Islam adalah agama yang tidak ingin memberatkan pemeluknya. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan seringkalinya memberikan berbagai rukhsah (keringanan) bagi pemeluknya di waktu dan keadaan tertentu.
Di antaranya, ketika dalam keadaan perjalanan (safar), Islam memberikan dua kemurahan demi kemudahan melaksanakan shalat baginya, yaitu jamak dan qashar.
Jamak berarti mengumpulkan dua shalat fardhu dalam satu shalat, sedangkan qashar bermakna meringkas jumlah rakaat shalat yang empat rakaat menjadi dua rakaat.
Selain itu, Islam juga memberikan kemurahan lain yang tidak berkaitan dengan safar (perjalanan), seperti jamak karena hujan dan sakit.
Dalil pokok yang dijadikan pedoman para ulama adalah firman Allah Swt dalam Al-Qur’an Surah an-Nisa Ayat 101, yaitu:
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ
“Dan apabila kamu bepergian di bumi, maka tidaklah berdosa kamu meng-qashar shalat” (QS. An-Nisa’: 101)
Syekh Ali ash-Shabuni dalam kitabnya yang berjudul Rawa’i al-Bayan fi Tafsir Ayat al-Ahkam, menjelaskan bahwa firman Allah Surat An-Nisa ayat 101 diatas merupakan dalil disyariatkannya shalat qashar saat melakukan perjalanan. Hal tersebut, menurut beliau karena redaksi, وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ maknanya adalah, “Ketika kalian semua melakukan perjalanan di muka bumi”.
Dalam ayat tersebut, masih menurut beliau, Allah Swt tidak mewajibkan perjalanan tersebut ditujukan dalam rangka berjihad, akan tetapi yang dimaksud adalah segala macam perjalanan. Oleh karena itulah redaksi ‘perjalanan’ pada ayat tersebut masih umum.
Para Fuqaha berbeda pendapat mengenai perjalanan bagaimanakah yang membolehkan seseorang untuk menqashar shalat.
Berikut kami kutipkan dari kitab Rawa’i al-Bayan karya Syekh Ali ash-Shabuni paparan beberapa perbedaan pendapatnya:
- Madzhab Syafi’i dan Hanbali berpendapat bahwa perjalanan yang memperbolehkan seseorang untuk menqashar shalat harus berupa perjalanan yang ditujukan dalam rangka ketaatan.
Seperti jihad, haji, umrah, mencari ilmu, dsb atau perjalanan yang sifatnya mubah, sepertihalnya perjalanan dalam rangka berdagang, rekreasi, dsb.
- Madzhab Maliki berpendapat bahwa perjalanan yang memperbolehkan seseorang untuk menqashar shalat adalah perjalanan yang bersifat mubah.
Mereka berpendapat demikian berdasarkan riwayat hadits yang mengatakan pada suatu ketika ada seseorang mendatangi Nabi Muhammad Saw, kemudian berkata, “Wahai Rasulullah, aku adalah seorang pedagang, yang sering berlalu lalang ke lautan.” Kemudian Nabi Muhammad Saw memerintahkannya untuk melakukan shalat hanya dengan dua rakaat (qashar).
Imam Ibn Katsir mengomentari riwayat tersebut sebagai hadits mursal.
- Madzhab Hanafi, ats-Tsauri, dan Daud berpendapat bahwa perjalanan yang memperbolehkan seseorang untuk menqashar shalat adalah perjalanan secara umum, baik perjalanan yang bersifat mubah atau bahkan perjalanan yang bersifat terpaksa (udzur).
Seperti perjalanan dalam rangka membegal orang dsb. Mereka berpendapat demikian karena menurut mazhab mereka, hukum shalat qashar itu adalah fardhu ain.
Imam Ibnu Arabi dalam kitabnya yang berjudul Ahkam al-Qur’an berkata, “Adapun orang yang berpendapat bahwa diperbolehkan mengqashar shalat dalam perjalanan bermaksiat—karena menurutnya hukum shalat qashar adalah fardhu ain—adalah pendapat yang rusak. Hal tersebut karena Allah Swt menjadikan shalat qashar dalam firman-Nya hanya sebagai bentuk dispensasi. Adapun hukum asalnya tetaplah harus melakukan shalat secara sempurna rakaatnya (tidak qashar). Sedangkan dispensasi (rukhsah) tidaklah diperbolehkan bagi orang yang melakukan perjalanan dalam rangka bermaksiat. Hal ini sama seperti rukhsah dalam hal mengusap muzah (mash al-khuffain)”.
Demikianlah sedikit paparan dari berbagai pendapat mengenai perjalanan bagaimanakah yang memperbolehkan seseorang untuk menqashar shalat. Islam adalah agama yang rahmatan lil alamin dan enggan memberatkan pemeluknya dalam menjalankan tatanan aturan syariatnya, namun tentunya dengan memperhatikan batas-batas yang telah ditentukan, bukannya malah digunakan untuk berbuat semena-mena dan melampaui batas. Wallahu a’lamu bishawab