Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Apakah Surga dan Neraka Berlaku bagi Keturunan Nabi?

Avatar photo
36
×

Apakah Surga dan Neraka Berlaku bagi Keturunan Nabi?

Share this article

Al-Ashma’i berkata, “Orang itu mengulang-ulang bait puisi munajat tersebut sampai ia jatuh pingsan.”

Aku mendekat kepadanya, tutur Al-Ashma’i, dan ternyata ia adalah Imam Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali.

Kemudian aku meletakkan kepalanya ke pangkuanku dan aku pun menangis. Tetesan air mataku mengenai pipinya sehingga beliau membuka kedua matanya dan berkata, “Siapa orang yang menyibukkanku dari zikir kepada Tuhanku?”

Aku berkata, “Wahai Tuanku, dia bernama al-Ashma’i, seorang yang mengabdi kepadamu dan kakek-kakekmu. Ada apa dengan ketakutan, tangisan, dan rintihan ini? Padahal engkau adalah ahlul bait Nabi dan keluarga sumber risalah? Allah saja berfirman, “Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (QS. Al-Ahzab: 33)

Baca juga: Asal-usul Bekas Hitam pada Punggung Ali Zainal Abidin

Imam Ali Zainal Abidin lantas duduk dan berkata, “Tidak! Sekali-kali tidak wahai Ashma’i. Sesungguhnya Allah menciptakan surga bagi orang yang menaati-Nya meskipun ia seorang budak dari Habasyah, dan Allah menciptakan neraka bagi siapa saja yang menentangnya meskipun seorang “sayyid” Quraish. Tidakkah kau mendengar firman Allah, “Apabila sangkakala ditiup, maka tidak ada lagi pertalian keluarga di antara mereka pada hari itu dan tidak (pula) mereka saling bertanya.” (QS. Al-Mu`minun: 101)

Diterjemahkan dari kitab Mishbah al-Anzhar, karya Muhammad bin Murtadha atau dikenal dengan al-Faidh al-Kasyani, seorang ahli fikih, ahli tafsir, ahli hadis, ahli ilmu kalam, filsuf dan pemikir aliran filsafat Theosofi Transenden warisan filsuf raksasa Iran, Mulla Shadra.

Al-Kasyani hidup di bawah Dinasti Shafawiyah yang beraliran Syi’ah Imamiyah. Ia meninggal di Kasyan, Iran, pada tahun 1680 M. Meski seorang Shi’ah, al-Kasyani dikenal juga sebagai pengagum ulama raksasa Sunni abad 11 M, yakni Abu Hamid al-Ghazali.

Magnum Opusnya al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, disyarah (dikomentari) dan direvisi oleh al-Kasyani dan menjadi karya raksasa berjudul “Al-Mahajjah al-Baidha` fi Tahdzib al-Ihya`.”

Baca juga: Garis Keturunan Ulama Penyebar Islam di Nusantara

Nb: di banyak riwayat lain, tokoh narasi kisah di atas bukan al-Ashma’i, melainkan seorang fakih lain yg sezaman dengan Imam Ali Zainal Abidin as-Sajjad (w. 713 M), yaitu Thawus bin Kaisan (w. 724 M).

Kontributor

  • Ade Gumilar

    Alumni Mahasiswa Al-Azhar Mesir. Melanjutkan S2 di Universitas Indonesia konsentrasi Kajian Timur Tengah. Sekarang menjadi dosen sejarah peradaban Islam IAIN Syekh Gunung Djati Cirebon