Setelah membaca sekian banyak fakta sejarah, agaknya masa rasulullah saw,. generasi sahabat dan para tabi’in merupakan masa keemasan perempuan. Pada masa-masa itu perempuan memilik banyak ruang bebas guna mengekspresikan keberagamaannya tanpa ada interpensi dari siapapun.
Sebagaimana laki-laki memiliki peran dan kiprah luar biasa dalam banyak hal—terutama menyangkut dakwah Islam dan penyebarannya ke berbagai daerah—perempuan juga demikian, berperan penting dalam banyak lini kehidupan tak terkecuali hal-hal yang berkaitan dengan agama dan ilmu pengetahuan.
Pasca tiga generasi awal tersebut, peran perempuan—sedikit demi sedikit—makin terpinggirkan hingga akhirnya mereka benar-benar terlempar dari “pentas persaingan”. Diakui atau tidak, pada titik ini lima prinsip kemanusian universal (al-Kulliyat al-Khams)—meliputi Hifzh al-Din (hak beragama), Hifzh al-Nafs (hak hidup), Hifzh al-Aql (hak mengekspresikan gagasan atau pikiran), Hifzh al-Irdh atau Hifzh al-Nasl (hak atas kehormatan tubuh dan kesehatan reproduksi) dan Hifzh al-Mal (hak kepemilikan atas harta)—yang seharusnya dimiliki secara penuh oleh semua individu (termasuk perempuan) malah dipersempit ruang lingkupnya oleh tafsir-tafsir keagamaan otoritatif yang sama sekali tidak ramah perempuan.
Feomena ini membuat sementara orang mencurigai Islam sebagai agama yang tidak ramah kepada pemeluknya (perempuan). Tentu saja, ini tidak sejalan dengan teks-teks dan tradisi keagamaan (al-Qur’an, Sunnah, Maqosid al-Syari’ah dan lainnya) yang mendudukkan laki-laki dan perempuan di posisi yang sama. “Inna Akromakum ‘Indallahi Atqokum”, sejatinya individu yang mendapatkan kedudukan mulia di sisi Allah adalah dia yang paling bertakwa, begitu kata al-Qur’an. Dengan kata lain, kemuliaan itu bisa diperoleh siapapun tanpa membeda-bedakan jenis kelamin.
Fakta bahwa perempuan—dan hak-hak mengekspresikan keberagamaannya—telah direnggut kebebasannya diceritakan oleh Syekh Muhammad al-Ghozali, salah satu ulama Mesir yang diakui otoritas keilmuan dan integritas pribadinya, dalam bukunya yang berjudul “Qodhaya al-Mar’ah Baina al-Taqolid al-Rokidah Wa al-Wafidah”.
Salah satu di antaranya adalah larangan Nabi terhadap kaum perempuan agar tidak ke masjid dengan aroma wewangian yang semerbak dan tidak juga dengan pakaian terbuka. Tetapi Ibnu Hajar al-Asqalani, kata Muhammad al-Ghazali—dalam Syarah Fath al-Bari—mengomentari hadits itu dan berpendapat bahwa seyogyanya perempuan pergi ke masjid dengan pakaian dapur yang masih beraroma makanan dan aneka sayuran lainnya. Bahkan sebagian ulama melarang perempuan pergi ke masjid. Bagian terakhir inilah yang akan dikupas tuntas dalam tulisan kali ini.
Dalil perempuan boleh pergi ke masjid
Sebelum jauh membangun narasi bantahan terhadap argumentasi ulama yang melarang perempuan ke masjid, ada baiknya penulis menyajikan dalil kebolehannya terlebih dahulu. Dalam al-Qur’an surat a-Nur ayat 36-37, Allah berfirman :
فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالآصَال(36) رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالأبْصَارُ
Artinya : “Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang, laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan salat, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi guncang.”
Sebagian pakar tafsir memaknai kata “rijaal” dalam ayat di atas dengan arti laki-laki. Dampak dari penafsiran itu bisa kita lihat di sementara masyarakat yang melarang perempuan shalat di masjid.
Bahkan Ibnu Katsir ketika menjelaskan ayat ini dalam tafsirnya ia katakan “Perempuan lebih baik shalat di rumah ketimbang di masjid. Kalaupun hendak berjamaah ke masjid, mereka tidak boleh bersolek dan memakai wewangian yang dapat mengganggu kekhusyuan jamaah laki-laki”.
Padahal, baik orang Arab maupun al-Qur’an menggunakan kata “rijaal” untuk laki-laki dan perempuan. Hal ini bisa kita saksikan misalnya dalam surat al-A’raf ayat 46, surat al-Fath ayat 25 dan lainnya.
Ayat lain yang secara umum menjelaskan kebolehan perempuan ikut serta dalam memakmurkan masjid bisa kita jumpai dalam al-Qur’an surat at-Taubah ayat 18 :
إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَٰجِدَ ٱللَّهِ مَنْ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ وَأَقَامَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَى ٱلزَّكَوٰةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلَّا ٱللَّهَ فَعَسَىٰٓ أُو۟لَٰٓئِكَ أَن يَكُونُوا۟ مِنَ ٱلْمُهْتَدِينَ
Artinya : “Sesungguhnya yang memakmurkan masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta (tetap) melaksanakan salat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada apa pun) kecuali kepada Allah. Maka mudah-mudahan mereka termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Di kesempatan lain, Sayyidah Aisyah menceritakan tentang kebiasaan perempuan-perempuan di masa rasulullah yang senantiasa shalat Subuh di masjid bersama rasulullah—dan jamaah laki-laki lainnya—dan pulang tanpa ada satu orang pun yang tahu.
Telah masyhur juga kisah Ummu Salamah yang berkisah bahwa selepas shalat lima waktu perempuan-perempuan—di masa rasulullah—langsung bergegas pulang. Sedangkan rasulullah dan para jamaah laki-laki masih melanjutkan dengan bincang-bincang santai. Rasanya, dua kisah ini sudah cukup menjadi bukti bahwa perempuan di masa rasul tidak dilarang untuk pergi ke masjid. Sejatinya masih banyak lagi hadits lain yang makin menguatkan kebolehan itu.
Sanggahan terhadap Ulama yang melarang
Betapapun hadits-hadits yang mengisahkan perempuan-perempuan di masa Nabi pergi ke masjid adalah hadits-hadits shahih, tetapi ulama yang melarang juga memiliki hadits lain yang menguatkan pendapatnya.
Misalnya perkataan Sayyidah Aisyah “Law Adroka Rasulullah Ma Ahdatsa an-Nisa’u Lamana’ahunna Kama Muni’at Nisa’u Bani Isra’il”. Andai saja Rasulullah tahu kelakuan (buruk) perempuan-perempuan saat ini, niscaya Nabi pun akan melarang mereka (pergi ke masjid) sebagaimana larangan—yang ditujukan kepada—perempuan-perempuan Bani Israil.
Para ahli fikih kenamaan—baik di Madinah atau lainnya—tidak menganggap larangan (kalau bisa disebut larangan) Sayyidah Aisyah sebagai nasakh (pembatalan) terhadap hukum asal kebolehan berjamaah di masjid. Imam Malik dalam al-Mudawwanah al-Kubro pernah ditanya terkait larangan perempuan pergi ke masjid, beliau menjawab, “La Yumna’na al-Khuruja Ilaa al-Masajid”, tidak seharusnya perempuan muslimah dilarang shalat di masjid.
Tidak jauh berbeda dengan Imam Malik, Ibnu Hazm dalam al-Muhalla mengomentari perkatanaan Sayyidah Aisyah, “Kelakuan tidak baik yang dimaksud Sayyidah Aisyah hanya berlaku kepada sebagian kecil perempuan saja, selebihnya tidak demikian. Alangkah tidak masuk akal bila larangan (pergi ke masjid) tersebut diberlakukan umum kepada mereka yang tidak ikut serta berkelakuan “buruk”.
Lebih lanjut, Ibnu Qudamah dalam al-Mughni juga turut berpartisipasi memberikan pandangannya terkait perkataan Sayyidah Aisyah, “Sunnah yang dilakukan rasulullah lebih berhak untuk kita ikuti ketimbang perkataan Sayyidah Aisyah. Sebab, perkataan itu hanya ditujukan kepada sebagian kecil perempuan saja. Lagi pula, sepertinya Sayyidah Aisyah memang kurang senang perempuan kelayapan di luar rumah.”
Ada baiknya, sanggahan ini kita tutup dengan menyimak perkataan Syekh Abdul Halim dalam Tahrir al-Mar’ah Fii ‘Ahd al-Risalah:
“Andai saja Sayyidah Aisyah melihat kelakuan perempuan-perempuan zaman ini, mereka pergi ke tempat-tempat hiburan dengan pakaian terbuka—belum lagi pengaruh konten-konten buruk media sosial yang setiap hari mereka tonton—dan enggan pergi ke masjid, maka Sayyidah Aisyah tidak mungkin mengulang-ngulang perkataannya itu. Boleh jadi, Istri baginda Nabi itu akan mengatakan sebaliknya: andai rasulullah tahu kelakuan perempuan-perempuan saat ini maka beliau akan mewajibkan mereka untuk pergi berjamaah ke masjid.”
Ala Kulli Hal, perempuan merupakan nisf al-mujtama’ (half the community) dan bagian dari peradaban (al-Hadoroh) yang hak-haknya sebagai manusia, perempuan dan—khususnya sebagai—penganut agama harus dijaga dan dirawat sebaik mungkin. Salah satunya dengan membawa tafsir-tafsir atas teks-teks keagamaan yang adil dan ramah kepada kaum perempuan. Wallahu a’lam.
Banyuwangi, 14 Oktober 2022.