“Zuruni kulli sanah marrah, haram tinsuni bil marrah.”
Potongan lagu milik Muhammad Yunus Al Qadhi ini serasa mengalun kembali di telinga. Datang bersama ingatan tentang aroma sisha dan segenap kebisingan di sekitar kedai kopi El Fishawy.
Lirik itu artinya begini, “Kunjungiku sekali setahun. Adalah dosa bila kau melupakanku, walau sekejap.”
Bait itu sederhana. Namun, bagi mereka yang pernah tenggelam di tengah suasana magis Kota Kairo, lirik itu seperti panggilan sang kekasih lewat bisikan merdu di telinga kiri: datanglah kemari!.
El Fishawy mulai bergeliat setelah senja. Kedai kopi berukuran tak terlalu besar ini tak pernah sepi pengunjung. Pengunjungnya pun beragam, dari pemimpin negara, pemikir, seniman, hingga muda-mudi yang ingin melepas penat.
Pemikir paling terkenal yang pernah duduk di kursi kedai ini, salah satunya Muhammad Abduh, murid Jamaluddin Al Afghoni yang punya gagasan modernisme Islam. Keduanya bertemu di Al-Azhar, kampus tua yang lokasinya hanya terpaut dua trotoar dari kedai El Fishawy.
Selain dua nama itu, tentu banyak lagi deretan nama besar lain yang pernah mencicipi nikmatnya seduhan kopi turki di El Fishawy. Terbaru, Morgan Freeman, aktor Hollywood yang pernah memerankan Tuhan.
Berlokasi tepat di jantung pasar tradisional terbesar di Afrika Utara, kedai kopi ini mampu bertahan dalam waktu lama. Berdiri sejak setahun sebelum Napoleon Bonaparte melancarkan invasi ke Mesir, tahun 1780.
Usia senja tak menghilangkan pesona yang tersimpan di kafe ini. Kedai kopi ini terus memberi suasa unik, yang sulit dijumpai di kafe-kafe lain. Setiap sudut ruangan di tiga bagian kafe ini menyimpan cerita-cerita.
Nuansa Arab klasik segera dapat dirasakan para pengunjung begitu masuk ke dalam kafe ini.
Perabot-perabot tua, furnitur yang didominasi warna hitam dan kuning tua, meja cermin berukuran besar, hingga kayu-kayu jalusi yang menempel pada tembok berwarna coklat kekuningan akibat kepulan asap yang menyatu bersama debu-debu masa lalu itu, menambah keunikan ambiens El Fishawy yang mustahil ditemukan di kedai lain. Sangat mengesankan.
Ada pula fanous, lampu warna-warni khas Mesir berbentuk kuba menggantung di langit-langit. Setelah matahari terbenam, fanous segera memancarkan warna-wana yang menyinari para pengunjung yang sedang bercengkrama satu sama lain.
Suasana seperti itu, tak mengherankan bila sastrawan peraih nobel Naguib Mahfouz berlama-lama di dalamnya. Sambil menikmati seduhan teh, penulis novel Baina Qasrain menuangkan kegelisahan hatinya lewat cerita-cerita inspiratif.
Teh yang diseruput Naguib di El Fishawy ini menjadi sajian khas yang bertahan hingga saat ini. Meski usia kedai ini lebih tua dari keberadaan teh di Mesir, karena baru pada era Napoleon lah orang Mesir mengenal teh.
Shai bin nikna, adalah sajian teh min yang biasa dikonsumsi di sini. Namun, di kedai ini, racikannya berbeda. Tehnya dicelup saat air sedang mendidih, direbus di atas pasir. Mungkin suhu pasir yang dipanaskan ini yang memberi cita sara berbeda.
Akram El Fishawy, generasi ketujuh pemegang kendali atas kafe ini. Dia sudah mengelola selama empat dekade terakhir. Pemilik pertama, tak jelas rimbanya, hanya nama El Fishawy yang tersisa.
Tadinya, saat baru buka pada 1779, El Fishawy hanya menyajikan kopi turki untuk dijajakan kepada rekan-rekan sang pemilik. Seiring waktu, kafe ini justru menjadi ikon baru Mesir yang wajib dikunjungi di Mesir selain Piramida.
Bagi mereka yang pernah menghabiskan waktu menikmati malam bersama teman-temannya di kedai El Fishawy, namun tak pernah terngiang alunan lagu di atas setelah lama tak berkunjung ke sana, boleh jadi orang itu sedang bermasalah dengan kenangan.