Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Buku

Bekerja Sebagai Jalan Bertasawuf, Ajaran Suluk Ibnu Athaillah As-Sakandari

Avatar photo
35
×

Bekerja Sebagai Jalan Bertasawuf, Ajaran Suluk Ibnu Athaillah As-Sakandari

Share this article

Dalam pemahaman yang biasa kita dengar atau pelajari, tasawuf identik dengan meninggalkan dunia beserta hal-hal yang berkaitan dengannya. Akan tetapi, berbeda halnya dengan yang dijelaskan Ibnu Athaillah as-Sakandari dalam buku Istirahatkan Dirimu dari Kesibukan Duniawi ini.

Dalam buku yang berjudul asli At-Tanwir fi Isqath at-Tadbir ini, Ibnu Athaillah justru mendorong kita untuk bekerja dan berusaha sebaik-baiknya, semaksimal yang kita bisa.

Menurutnya, bekerja merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ibadah. Bahkan, terkait urusan mencari rezeki, Ibnu Athaillah as-Sakandari dalam bukunya ini mengurai secara rinci sepuluh hal yang harus kita lakukan sebelum berangkat kerja. Agar apa yang kita kerjakan tidak hanya sebatas jadi rutinitas duniawi saja.

Tidak hanya perkara rezeki, Ibnu Athaillah juga memiliki konsep zuhud yang sama sekali lain. Beliau mendefinisikan zuhud secara berbeda dari para sufi besar lainnya. Dalam konsep zuhudnya, zuhud terbagi menjadi dua kondisi, yaitu saat kita mendapatkan rezeki dan saat kita kehilangannya.

Sebenarnya, ada banyak tema lain yang tak kalah menarik dalam buku ini. Akan tetapi, saya hanya ingin fokus pada pembahasan tentang konsep rezeki dan zuhud Ibnu Athaillah as-Sakandari.

Antara Perintah Bekerja dan Beribadah

Sebagai manusia yang hidup di dunia, tentu kita harus mencari rezeki untuk mendapatkan penghidupan. Di samping itu, kita juga harus menjaga kualitas ibadah agar tidak lalai dari mengingat Allah swt.

Sayangnya, dua kondisi ini kadang kala menjadi persoalan yang dibenturkan. Seolah-olah bekerja secara maksimal dianggap sebagai upaya dalam mencari dunia yang hina. Sementara beribadah secara baik dan terus menerus dianggap sebagai upaya meraih kebaikan akhirat yang mulia.

Padahal, sejatinya bekerja dan mencari dunia tidaklah dilarang, bahkan diperintahkan oleh Allah swt.,

وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰواۗ 

“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. al-Baqarah [2]: 275)

Ada juga hadits yang menyatakan,

 فَاتَّقُوا اللهَ، وَأَجْمِلُوا فِي الطَّلَبِ

“Maka bertakwalah pada Allah dan carilah rezeki dengan sebaik-baiknya.”

Melalui ayat al-Quran dan hadits di atas, Ibnu Athaillah hendak menjelaskan kehidupan yang seimbang antara mencari rezeki dan beribadah kepada Allah. Bekerja tidak dilarang di dalam Islam selama pekerjaan yang dilakukan itu halal, baik, dan tawakal.

Baca juga: Jangan Khawatir Urusan Rezeki, Pesan Syekh Sya’rawi

“Hal-hal duniawi tidak mutlak tercela, juga tidak mutlak terpuji,” kata Ibnu Athaillah as-Sakandari, “Hal-hal duniawi yang terpuji adalah perbuatan yang dapat menolongmu untuk taat kepada Allah swt. dan membangkitkan motivasi berbakti kepada-Nya.” Dengan demikian, jika pekerjaan kita membuat kita semakin bersemangat untuk senantiasa patuh dan tunduk kepada Allah swt., maka hal itu sah-sah saja.

Di bagian akhir buku, Ibnu Athaillah melengkapi penjelasannya dengan ijazah doa agar kita dimudahkan dalam mencari rezeki di dunia.

Konsep Zuhud Ibnu Athaillah as-Sakandari

Dalam berbagai ajaran tasawuf, zuhud sering kali dipahami sebagai laku meninggalkan dunia dan mengejar akhirat sepenuhnya. Seperti yang diungkap Imam al-Ghazali, “Barang siapa meninggalkan kelebihan dunia dan tidak menyenanginya serta menginginkan akhirat, maka dia adalah orang zuhud terhadap dunia.”

Akan tetapi, berbeda halnya dengan Ibnu Athaillah as-Sakandari. Dalam konsepnya, zuhud terbagi menjadi dua kondisi, yaitu saat kita mendapatkan rezeki dan saat kita kehilangannya.

Saat kita mendapatkan rezeki lalu kita lebih mendahulukan orang lain dan tidak mementingkan diri sendiri, menurut Ibnu Athaillah, tandanya kita sudah zuhud. Pun sama halnya dengan saat kita tenang dan tidak merasa terbebani tatkala rezeki kita tiba-tiba menghilang.

Dari sini, kita bisa berkesimpulan bahwa ada dua sikap yang menandakan kalau seseorang telah zuhud. Pertama, ia yang mementingkan orang lain saat menerima rezeki dan kedua, ia yang merasa tenang saat kehilangan rezeki.

Pada hakekatnya, kedua sikap tersebut berkaitan erat dengan rasa syukur kepada Allah swt. Sikap mementingkan orang lain merupakan wujud syukur atas nikmat memperoleh rezeki. Sementara itu, bentuk syukur atas nikmat kehilangan adalah dengan tetap bersikap tenang.

“Kedua sikap itu,” tulis Ibnu Athaillah, “merupakan buah dari pemahaman hakiki tentang Allah dan makrifat.” Itulah mengapa kedua sikap tersebut menjadi penanda kalau seseorang telah berlaku zuhud di dunia.

Baca juga: Doa Tawakal Pelancar Rezeki dari Baginda Nabi

Melalui buku Istirahatkan Dirimu dari Kesibukan Duniawi yang diterjemahkan secara apik oleh Turos Pustaka dari kitab At-Tanwir fi Isqath at-Tadbir ini, ajaran tasawuf yang terkesan ruwet dan melangit, menjadi membumi dan mudah dipahami. Barangkali inilah poin utama kelebihan buku ini. Selain itu, buku terjemahan ini juga dilengkapi dengan peta buku, yang semakin memudahkan pembaca.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat kita simpulkan bahwa ajaran suluk Ibnu Athaillah as-Sakandari tidak berusaha untuk meninggalkan dunia sepenuhnya. Akan tetapi, menyeimbangkan antara porsi dunia dan akhirat. Ibnu Athaillah as-Sakandari seakan-akan hendak mengajari kita cara hidup baik di dunia, tapi tidak menjadikan diri bagian dari dunia.

Judul: Istirahatkan Dirimu dari Kesibukan Duniawi (diterjemahkan dari At-Tanwir fi Isqath at-Tadbir)
Penulis: Ibnu Athaillah as-Sakandari 
Tebal: 428 halaman
Tahun: September, 2021
Penerbit: Turos Pustaka 

Kontributor

  • Ariza Fahlaivi

    Blogger, Content Writer, & Alumnus Kampus Fiksi Diva Press. Bisa dihubungi melalui: arizafahlaivi@gmail.com