Scroll untuk baca artikel
Ramadhan kilatan
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Bumi Bertasbih, Kita Merusak

Avatar photo
37
×

Bumi Bertasbih, Kita Merusak

Share this article
Sebuah ironi di zaman ini: semangat religius tampak di berbagai ruang, tapi bumi tetap berduka.
Sebuah ironi di zaman ini: semangat religius tampak di berbagai ruang, tapi bumi tetap berduka.

Ada sebuah ayat dalam al-Quran perihal semua makhluk bertasbih dan memuji-Nya. Allah katakan:

وَإِنْ مِّن شَيْءٍ إِلَّا يُسَبِّحُ بِحَمْدِهِ وَلَـٰكِن لَّا تَفْقَهُونَ تَسْبِيحَهُمْ ۗ إِنَّهُ كَانَ حَلِيمًا غَفُورًا

“Dan tak ada suatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu tidak mengerti tasbih mereka. Sungguh, Dia Maha Penyantun, Maha Pengampun.”
(QS. Al-Isra: 44)

Imam Al-Qurthubi menafsirkan bahwa seluruh alam dan seisinya melakukan tasbih kepada Allah, baik sebagai tanda eksistensial (dalālah) maupun sebagai bentuk tasbih yang hakiki, meskipun manusia tidak mendengarnya(Imam Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad al-Ansari al-Qurtubi, Tafsir al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, cet. 1, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, 1414H/1993M). Tasbih ini bukan sekadar lantunan lisan, melainkan ekspresi ketaatan yang terpancar dari seluruh ciptaan dalam menjalankan peran dan ketetapannya.

Di saat hutan tak henti memproduksi oksigen, sungai mengalir menjaga kehidupan, dan angin berhembus dalam ketundukan, manusialah yang justru merusaknya.

Sebuah ironi di zaman ini: semangat religius tampak di berbagai ruang, tapi bumi tetap berduka. Barangkali iman kita selama ini masih belum menyentuh alam sebagai bagian dari amanah yang suci.

Tauhid dan Alam: Kesadaran Kosmik yang Terlupakan

Tauhid bukan hanya doktrin keesaan Tuhan, tapi juga pangkal kesadaran kosmik—bahwa seluruh alam bergerak dalam keterhubungan yang sakral dengan Sang Pencipta. Ketika kita mengikrarkan lā ilāha illa Allāh, sejatinya kita mengakui keesaan-Nya dalam mencipta dan memelihara semesta.

Namun dalam praktiknya, sering kali kita melihat alam hanya sebagai objek, bukan amanah. Kita memperlakukan hutan, air, tanah, dan udara dengan cara-cara yang rakus dan eksploitatif.

Padahal, sebagaimana disampaikan Fazlun Khalid, pendiri Islamic Foundation for Ecology and Environmental Sciences (IFEES), kita perlu mengembalikan kesadaran yang dulu pernah kita miliki: bahwa kita secara mendalam dan tak terpisahkan terjalin dalam jalinan alam. “Dan ketika kita menyakitinya,” ujarnya dalam sebuah wawancara dengan Center for Religion and Civic Culture, “kita sesungguhnya sedang menyakiti diri kita sendiri.”

Tauhid sejati seharusnya menumbuhkan cinta dan rasa hormat terhadap kehidupan. Dalam pandangan para mufassir klasik, tugas kekhalifahan manusia bukan untuk menguasai alam, tapi untuk menjaga keseimbangan dan kemuliaannya.

Kesalehan dan Bumi yang Terluka

Fenomena kesalehan hari ini tampak di berbagai lini: dari maraknya kajian, peningkatan kesadaran berbusana syar’i, hingga tren konsumsi halal. Tapi ironisnya, bumi tetap memanggil dalam derita. Polusi meningkat, krisis air meluas, dan cuaca semakin ekstrem.

Bisa jadi, sebagian kesalehan kita masih terjebak dalam bentuk belum menyatu dengan tanggung jawab terhadap alam. Air wudhu yang seharusnya menjadi latihan kesadaran justru sering terbuang berlebihan. Ramadan yang mestinya menumbuhkan empati justru menjadi puncak konsumerisme.

Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin mengingatkan bahwa buah ibadah adalah akhlak, dan buah akhlak adalah tanggung jawab sosial (Imam Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, Kitab al-‘Ilm, cet. Dar al-Ma‘arif, Cairo, 1417H/1996M). Maka ibadah yang tak melahirkan kepedulian ekologis, mungkin belum benar-benar menyatu dengan ruh Islam.

Namun di tengah tantangan ini, ada harapan yang layak diapresiasi. Dalam beberapa tahun terakhir, kesadaran akan halal value chain mulai tumbuh. Semakin banyak konsumen yang memperhatikan proses produksi, mulai dari hulu hingga hilir. Produsen pun mulai memahami bahwa kehalalan bukan hanya soal kandungan, tapi juga soal keadilan, etika, dan keberlanjutan.

Ini adalah kabar baik yang patut disyukuri. Tentu masih banyak ruang untuk perbaikan, tetapi langkah-langkah kecil ini menunjukkan bahwa iman dan kepedulian lingkungan bisa berjalan beriringan.

Jejak Spiritual dalam Tradisi Ekologi Islam

Islam sejak awal meletakkan prinsip keharmonisan dengan alam. Nabi Muhammad ﷺ hidup dalam kesederhanaan dan menghormati makhluk hidup. Ia menganjurkan hemat air, menanam pohon, dan menjaga kebersihan sebagai bagian dari iman.

“Tidaklah seorang Muslim menanam tanaman atau berkebun, lalu manusia, binatang ternak, atau burung memakannya, kecuali itu menjadi sedekah baginya hingga hari kiamat.”
(HR. Muslim ibn al-Hajjaj al-Qushayri al-Naysabūrī, Ṣaḥīḥ Muslim, Kitāb al-Musaqāh (Bāb Faḍl al-Gharṣ wa al-Zirā‘ah), no. 1552; cet. Dar al-Ma‘rifah, Beirut, 1419H/1998M)

Tradisi Islam klasik pun penuh dengan etika ekologis. Konsep himā (kawasan konservasi), waqf untuk air dan kebun, serta perhatian terhadap sumber daya alam dalam fikih muamalah menunjukkan betapa seriusnya perhatian Islam terhadap keberlanjutan lingkungan.

Sayangnya, warisan luhur ini perlahan tergerus. Kita lupa bahwa spiritualitas Islam menyatu dengan kehidupan bumi, bukan terpisah darinya.

Menata Ulang Iman Ekologis Kita

Krisis lingkungan hari ini bukan hanya masalah ilmiah, melainkan juga spiritual. Ia menantang kita untuk memikirkan kembali apa arti iman dan kesalehan dalam konteks bumi yang luka.

Maka, ketika bumi dan seluruh isinya menjalankan perannya sebagai makhluk Allah dengan taat, manusia yang merusaknya justru mencederai harmoni dzikir semesta itu.

Inilah paradoks kita hari ini. Di tengah kesalehan yang semakin tampak, bumi justru semakin rusak. Mungkinkah ini pertanda bahwa iman kita belum menyatu dengan kesadaran ekologis?

Iman ekologis bukanlah konsep baru, tetapi panggilan lama yang perlu dibangkitkan kembali. Ia menuntut keterhubungan antara spiritualitas dan tanggung jawab ekologis. Ia mengajak kita untuk menjadikan bumi bukan hanya tempat berpijak, tapi juga ladang ibadah.

Langkahnya bisa sederhana: dari wudhu yang bijak, belanja yang selektif, hingga edukasi ramah bumi di rumah dan sekolah. Tapi dampaknya bisa besar jika dilakukan bersama dan dilandasi kesadaran bahwa menjaga bumi adalah bagian dari menyembah-Nya.

Karena iman sejati, seperti dikatakan para arif, tak hanya tinggal di sajadah. Ia tercermin dalam jejak yang kita tinggalkan di bumi yang sedang bertasbih. 

Kontributor

  • A'lie Ilham Al-Mashuri

    Alumni Universitas Al-Azhar Kairo, penulis lepas dengan minat pada isu-isu keislaman, ekologi, dan pemikiran kontemporer.