَاء لِلهِ تَعَالَى

“Nawaitu shauma ghadin ‘an ada-i sunnati Asyura lillahi ta‘ala; aku berniat puasa sunah Asyura esok hari karena Allah SWT."

Selain berpuasa, amaliah hari asyura lain yang sangat dianjurkan adalah memberi sedekah. Syahdan, pada hari Asyura ini memang ada keistimewaan dan keutamaan tersendiri bagi orang yang mau bersedekah. Ini sebagaimana iriwayatkan dari Abu Musa al-Madini dari Ibnu Umar:

مَنْ صَامَ عَاشُوْرَاءَ فَكَأَنَّمَا صَامَ السَّنَةَ ، وَمَنْ تَصَدّقَ فِيْهِ كَانَ كَصَدَّقَةٍ السَّنَةِ

“Siapa yang berpuasa pada hari Asyura, maka seakan-akan ia seperti berpuasa satu tahun penuh. Dan barang siapa yang bersedekah pada hari Asyura, maka ia akan seperti bersedekah selama satu tahun.”

Itulah gambaran keutamaan puasa dan amaliah-amaliah positif di hari Asyura atau secara umum hari-hari lain di bulan Muharam yang dimuliakan oleh Allah SWT. Berangkat dari adanya kemuliaan dan keistimewaan hari-hari Muharam seperti sekarang ini, maka dalam tradisi masyarakat kita terdapat kebiasaan-kebiasaan baik semisal santunan fakir miskin, anak yatim dan kaum dluafa yang pelaksanaannya selalu ada di bulan Muharam. 

Wabakdu, terkait, adanya Hadits seputar anjuran memakai celak pada hari Asyura atau amaliah berlebihan lain yang dikhususkan di malam hari Asyura, beberapa sumber telah menyebutkan bahwa Hadits tersebut adalah Hadits maudlu’. Ini sebagaimana dikatakan Abu Muhammad Mahmud al-Hanafi dalam ‘Umdatul Qari Syarah Sahih al-Bukhari: 

 النَّوْع السَّادِس: مَا ورد فِي صَلَاة لَيْلَة عَاشُورَاء وَيَوْم عَاشُورَاء، وَفِي فضل الْكحل يَوْم عَاشُورَاء لَا يَصح، وَمن ذَلِك حَدِيث جُوَيْبِر عَن الضَّحَّاك عَن ابْن عَبَّاس رَفعه: (من اكتحل بالإثمد يَوْم عَاشُورَاء لم يرمد أبدا) ، وَهُوَ حَدِيث مَوْضُوع  

Artinya: “Nomor enam: Hadits yang menjelaskan tentang shalat malam Asyura dan hari Asyura, serta keutamaan memakai celak pada hari Asyura itu tidak shahih. Di hadits tersebut terdapat informasi dari Juwaibir dari al-Dhahhak dari Ibnu Abbas yang dianggap marfu’ dengan isi ‘Siapa yang memakai celak pada hari Asyura, maka tidak akan terjangkiti penyakit belek selamanya’. Hadits ini maudlu’ (palsu).”

Barangkali karena adanya euforia dan ekspektasi berlebihan masyarakat atas datangnya hari Asyura lantas membuat sebagian masyarakat menelan mentah-mentah informasi seputar keutamaan-keutamaan beribadah pada bulan Muharam, khususnya di hari Asyura.

Imbasnya terkadang ada yang berlebihan dalam mencari pembenaran amaliah yang dilakukan. Hal itu akan berbahaya jika sampai menisbahkan sebuah Hadits palsu kepada Rasulullah SAW. Akan tetapi, jika problemnya (misal) hanya mengaplikasikan Hadits lemah sebagai pijakan amaliah ibadah khusus di bulan Muharam. Itu menurut mayoritas ulama Syafiiah masih boleh dan bisa ditolerir.

Adapun bagi pihak-pihak yang alergi melakukan amaliah yang berlandaskan Hadits-hadits lemah, silakan berpegang pada prinsip Anda, toh Kanjeng Nabi juga membebaskan umatnya antara berpuasa atau tidak di hari Asyura ini. Tidak perlu alergi berlebihan, bahkan sampai-sampai melakukan tindakan anarki. Sebab Nabi Muhammad sendiri juga tidak pernah mencontohkan aksi (anarkis) yang demikian. Allahu a’lamu.

Baca Juga

Pilihan Editor

Saksikan Video Menarik Berikut: