Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Tokoh

Imam Al-Ghazali di Mata Murtadha Az-Zabidi

Avatar photo
102
×

Imam Al-Ghazali di Mata Murtadha Az-Zabidi

Share this article

Saya
tak berani menulis biografi Imam Al-Ghazali karena akan bertemu dengan bahrun
mughriq
(samudera yang menenggelamkan) seperti deskripsi gurunya, Imam
Haramain Al-Juwaini, “Al-Ghazali adalah samudera yang menenggelamkan, Al-Kiyya (Al-Harrasi)
adalah macan yang menerkam dan Al-Hawafi adalah api yang membakar.”

Saat
Al-Ghazali selesai menulis karya ushul fikihnya, Al-Mankhul,
Imam Al-Haramain berkata,Kamu telah menguburku. Tidak
bisakah kamu sabar menunggu hingga aku meninggal?!”

Karya-karya
Al-Ghazali memang mengalahkan popularitas karya-karya gurunya. Sosoknya
menenggelamkan gurunya. Dia benar-benar samudera yang menenggelamkan.

Suatu
kebanggaan luar biasa bagi seorang guru yang berhasil mendidik santri sekelas
Imam Al-Ghazali namun juga menjadi kegetiran tersendiri. Tak ada yang lebih
membahagiakan selain menyaksikan santri didikannya menjadi ulama. Apalah guna
seorang kiai besar dan masyhur tanpa berhasil mendidik santri yang kemudian
menjadi ulama juga.

Mari
bersama mendengarkan cerita Murtadha Az-Zabidi sebagai satu-satunya komentator (syarih)
Ihya

Ulumidin
bertajuk “Ithaf As-Sadah Al-Muttaqin. Tentu sudah puluhan atau
bahkan ratusan orang menulis profil Imam Al-Ghazali, baik sarjana muslim maupun
orientalis. Bahkan Al-Ghazali sendiri sudah menuliskan otobiografinya dalam Al-Munqidz
Min Ad-D
halal.
Namun tulisan Az-Zabidi memiliki signifikansinya sendiri karena memiliki
otoritas dalam hal ini.  

Belajar
Bukan Karena Allah

Al-Ghazali
dilahirkan pada 450 H di Thus, Khurasan (Iran saat ini). Ayahnya wafat saat
masih kecil. Atas wasiat ayahnya, Al-Ghazali kecil bersama adiknya, Ahmad, dititipkan
pada seorang shaleh yang hidup secara tajrid (menyandarkan hidupnya
hanya pada Allah tanpa melakukan usaha lahir). Beberapa saat kemudian lelaki
shaleh itu memanggil Al-Ghazali bersama saudaranya
.Harta yang dititipkan ayahmu
telah habis. Saya tak bisa lagi menanggung beban kalian berdua. Saya akan
memasukkan kalian ke madrasah agar mendapat beasiswa.” Demikian lelaki shaleh
memberi tahu.   

Di
zaman itu, semua pendidikan
gratis bahkan siswa mendapat uang saku. Peneliti di perpustakaan
Isslam mendapat jaminan hidup
dengan fasilitas VVIP. Sehingga Al-Ghazali mengatakan
,Awalnya saya mencari ilmu
bukan dengan tujuan mencari ridha Allah. Tapi ilmu sendiri menolak untuk dicari
kecuali dengan tujuan ridha Allah.”

Disadarkan
Perampok

Mula-mula
dia bergabung di madrasah Ali bin Ahmad Ar-Razkani di kota kelahirannya, Thus.
Kemudian melanjutkan ke Jurjan (Astarabad-Iran) berguru pada Abu Nasr
Al-Isma’ili. Setelah beberapa tahun belajar pada Abu Nasr, Al-Ghazali
memutuskan pulang ke Thus. Namun malang, kafilah yang diikuti Al-Ghazali
dicegat oleh perampok di tengah jalan.

“Ambil
semua barang berharga yang saya punya kecuali peti yang berisi kitab-kitabku. Saya
berjuang keras mencatat ilmu dalam kitab-kitab itu.” Pinta Al-Ghazali pada
pimpinan perampok.

Mendengar
permintaan itu, si pimpinan hanya tertawa
, Bagaimana kamu bisa mengaku
punya ilmu kalau saya ambil peti berisi kitab-kitab ini?!”

“Sudah
kembalikan padanya peti-peti itu!” Perintah pimpinan sambil menoleh pada anak
buahnya.

Sambil
membawa peti kitabnya menjauh, Imam Al-Ghazali bergumam dalam hati
,Perampok ini berbicara atas
petunjuk Allah. Dia telah menyadarkanku.”

Sesampainya
di Thus Al-Ghazali duduk; mulai membuka dan menghafalkan kembali semua catatan
ilmunya selama di Jurjan. Selama tiga tahun Al-Ghazali menghafalkan semua
catatannya, “
Saya
menghafal semua catatan saya selama di Jurjan. Sampai seandainya semua buku ini
diambil perampok saya tak bergantung lagi padanya.”

Berguru
Pada Imam Al-Haramain

Setelah
merasa sudah memahami dan menghafal semua hasil bergurunya pada Abu Nasr di
Jurjan. Al-Ghazali muda mulai merasa haus ilmu. Benar kata Nabi Saw
, Dua orang yang tak akan
pernah merasa puas: pencari ilmu dan pencari harta.”

Al-Ghazali
melanjutkan petualangan ilmiahnya menuju Nishapur (Iran) untuk berguru pada Imam
Al-Haramain Al-Juwaini, guru besar Madrasah Nizamiyah cabang Nishapur. Pada
Imam Al-Haramain, dia belajar dan mendalami fikih mazhab, fikih khilaf, ilmu jadal
(debat), ilmu kalam, ushul fikih, mantiq, hikmah (filsafat).

Guru
Besar Madrasah Nizamiyah Baghdad

Pada
484 H Imam Al-Haramain wafat. Al-Ghazali keluar dari Nishapur menuju ibu kota
Baghdad untuk menemui wazir Dinasti Saljuk yang sangat terkenal, Nizam Al-Mulk.
Dia memang seorang wazir (semacam perdana menteri) namun pengaruhnya
mengalahkan khalifah dan sultan: lihat saja deretan madrasah Nizamiyah yang
dibangun atas nama dirinya di kota Baghdad, Balkh (Afganistan), Nisaphur,
Herat, Asfahan, Basrah, Mosul, Marw, Thibristan.

Seljuk
adalah dinasti yang menyaingi Abbasiyah. Secara administratif masih mengakui
kedaulatan Abbasiyah di Baghdad, meski sebenarnya Seljuk yang mengendalikan.
Tentara Tartar tak bisa melangkah ke Baghdad karena masih bisa diredam oleh
Seljuk.

Di
hadapan Nizam Al-Mulk, keilmuan Al-Ghazali diuji. Dia melakukan perdebatan dan
diskusi panjang hingga kedalaman ilmunya benar-benar diakui oleh ulama di
masanya. Al-Ghazali sesuai deskripsi gurunya, samudera yang menenggelamkan.
Nizam Al-Mulk jatuh cinta padanya hingga diangkat menjadi guru besar madrasah
Nizamiyah Baghdad di usianya yang masih 34 tahun. Sejak saat itu popularitas
Imam Al-Ghazali menanjak cepat.

Al-Manawi
menyebutkan bahwa yang hadir di majlis Imam Al-Ghazali di Nizamiyah ada sekitar
300 imamah (ulama bersorban = pembesar ulama). Jadi semua santrinya
adalah para ulama besar.

Semenjak
berguru pada Imam Al-Haramain, Al-Ghazali sudah menulis dengan lihai dan tajam.
Bahasa yang dipakai mudah dipahami dengan logika yang menakjubkan. Tidak
seperti karya gurunya yang terkenal rumit dan logika yang melangit. Imam
Al-Ghazali berhasil melahirkan karya-karya spektakuler dalam setiap disiplin
ilmu yang ditulis. Barangkali kenyataan ini pula yang membuat karya Al-Ghazali
melampaui karya gurunya.

Meninggalkan
Popularitas

Setelah
hampir 5 tahun mengajar, mencetak generasi ulama, dan menulis karya-karya agung
di Nizamiyah, Al-Ghazali mulai merasa gelisah. Dia mulai merasa kosong secara
spritualitas; merasa semua gerak geriknya didasari keinginan duniawi dan serba
pamrih, tak ada ikhlas. “Saya memperjuangkan semuanya untuk orang lain. Untuk
saya apa?!” demikian pernyataan seriusnya seperti terekam dalam Al-Munqidz
Min Ad-Dlalal
.

Dua
bulan sebelumnya, Al-Ghazali masih mencoba duduk di kursi kebesarannya untuk
mengajar. Tapi lidahnya kelu dan tak sanggup mengeluarkan sepatah kata pun. Dia
mencobanya berkali-kali namun tetap gagal. Selera makannya juga sudah hilang.
Kondisinya sungguh kritis. Tabib yang memeriksa mengatakan Al-Ghazali tidak sedang
sakit.

Tahun
488 H dia memutuskan pengunduran dirinya dari madrasah Nizamiyah. Posisinya
digantikan oleh saudaranya, Ahmad Al-Ghazali. Nama lengkap Imam Al-Ghazali
adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali. Dia
meninggalkan Nizamiyah dengan semua popularitas, kehidupan nyaman dan gaji yang
fantastis. Dalam setahun, Nizam Al-Mulk menyisihkan kas negara untuk pendidikan
Nizamiyah
sebanyak
10.000 dinar emas.

Suluk
Ketat

Mula-mula,
Al-Ghazali menuju Baitullah untuk melaksanakan haji. Setelahnya dia menuju ke
kawasan Syam berpetualang layaknya kaum sufi masa itu, tanpa bekal dan tanpa
tujuan. Al-Ghazali ingin menempa diri dalam suluk kaum sufi yang sangat ketat. Dia
benar-benar meninggalkan semua kekayaan, popularitas, dan kejayaannya di
Nizamiyah.

Menuju
Baitul Maqdis di Palestina. Kembali lagi ke Syam dan beri’tikaf di menara barat
masjid Damaskus Suriah
kemudian menara ini terkenal dengan
namanya (menara Al-Ghazali)—selama
10
tahun. Dalam petualangan suluknya, produktifitas Al-Ghazali sama sekali tak
berkurang. Bahkan karya-karya abadinya lahir dari sana: Ihya
Ulumidin, Al-Arba’in,
dan risalah-risalahnya.

Kenyataan
ini menegaskan bahwa tasawuf bukan penghalang produktifitas seseorang. Jika
dengan masuk tarekat sufi membuat seseorang terhambat maka perlu dikaji niat
dan visinya. Sebab untuk menjadi sufi, seseorang tak dibenarkan meninggalkan karirnya
selama terhormat menurut pandangan syariat. Tasawuf adalah perilaku batin dan
pembersihan hati.

Suatu
ketika ada seorang syeikh sedang mengajar dan mengutip namanya
, “Al-Ghazali berkata…”
Muncul kemudian rasa ujub (bangga hati) dalam diri Al-Ghazali. Maka sejak itu
dia memutuskan keluar dari kota Damaskus menuju Mesir, Iskandariyah (Mesir),
masuk hutan dan gurun sahara demi melarikan diri dari sifat ujub yang
mulai muncul.

Syeikh
Suluk Al-Ghazali

Sayid
Murtadha Az-Zabidi menegaskan bahwa dalam kelanjutan suluknya, Al-Ghazali
berguru pada Abu Ali Al-Farmadi, salah seorang tokoh sentral dalam geneologi tarekat
Naqshabandiyah. Farmad sendiri adalah sebuah kota yang dekat dengan Thus
(tempat kelahiran Al-Ghazali). Ada lagi Yusuf An-Nassaj yang disebut-sebut
sebagai guru Al-Ghazali dalam suluknya.

Setelah
petualangan panjangnya, Al-Ghazali memutuskan untuk kembali ke tanah
kelahirannya, Thus. Di sana dia membangun Khanaqa (semacam pesantren) untuk
mendidik murid-murid yang kelak menjadi ulama sekaligus sufi. Al-Ghazali wafat
di usianya yang ke 55 pada Jumadil Akhir 505 H, dengan meninggalkan karya-karya
abadi yang hingga saat ini masih terus dikaji selayaknya mata air yang tak
pernah terputus.

Perlu
sesi khusus untuk membincang karya-karya Al-Ghazali. Abdurrahman Badawi sampai
menulis buku khusus untuk mengklasifikasi dan mengkategorisasikannya. Al-Manawi
mengatakan
, Saya telah menghitung semua
kitab karya Al-Ghazali dan membaginya sesuai jumlah umur. Maka saya menemukan dalam
satu hari Al-Ghazali menulis 4 halaman; terhitung semenjak lahir.”  

Kontributor

  • Abdul Munim Cholil

    Kiai muda asal Madura. Mengkaji sejumlah karya Mbah Kholil Bangkalan. Lulusan Al-Azhar, Mesir. Katib Mahad Aly Nurul Cholil Bangkalan dan dosen tasawuf STAI Al Fithrah Surabaya