Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Esai

Potret muslim Chechen, dari penganut tasawuf tradisional hingga terpapar radikalisme

Avatar photo
35
×

Potret muslim Chechen, dari penganut tasawuf tradisional hingga terpapar radikalisme

Share this article

Chechnya, berikut tetangga di sebelah timurnya, Dagestan, tidak lain adalah dua negara bagian dari federasi Rusia yang terletak di pegunungan berbatu Kaukasus. Keduanya merupakan kelompok etnis yang sejak beberapa abad terakhir sudah didominasi muslim. Mereka sama-sama memiliki sejarang panjang, penuh gejolak, serta perlawanan sengit terhadap dominasi Rusia. Siapa pun yang berasal dari dua kelompok ini dipastikan tahu persis bagaimana sejarah cekcok mereka ditulis.

Dalam tradisi populer, istilah Rusia Chechency berasal dari Chechnya tengah, istilah ini muncul lantaran banyak desa atau kota memiliki nama yang menyandang kata itu, sebut saja Chechen, Nana-Checha, Yokkh Chechen, dan lain-lain. Sebutan Chechen muncul dalam literatur klasik Rusia pada akhir abad 16 sebagai “Chachana” yang merujuk pada tanah milik Pangeran Chechen Syekh Murza. Secara etimologi, asal katanya adalah “che” yang berarti “di dalam” disambung dengan akhiran “cha” atau “chan” yang artinya kawasan atau wilayah, sehingga chechen dapat diterjemahkan “di dalam suatu kawasan”. Seluruh desa maupun kota yang menyandang nama chechen bisa dipastikan terletak di kawasan Chechan-are (dataran Chechen) yang ada di pusat Chechnya saat ini.

Sampai hari ini, sebagian umat muslim Chechen berpandangan radikal. Sejak awal 1990-an mereka sudah dipengaruhi ideologi Al-Qaeda juga Taliban, diam-diam bermimpi mendirikan negara Islam yang secara resmi diatur undang-undang syariah.

Dalam garis besar sejarah, para pendahulu mereka telah bertempur melawan Kristen ortodoks dari pemerintahan Tsar Rusia, lalu komunisme Uni Soviet, kemudian saat ini (dalam bentuk gerakan-gerakan pemuda Islam) turut melawan Rusia modern pimpinan Vladimir Putin.

Masjid Akhmad Kadyrof di Grozny (2008), ibu kota Chechnya

Sebuah pandangan mengatakan bahwa Islam secara bertahap mulai menyebar di dataran Chechnya sejak abad ke-14, namun pendapat yang masyhur baru abad ke-17 setelah tersebar di Dagestan. Jauh lebih lambat dibanding masuk Islamnya orang-orang Tatar, Asia Tengah, dan Azerbaijan.

 

Mayoritas muslim Chechen menerapkan mazhab Imam Syafi’i seperti layaknya di Nusantara, demikian pula tarekat Qadiriyah, Naqsabandiyah, serta tradisi muridisme juga cukup marak di sana. Setelah mazhab Imam Syafi’i, rujukan fikih kedua yang juga banyak diikuti adalah fikih Imam Hanafi.

Menetaskan telur radikalisme?

Dugaan bahwa rata-rata muslim Chechen adalah muslim fundamentalis sama sekali tidak dapat dibenarkan, secara tegas dikemukakan oleh Brian Glyn Williams dalam “Shattering the Al-Qaeda-Chechen Myth”. Adapun jika dikatakan radikalisme-fundamentalis telah menemukan momentumnya untuk tumbuh subur di kawasan Pegunungan Kaukasus juga tidak dapat disalahkan.

Salah satu benih radikalisme-fundamentalis di sana adalah sisa gerakan separatis bersenjata Chechnya yang didominasi oleh kaum salafi, di Rusia (dan banyak tempat lain) gerakan mereka disebut Wahabi yang mana baru menjamur di Chechnya pada awal 1990-an dalam jumlah sangat kecil. Demi Pan-Islamisme mereka rela melenyapkan spirit nasionalisme dan bergabung dengan beberapa kelompok pemberontakan setempat untuk membentuk Emirat Kaukasus di bawah bendera Islam.

Benih lain adalah, bahwa, ketika Chechnya di bawah pemerintahan otoriter Ramzan Kadyrof atas dukungan langsung dari Moskow telah mengalami kontra-kampanye cukup kontroversial menyangkut Islamisasi republik tersebut, bersama pemerintah lokal ia mempromosikan apa yang mereka sebut sebagai “Islam tradisional” dengan menonjolkan elemen Syari’ah untuk menggantikan undang-undang resmi Rusia.

Adapun keterpengaruhan mereka oleh Al-Qaeda tampak terang-terangan pada tahun 1992, yakni ketika Al-Qaeda beserta organisasi mitranya, Jaringan Haqqani, tanpa kendala berarti telah berhasil membentuk dan melancarkan operasi Furqan, semacam pelatihan dasar bagi para calon jihadis yang bermarkas di daerah bekas Uni Soviet kawasan Asia Tengah dan sekitar Pegunungan Kaukasus.

Pada tahun 1994, Shamil Basayev, seorang pemimpin jihadis pemberontak berdarah Chechnya, bersama segerombol pemuda Chechnya yang menyebut diri mereka mujahidin melakukan safari ke Peshawar, sebuah kota di Pakistan yang berbatasan dengan Afghanistan di mana Al-Qaeda bermarkas. Di sana mereka bertemu dengan mantan jurnalis Mesir bernama Hamid Mustafa, yang merupakan salah satu orang Arab pertama yang datang ke Pakistan sengaja untuk bergabung dengan para jihadis Afghanistan melawan Uni Soviet.

Basayev sendiri tidak lain adalah pemimpin operasi Furqan yang bekerja sama dengan mujahidin Afghanistan di sebuah tempat bernama Zhawara di mana al-Qaeda membangun kekuatan. Setelah perjumpaan dengan dedengkot Al-Qaeda berjuluk Abu Ayyub al-Masri, Basayev mengirim enam mujahidin Chechnya untuk digembleng olehnya.

Dalam buku yang ditulis al-Masri, diutarakan bahwa para mujahidin Chechen memiliki kondisi fisik yang lebih baik dan keterampilan militer yang lebih cakap daripada siapa pun yang pernah dikader Al-Qaeda sebelum-sebelumnya. Al-Masri menyebut mereka sebagai “raksasa”, ia juga mengakui bahwa baginya melatih raksasa-raksasa tersebut merupakan puncak karir lantaran antusiasme serta loyalitas mereka yang sangat tinggi.

Singkat cerita, selulus dari akademi jihad tersebut, keenam raksasa kembali pulang demi cita-cita mengislamkan Chechnya, namun lima di antaranya tewas dalam pertempuran melawan pasukan Presiden Boris Yeltsin pada kurun 1994-1996.

Abu Omar al-Shishani (Tarkhan Tayumurazovich Batirashvili), mantan Menteri Perang ISIS berdarah Chechen

Selain itu, Basayev juga bertanggung jawab atas serangan terhadap gedung teater di Moskow di mana 50 jihadis Chechnya berikut 100 orang yang mereka tawan tewas mengenaskan. Pada tahun 2004 ia memimpin serangan terhadap Beslan, sebuah sekolah di Kaukasus Utara di mana lebih dari 385 orang, rata-rata anak kecil, tewas di lokasi. Basayev meninggal dalam sebuah ledakan misterius pada tahun 2006.

Sejak tragedi 11 September 2001 serta sejumlah konflik lainnya, muslim radikal Chechnya kembali bangkit dengan kekuatan terbarunya, tujuannya masih sama, menciptakan pemerintahan berbasis syariah di seluruh kawasan Pegunungan Kaukasus. Rata-rata mereka baru berusia 20-an dan 30-an yang sudah cakap mengoperasikan internet, jauh lebih canggih dibanding jihadis Chechen angkatan 90-an. Bahkan dilaporkan mereka memiliki situs web khusus, di mana para jihadis berdarah Chechen yang tersebar di dunia mengunggah laporannya masing-masing. Sebagian besar mereka tersebar di Suriah, Pakistan, dan Turki.

Pemimpin mereka, Doku Umarov (m. 2013), yang juga dikenal sebagai Osama bin Laden-nya Rusia, sewaktu masih bertugas pernah mengatakan: “Hari ini di Afghanistan, Irak, Somalia, dan Palestina, saudara-saudara kita berperang. Di mana pun itu, setiap orang yang menyerang muslim adalah musuh bersama. Musuh kita bukan Rusia, namun semua yang mengobarkan api permusuhan terhadap Islam dan pemeluknya.”

Pada tahun 2010, dua wanita dari Dagestan meledakkan diri di kereta bawah tanah Moskow, menewaskan lebih dari 40 orang serta sekitar 100 orang luka-luka. Setahun berikutnya hal yang sama dilakukan oleh seorang lelaki di bandara Domodedovo Moskow, menewaskan 37 orang serta melukai sekitar 180 orang. Dua peristiwa tersebut tidak lain berada di bawah kendali Umarov, demikian pula Dzhokhar dan Tamerlan Tsarnaev, tersangka pelaku bom yang menyerang Maraton Boston pada tahun 2013 yang menewaskan 3 orang dan melukai lebih dari 260 orang (17 di antaranya harus mengalami amputasi pada tangan atau kakinya).  Dzhokhar dan Tamerlan Tsarnaev sendiri adalah kakak beradik yang tidak lain berdarah Chechen.

Di Chechnya, kebangkitan Islam beserta transisinya sekilas tampak lebih dikarenakan faktor politik dibanding faktor lainnya, lebih-lebih selama pascaperang. Selama perjalanan ke Turki, Presiden Chechnya Maskhadov (1997-2005) mengumumkan bahwa ia akan mengubah republiknya secara resmi menjadi negara Islam dengan menamainya “Republik Islam Ichkeria”. Dengan demikian, pemerintah Chechnya adalah satu-satunya pemerintah bekas Uni Soviet yang secara resmi menaruh Islam sebagai agama negara, meskipun status kemerdekaannya atas Rusia baru de jure, sementara secara de facto masih di bawah payung federasi Rusia yang baru memperoleh otonominya setelah perang 1994-1996.

Yang tersebut di atas baru beberapa contoh radikalisme yang lahir dari suku Chechen, kasus di luar itu tentu tidak terhitung jumlahnya. Belum lagi yang tergabung dengan ISIS, seperti halnya mantan Menteri Perang ISIS yang akrab dengan sebutan Abu Omar Al-Shishani, bernama asli Tarkhan Tayumurazovich Batirashvili, tidak lain adalah seorang berdarah Chechen.

Jauh sebelum telur radikalisme menetas di Chechnya, suku Chechen sudah cukup akrab dengan tradisi tasawuf serta laku hidup sufi. Lantas apa yang membuat radikalisme tumbuh subur di sana?

Edward W. Walker dalam artikel panjang “Islam in Chechnya” menjelaskan, bahwa, peralihan Chechnya ke konstitusi Islam tidak tampak sebagai hasil dari komitmen tradisionalitasnya terhadap keyakinan serta praktik Islam. Bila dibandingkan dengan banyak negara bekas Uni Soviet yang lain, indikasi menunjukkan bahwa sebelum perang 1994-1996 sebetulnya Islam di Chechnya kurang begitu mengakar. Pusat-pusat pembelajaran Islam tradisional di Chechnya juga tidak semarak yang berkembang di, misalnya, Bukhara, Dagestan, maupun wilayah Volga Tengah.

Selain rumitnya faktor politik, masalah pendidikan sangat diyakini paling berperan dalam menjadikan muslim Chechen amat mudah dirasuki oleh radikalisme, sementara negara-negara dengan pendidikan Islam yang mengakar kuat dan diselaraskan dengan tradisi dan kearifan-kearifan setempat terbukti relatif lebih pandai menjaga diri dari ideologi radikal.

Kontributor

  • Walang Gustiyala

    Penulis pernah nyantri di Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan, Al-Hikmah Purwoasri, Walisongo Sragen, Al-Ishlah Bandar Kidul, Al-Azhar Kairo, dan PTIQ Jakarta. Saat ini mengabdi di Pesantren Tahfizh Al-Quran Daarul ‘Uluum Lido, Bogor.