Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Esai

Sejarah pengkafiran dalam Islam

Avatar photo
37
×

Sejarah pengkafiran dalam Islam

Share this article

Sudah pasti bahwa umat Islam pasti pernah mendengar kata kafir. Karena kata ini adalah kata yang lazim diucapkan satu kelompok kepada kelompok lain, terutama dengan niat untuk merendahkan atau menyesatkan. Lau bagaimana sebenarnya kata kafir di konseptualisasikan didalam al-Qur’an. Kalau kita perhatikan secara semantik, kata kafir biasanya diartikan sebagai “tirai” (tutup).

Itu sebabnya, misalnya cover buku disebut cover karena menutupi isinya. Sarung pedang disebut sebagai kafir menutupi pedangnya. Bahkan, didalam al-Qur’an para petani juga disebut dengan “kuffar” (jamak dari kafir).

كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَباتُهُ

Artinya: “Seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani.” (QS. Al-Hadid: 20)

Kenapa para petani disebut sebagai kafir? Karena para petani menutup benih dengan tanah (kafir adalah tutup atau tindakan menutupi). Orang yang tertutup hatinya tidak bisa menangkap, tidak bisa melihat (benar dan salah) bisa juga disebut sebagai orang yang kafir.

Begitu juga, jika kita perhatikan ayat lain dalam al-Qur’an, kita akan berkata bahwa kafir merupakan antonim dari iman. Kufr adalah lawan kata dari kata iman, yaitu orang-orang yang mengingkari Allah swt. dan ayat-ayat-Nya. Dikatakan, kata kafir juga menunjuk kepada orang yang tidak mensyukuri terhadap rahmat dan karunia yang diberikan oleh Allah swt. Al-Qur’an menyebutkan:

وَاِذْ تَاَذَّنَ رَبُّكُمْ لَىِٕنْ شَكَرْتُمْ لَاَزِيْدَنَّكُمْ وَلَىِٕنْ كَفَرْتُمْ اِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ

Artinya: (Ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan maklumat, Sungguh jika kalian bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu. Tetapi jika kalian mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.” (QS. Ibrahim: 7)

Kufur nikmat adalah perbuatan tercela dan nista. Secara moral, pengingkaran atas kebaikan orang lain merupakan perbuatan buruk secara etis. Kufur nikmat hanya dilakukan oleh orang yang memiliki standar moral yang rendah.

كفران النعمة لؤم أي عدم الشكر للنعمة دليل على دناءة النفس

“Kufur nikmat adalah hina, maksudnya tidak mensyukuri nikmat merupakan tanda kerendahan diri seseorang.(Syekh Nawawi Banten, Nashaihul Ibad, [Indonesia, Daru Ihayil Kutubil Arabiyyah: tanpa tahun], hlm. 7).

Lebih dari itu, ayat lain dalam al-Qur’an menyatakan bahwa, orang yang berputus asa juga disebut orang-orang kafir.

لَا تَا۟يْـَٔسُوْا مِنْ رَّوْحِ اللّٰهِ اِنَّهٗ لَا يَا۟يْـَٔسُ مِنْ رَّوْحِ اللّٰهِ اِلَّا الْقَوْمُ الْكٰفِرُوْنَ

Artinya: “Jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.(QS. Yusuf: 87)

Di ayat yang lain, di sebutkan bahwa orang kafir itu adalah orang-orang dhalim yang melakukan ketidakadilan, penindasan, bahkan membiarkan orang-orang miskin berada di dalam kemiskinannya, sementara dia seorang pemimpin. Pertanyaannya adalah, bagaimana cara kita menyikapi orang-orang kafir ini? Al-Qur’an mengatakan:

لَّا يَتَّخِذِ ٱلْمُؤْمِنُونَ ٱلْكَٰفِرِينَ أَوْلِيَآءَ مِن دُونِ ٱلْمُؤْمِنِينَ

Artinya: “Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin.” (QS. Ali Imran: 28)

Jika kita mengartikan kata kafir sebagai orang yang mudah berputus asa, maka kita tidak boleh mengangkat seorang pemimpin yang pesimis, pemimpin yang mudah berputus asa, dan pemimpin yang selalu mengirimkan pesan ke tengah masyarakat tentang keputusasaan, bukan tentang sebuah pengharapan.

Sama, jika kita mengartikan kata kafir dengan orang-orang yang dhalim, maka orang-orang beriman tidak boleh mengangkat pemimpin yang dhalim. Adalah seorang pemimpin yang rekam jejaknya suka melakukan kekerasan dan membiarkan ketidakadilan terjadi di tengah masyarakat.

Dengan demikian, kata kafir tidak menunjuk kepada satu individu secara terbatas, melainkan kata kafir dalam al-Qur’an memiliki makna yang luas seperti, kepada orang yang berputus asa, dhalim, mengingkari ayat Allah swt. Maka, siapa saja diantara mereka, dia sebenarnya adalah orang-orang kafir. Karena itu, jika dia (kafir) seorang pemimpin dan kita jadikan sebagai pemimpin kita (padahal dia kafir), maka pasti akan merugikan seluruhnya. Rugi bukan hanya dirinya, akan tetapi juga orang lain.

Lalu bagaimana sebenarnya sejarah pengkafiran dalam Islam

Terma kafir sebenarnya telah ada sejak masa Rasulullah saw. dibuktikan dengan banyaknya ayat-ayat al-Qur’an mengulas tentang kafir, baik dari sisi pelakunya maupun perbuatannya. Ini menunjukkan bahwa, menyematan vonis kafir (takfir) telah ada sejak masa itu. Munculnya konsep takfir di masa ini di dukung dengan dalil-dalil syar’i berupa wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah saw. Karena itu, vonis kafir ini salah satu bagian dari konsep syariat dalam Islam, sehingga dalam penerapannya harus berdasarkan dalil-dalil syar’i.

Selama periode Nabi ataupun pada masa pemerintahan Abu Bakar, Umar, dan Ustman, tidak pernah terjadi perpecahan di antara umat Islam. Perbedaan pandangan yang terjadi dalam beberapa seperti wafatnya Rasulullah saw. pemakaman beliau, peristiwa Tsaqifah, dan peperangan terhadap orang-orang yang murtad, serta dalam beberapa masalah hukum berakhir dan dapat diselesaikan tanpa adanya perpecahan di tubuh umat Islam.

Namun, setelah masa itu, terjadi perpecahan pertama kali dalam tubuh umat Islam yang di latarbelakangi oleh penyematan gelar kafir tanpa ditopang dalil syar’i. Yaitu sikap yang dilakukan kalangan Khawarij terhadap sebagian sahabat Nabi. Mereka menganggap pelaku dosa besar dari kalangan umat Islam telah keluar dari Islam dan memasukkannya ke dalam golongan kafir. Bahkan memperlakukannya seperti orang kafir serta menghalalkan darah dan harta kaum muslimin.

Syahdan, Tragedi pertama yang mengakibatkan perpecahan di tubuh umat Islam adalah tragedi yang menimpa Ustman Ibn Affan yang berakhir dengan pembunuhan dan pertikaian kaum muslimin. Saat terjadi peristiwa yang memilukan ini, muncullah benih pemikiran sesat yang diusung oleh kelompok-kelompok yang memisahkan diri dari kaum muslimin, baik secara keyakinan dan pedang. Sebagaimana yang dilakukan olah Khawarij dan Syi’ah ekstrim, atau hanya sebatas keyakinan saja, seperti kaum Syi’ah, Jahmiyyah, dan Mu’tazilah.

Akibat terbunuhnya Ustman, fitnah pun terjadi berupa perang Jamal dan perang Siffin. Melalui celah-celah peristiwa ini, lahirlah awal penyimpangan dan pemisahan dari jamaah kaum muslimin dan dari pemimpin yang sah. Yaitu dengan lahirnya Khawarij dan Syi’ah pada tahun 37 H dan tahun-tahun setelahnya.

Kedua kelompok ini muncul saat terjadi fitnah yang keduanya berasal dari benih-benih ajaran Saba’iyah. Sekalipun terdapat beberapa perbedaan antar keduanya, misalnya dalam masalah vonis kafir. Baik Khawarij maupun Syi’ah mengkafirkan kaum muslimin yang tidak sepaham dengan mereka. Namun, prinsip-prinsip takfir antar keduanya memiliki perbedaan.

Kaum Khawarij mengkafirkan sebagian sahabat Nabi disebabkan arbitase (tahkim), baik karena melakukannya maupun membenarkannya. Mereka juga mengkafirkan pelaku dosa besar di antara kaum muslimin. Bahkan ironisnya, mengkafirkan siapa pun yang tidak sepaham dengan mereka dan tidak bergabung dengan mereka.

Sedangkan kaum Syi’ah, disamping mengkafirkan seluruh sahabat Nabi dan mengklaim bahwa mereka semua telah murtad, kecuali beberapa orang saja. Termasuk juga, mereka mengkafirkan seluruh pemuka ulama kaum muslimin.

Pada akhir masa generasi sahabat, tepatnya di akhir masa dinasti Umawiyah dan awal dinasti Abbasiyah, virus takfir tanpa dalil syar’i menjangkiti Mu’tazilah dengan mengembangkan konsep Manzilah baina alManzilatain bagi pelaku dosa besar. Baginya, pelaku dosa besar tidak mukmin dan tidak pula kafir, namun disebut fasiq. Ketika di dunia, ia berada manzilah baina al-manzilatain. Sedangkan di akhirat ia tidak masuk surga. Sebab, tidak melakukan amalan penghuni surga (bahkan ia akan kekal di dalam neraka).

Seiring dengan perjalanan waktu, tradisi vonis kafir juga menjangkiti sebagian kalangan fuqaha’ (ahli fikih). Fenomena ini kerap terjadi di kalangan pengikut madzhab, seperti pengikut Imam Malik, Syafi’i, Ahmad Ibn Hanbal, dan lainnya. Ini terlihat dari pernyataan Ar-Rusytugfani yang mengatakan, “Tidak boleh pernikahan antara Ahl as-Sunnah dan Mu‘tazilah.” Al-Fadhl pun juga menimpali, “Tidak boleh menikah dengan orang yang mengatakan, “Aku mukmin, insyaAllah Taala. Sebab, orang yang mengatakan seperti itu telah kafir.”

Dari sini kita tahu bahwa, kandungan dari pernyataannya tersebut adalah larangan menikah dengan kalangan Syafi’iyyah. Fenomena vonis kafir di kalangan fuqaha’ juga terlihat dari ungkapan Abu al-Qasim al-Bakari yang membantah kalangan Hanabilah di hadapan murid-muridnya.

Demikian halnya juga yang terjadi pada Ibnu Taimiyah. Karena suhu kehidupan politik yang tidak menentu dan dilatari serangan militer orang-orang kafir terhadap kaum muslimin saat itu, mengharuskannya ikut berpartisipasi dalam jihad fi sabilillah, bahkan menjadi salah satu penggeraknya.

Iklim politik dan keagamaan yang terjadi di masa Ibn Taimiyah itu mengharuskan dia menyusun sejumlah karya yang memuat konsep-konsep dasar keislaman yang menjadi pegangan kaum muslimin dan membantah syubhat-syubhat yang di hadapi umat Islam. Melalui ketekunan dan semangat keislamannya, Ibn Taimiyah mewariskan karya tulis hingga mencapai 500-an jilid dalam usia 67 tahun.

Menariknya, rata-rata karya tulis Ibn Taimiyah berisikan bantahan kepada kelompok-kelompok yang menyimpang, diantaranya; al-Jawab as-Sahih li Man Baddala Din al-Masih (sebagai bantahan terhadap orang-orang Nasrani), Risalah fi ar-Rad ala Ibn Arabi (sebagai bantahan terhadap pemikiran Ibn Arabi perihal keimanan Fir’aun), ar-Rad ala alBakari (sebagai bantahan terhadap al-Bakari perihal istigasah), ar-Rad ala alMantiqin (sebagai bantahan terhadap ahli kalam), as-Sarim al-Maslul (sebagai bantahan terhadap para penghina Nabi saw), Minhaj as Sunnah anNabawiyyah (sebagai bantahan terhadap kalangan Rafidah) dan lainnya.

Konsep takfir pun tak lepas dari perhatian Ibn Taimiyah yang dia bahas dalam sejumlah karya tulis. Konsep ini banyak ditemui dalam kitab Majmu’ Fatawa, Minhaj as-Sunnah anNabawiyyah, as-Sarim al-Maslul, dan lainnya. Ini menunjukkan bahwa permasalahan takfir merupakan perkara penting yang harus dipahami dengan benar berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah.

Masih tentang pengkafiran. Ifrat (berlebih-lebihan) dan tafrit (meremehkan atau longgar) dalam masalah takfir dalam tubuh umat Islam menjadi tantangan tersendiri bagi Ibn Taimiyah. Sebagai contoh Mu’tazilah mengkafirkan pelaku dosa besar dan akan kekal di neraka, sekalipun mereka tidak menyematkan gelar kafir, tapi dengan gelar manzilah baina al-manzilatain.

Kelompok yang terlalu meremehkan dalam masalah takfir diwakili kalangan Murjiah yang memiliki prinsip bertolak belakang dengan Khawarij. Bahkan, mereka sampai pada taraf tidak mengkafirkan orang atau golongan yang nyata-nyata kafir. Tentunya, hal ini berpulang kepada konsep iman yang mereka miliki. Menurut pandangan mereka, iman hanya sebatas membenarkan dan mengetahui semata. Wallahu a’lam bisshawab.

Kontributor

  • Salman Akif Faylasuf

    Sempat nyantri di PP Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Situbondo. Sekarang nyantri di PP Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.