Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Pesan Quraish Shihab untuk Ulama dan Dai di Era Digital

Avatar photo
31
×

Pesan Quraish Shihab untuk Ulama dan Dai di Era Digital

Share this article

Dalam acara AMID  (Annual Meeting of Islamic Dakwah 2021) yang diselenggarakan pada sabtu 20/11/202 atas kerjasama Cari Ustadz, OIAAI, Pusat Studi Al-Qur’an dan Majlis Hukama’ al-Muslimin, Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab menyampaikan beberapa pesan dan wejangan kepada para ulama, dai dan daiyah.

Di antaranya beliau mengatakan, “Orang yang memiliki pengetahuan agama, atau pengetahuan apapun, jangan pernah merasa telah mengetahui segalanya. Kita harus belajar.”

Meneladani Imam Malik

Quraish Shihab mencontohkan seorang imam besar dari kota Madinah yang senantiasa rendah diri dan jujur mengatakan “tidak tahu” ketika dirinya tidak mengetahui jawaban dari pertanyaan yang ditanyakan.

Profesor di bidang tafsir ini menceritakan, suatu ketika di Madinah, Imam Malik dikunjungi oleh sekelompok orang dari Maroko yang mengajukan sekian puluh pertanyaan. Namun, dari sekian pertanyaan yang diajukan, beliau hanya menjawab 8 pertanyaan saja. Sisanya beliau menjawab dengan ungkapan, “Saya tidak tahu.”

Secara tegas, pendiri PSQ (pusat Studi Al-Quran) ini mengatakan: “لا أعلم نصف العلم” (Tidak tahu itu merupakan setengah dari pengetahuan). Artinya, jika seseorang mengatakan tidak tahu, paling tidak ini menunjukkan bahwa ia mengetahui kapasitas dirinya.

Seharusnya seorang ulama, dai dan daiyah mengukur kapasitas diri dan keilmuannya sebelum menjawab sebuah pertanyaan. Tidak lantas menjawab semua pertanyaan yang diajukan. Karena kapasitas seseorang tidaklah sama antara satu dengan yang lainnya. Sebagaimana ulama adalah orang yang memiliki pengetahuan tentang agama, sedangkan dokter adalah seorang yang memiliki pengetahuan tentang kesehatan. Bukan sebaliknya.

Verifikasi di Tengah Derasnya Informasi

Dalam acara yang mengambil tema Dakwah Islam dan Perubahan Masyarakat di Era Digital, beliau juga menyatakan bahwa pada saat ini, orang biasa maupun ulama dihidangkan banyak informasi yang tidak jelas. Baik dari sisi kebenarannya, baik-buruknya, maupun akurasinya. Oleh karena itu, beliau berpesan kepada para ulama, dai dan daiyah secara khusus, dan masyarakat secara umum untuk senantiasa tidak mengambil informasi dan menelannya mentah-mentah.

Beliau berkata: “لا تكن كحاطب ليل” (La Takun ka Hatib Lailin). Jangan menjadi seperti orang yang mengumpulkan kayu bakar di malam hari. Artinya mengambil dan mengakses sesuatu tanpa penelitian (terlebih dahulu), tanpa diketahui benar atau tidaknya.

Prof Quraish menceritakan bahwa ketika menjadi pembimbing haji, beliau selalu berpesan kepada para jamaah yang turun di Muzdalifah agar berhati-hati ketika mengambil batu pada malam hari, jangan sampai mengambil kotoran binatang yang sudah membeku dan mengeras.

Baca juga:

Menurutnya, Sayyid Rasyid Ridha (w. 1354 H / 1935 M) dalam buku tafsirnya Al-Manar menyatakan bahwa Imam Jalaluddin as-Suyuthi (w. 911 H/1505) yang begitu hebat, sangat terkenal termasuk di Indonesia, tidak jarang melakukan yang dinamakan “hatib laili”; mengumpulkan apa yang didapati lalu mencantumkan dalam buku-bukunya. Bukan demikian, namun seseorang harus kritis dalam menyerap informasi.

Beliau juga mengatakan bahwa seseorang yang menelan mentah-mentah informasi yang didapatkan kemudian menyebarkannya tanpa verifikasi dan penelitian terlebih dahulu, maka dia dikategorikan sebagai penyebar kebohongan dan kepalsuan yang bertentangan dengan agama.

Dengan tegas beliau berkata, “Jangan apa yang Anda dapatkan di internet diambil dan disampaikan tanpa melakukan penelitian. Jika itu dilakukan maka anda akan menjadi penyebar kebohongan dan kepalsuan. Ini bertentangan dengan agama.”

Beliau menyesalkan betapa banyak orang saat ini yang ala kadarnya dalam mengambil suatu Informasi tanpa merujuk kepada sumber-sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, beliau mengingatkan kepada para ulama, dai dan daiyah bahwa pendengaran, mata dan hati akan dipertanggung jawabkan kelak, sebagaimana tertera dalam surat al Isra’ ayat 36.

إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا

“Seungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya.”

Definisi Ulama menurut Al-Qur’an

Sebelum menyampaikan materinya yang berjudul “Ulama dan Pesan Moderasi”, mantan Ketua Umum Organisasi Alumni Al-Azhar Internasional Cabang Indonesia ini menyampaikan tentang definisi ulama dalam pandangan Al-Qur’an. Kata ulama dalam KBBI diartikan sebagai ahli dalam agama Islam. Kata ini dalam bahasa Indonesia bemakna tunggal. Namun dalam bahasa aslinya, yakni Arab, kata ulama ini merupakan bentuk jamak/plural dari kata alim. Secara bahasa, kata “alim” berarti orang yang berpengetahuan, siapapun yang berpengetahuan maka dia dikatakan alim, baik dia ahli dalam bidang tertentu maupun tidak ahli.

Namun, jika merujuk kepada penggunaan Al-Quran, kata ulama berarti orang-orang yang memiliki pengetahuan tentang alam raya. Bukan hanya sekedar ilmu agama semata, apalagi hanya ilmu agama Islam.

Di sisi lain, Al-Quran membedakan antara kata ulama (علماء) dan alimuna (عالمون). Meskipun kata “Alimuna” juga bentuk jamak dari kata alim tapi ia bermakna yang lebih spesifik, yaitu orang-orang yang ahli dalam bidangnya atau pakar. Sedangkan ulama bermakna orang-orang yang berpengetahuan yang tidak harus ahli dalam bidangnya.

Dalam hal ini, siapapun bisa masuk dalam kategori ulama walaupun pengetahuannya terbatas. Namun belum tentu termasuk dalam kategori sebagai “alimuna” yang berarti pakar dalam keahliannya.

Kontributor

  • Rozi Nawafi

    Ahli ilmu qira'at Al-Qur'an Asyrah al-mutawatirah bersanad sampai kepada Nabi. Wakil koordinator pendidikan dan pengajian di Pesantren Darussalam Keputih Surabaya dan pengisi acara Kiswah Tv 9 Nusantara NU Jatim. Penulis buku “Mengarungi Samudra Kemuliaan 10 Imam Qira’at.”